Penyimpangan seksual merupakan salah satu isu serius yang terus meningkat di Indonesia, dengan dampak yang dirasakan tidak hanya oleh korban, tetapi juga keluarga pelaku dan masyarakat luas. Fenomena ini terjadi tanpa memandang usia, latar belakang sosial, atau agama, menunjukkan bahwa penyimpangan seksual adalah permasalahan yang kompleks. Pendekatan berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) dan nilai-nilai Pancasila digunakan untuk mengkaji perlakuan terhadap pelaku, yang mencakup penegakan hukum yang adil dan upaya rehabilitasi. Melalui pendekatan ini, diharapkan dapat ditemukan solusi yang tidak hanya melindungi korban, tetapi juga mencegah perilaku menyimpang di masa depan.
A. Latar Belakang
Kasus penyimpangan seksual di Indonesia terus mengalami peningkatan yang signifikan, menciptakan kekhawatiran di tengah masyarakat. Penyimpangan seksual ini mencakup berbagai perilaku yang menyimpang dari norma sosial dan moral yang berlaku, seperti perilaku homoseksual, pedofilia, dan tindakan kekerasan seksual lainnya. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada individu yang terlibat, tetapi juga memengaruhi stabilitas sosial, moralitas masyarakat, dan kesejahteraan psikologis korban serta keluarganya (Yudiyanto, 2016; Lestari, 2023).
Salah satu penyebab utama dari penyimpangan seksual adalah kurangnya pemahaman dan kesadaran tentang pendidikan seks yang komprehensif sejak dini. Pendidikan seks di Indonesia masih dianggap tabu untuk diajarkan secara terbuka di lingkungan keluarga
maupun institusi pendidikan. Padahal, edukasi seksual yang tepat dapat menjadi langkah preventif dalam mencegah perilaku menyimpang dengan memberikan pemahaman tentang batasan sosial, moral, dan biologis kepada anak-anak dan remaja (Wati, 2020; Abidin & Luthfi, 2016). Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang mendapatkan pendidikan seks sejak dini cenderung memiliki kontrol diri yang lebih baik dalam menghadapi situasi yang berpotensi memicu perilaku menyimpang (Wahyuni, 2018).
Peran orang tua menjadi sangat penting dalam memberikan pendidikan seksual kepada anak-anak mereka. Orang tua yang terlibat aktif dalam memberikan informasi tentang perkembangan seksual anak dan mengajarkan nilai-nilai moral serta agama cenderung lebih berhasil dalam mencegah perilaku penyimpangan seksual (Nisa, Mansyur, & Kosim, 2021; Lestari, 2023). Namun, tantangan yang dihadapi adalah banyaknya orang tua yang masih merasa tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk memberikan edukasi seksual yang sesuai dengan usia anak-anak mereka. Akibatnya, anak-anak cenderung mencari informasi dari sumber yang kurang terpercaya, seperti media sosial, yang dapat memperkuat perilaku menyimpang (Wati, 2020).
Selain faktor keluarga, lingkungan sosial yang permisif dan kurangnya pengawasan dari masyarakat juga menjadi penyebab maraknya penyimpangan seksual. Dalam konteks ini, lembaga pendidikan, terutama yang berbasis agama, memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan moralitas individu. Pendidikan karakter berbasis nilai-nilai agama dapat memperkuat kontrol diri dan meningkatkan kesadaran moral remaja untuk menghindari perilaku yang bertentangan dengan norma agama dan sosial (Firdaus, 2023; Putra, Irham, & Andriani, 2023).
Dalam hal kebijakan hukum, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam menangani kasus-kasus penyimpangan seksual, khususnya yang terkait dengan orientasi seksual seperti lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Meskipun ada berbagai peraturan yang mengatur perilaku seksual di Indonesia, kebijakan tersebut belum sepenuhnya efektif dalam memberikan perlindungan kepada korban dan mengatasi akar permasalahan dari perilaku menyimpang. Dalam perspektif hukum, pelaku penyimpangan seksual harus tetap diperlakukan sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk mendapatkan rehabilitasi yang dapat membantu mereka untuk kembali ke norma sosial yang berlaku (Ramadani & Sianturi, 2022; Ghozali, 2017).
Dari perspektif Pancasila, khususnya sila kedua, "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab," masyarakat diharapkan dapat memperlakukan pelaku penyimpangan seksual secara manusiawi. Hal ini mencakup perlakuan yang adil dalam proses hukum serta upaya rehabilitasi yang bertujuan untuk mengubah perilaku mereka ke arah yang lebih positif. Rehabilitasi menjadi penting karena banyak pelaku yang sebenarnya mengalami gangguan psikologis atau trauma masa lalu yang tidak teridentifikasi atau tidak mendapatkan penanganan yang memadai (Rahmah, Amalia, & Hamidah, 2023; Ramadhan & Nur Sari, 2023). Kolaborasi antara keluarga, sekolah, lembaga agama, pemerintah, dan masyarakat menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pencegahan penyimpangan seksual.Â
Upaya yang melibatkan semua pihak ini tidak hanya bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada korban, tetapi juga untuk menciptakan masyarakat yang memiliki kesadaran akan pentingnya nilai-nilai moral, etika, dan kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari (Kholisotin & Azzakiyah, 2021; Sulastri et al., 2022). Dengan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan, diharapkan kasus-kasus penyimpangan seksual dapat diminimalisasi, sehingga tercipta generasi yang memiliki kesadaran moral dan tanggung jawab sosial yang tinggi.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode literatur review, yaitu pendekatan yang berfokus pada pengumpulan dan analisis data sekunder dari berbagai sumber ilmiah. Penelusuran literatur dilakukan melalui database akademik terpercaya seperti Google Scholar dan SINTA. Sumber yang digunakan mencakup artikel jurnal, laporan penelitian, dan dokumen lainnya yang relevan dengan topik penyimpangan seksual. Literatur yang diprioritaskan adalah yang diterbitkan dalam lima tahun terakhir untuk memastikan relevansi dan kemutakhiran data.