Keputusan pemerintah Indonesia untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke wilayah Kalimantan telah menjadi sorotan dunia. Tujuan pemindahan ini salah satunya adalah untuk mengurangi tekanan yang ada di Jakarta dan meratakan pembangunan di berbagai wilayah (menghindari terjadinya Jawanisasi). Namun, di balik niat baik ini, terdapat sejumlah hal yang penting untuk dipertimbangkan, terutama dalam konteks program rehabilitasi hutan dan reklamasi lahan bekas tambang yang akan dilakukan jika ibu kota Indonesia resmi dipindahkan.
Pertama-tama, kontra terhadap program rehabilitasi hutan dan reklamasi lahan bekas tambang mengacu pada dampak lingkungan yang mungkin dihasilkan. Proses pembangunan infrastruktur dan pemukiman di wilayah baru tersebut akan memerlukan penebangan hutan dan perubahan tata guna lahan yang signifikan. Hal ini berpotensi menghancurkan ekosistem yang ada, selain itu sebagai mana yang kita ketahui banyak hewan ademik yang cenderung berkumpul di hutan kalimantan dan jika hal ini terjadi maka hal ini akan mengurangi keragaman hayati. Selain itu, reklamasi lahan bekas tambang juga dapat menyebabkan kerusakan ekosistem air dan tanah, berdampak negatif pada kualitas air dan sumber daya alam lainnya.
Selanjutnya, program ini juga dapat memengaruhi keberlangsungan masyarakat adat yang tinggal di wilayah Kalimantan. Reklamasi lahan bekas tambang dan pembangunan infrastruktur baru dapat mengganggu wilayah tradisional yang telah ditempati oleh masyarakat adat selama bertahun-tahun. Mereka mungkin kehilangan akses ke sumber daya alam yang penting bagi budaya dan mata pencaharian mereka. Ini berpotensi merusak keberlanjutan budaya lokal dan memicu konflik sosial.
Aspek ekonomi juga menjadi perhatian dalam pandangan kontra ini. Pemindahan ibu kota akan mengundang perhatian investor dan pengembang untuk terlibat dalam proyek-proyek besar. Namun, dampak ekonomi dari program ini mungkin tidak merata dan berpotensi memperdalam kesenjangan sosial antara yang kaya dan miskin. Sumber daya alam yang terbatas di wilayah Kalimantan juga dapat menghadirkan risiko overexploitasi yang berdampak jangka panjang pada ekonomi lokal. Selain itu untuk melakukan pemindahan ibu kota negara tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit, hal yang ditakutkan adalah dengan adanya pemindahan ibu kota Indonesia ini akan berpengaruh buruk terhadap anggaran negara atau lebih arah hiperinflasi.
Lebih jauh, kontra terhadap program rehabilitasi hutan dan reklamasi lahan bekas tambang juga mencerminkan kekhawatiran akan proses perencanaan dan implementasi yang cermat. Sejarah pembangunan di Indonesia telah menunjukkan bahwa sering kali proyek-proyek besar dilaksanakan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial yang mendalam dan tak jarang pula berakibat fatal. Kurangnya transparansi dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan proyek dapat menyebabkan konflik dan ketidakpuasan publik.
Dalam kesimpulannya, pandangan kontra terhadap program rehabilitasi hutan dan reklamasi lahan bekas tambang dalam konteks pemindahan ibu kota Indonesia tidak boleh diabaikan. Dampak lingkungan, keberlanjutan masyarakat adat, ketidakmerataan ekonomi, dan transparansi proses perencanaan adalah isu-isu penting yang perlu diperhatikan secara serius. Pemerintah harus menjalankan kajian yang komprehensif, memperhatikan masukan dari berbagai pihak, dan mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan untuk meminimalkan dampak negatif yang mungkin timbul. Hanya dengan pendekatan yang holistik dan berdasarkan keadilan, pemindahan ibu kota Indonesia dapat mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan tanpa mengorbankan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Terutama jika dilakukan dengan transparan, mempertimbangkan lingkunga , mempertimbangkan efek samping proyek yang sedang dilakukan, dan juga memperhatikan anggaran negara sehingga kedepannya tidak akan terjadi inflasi atau hiperinflasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H