Dalam dunia pendidikan dasar, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter serta menanamkan nilai-nilai kebangsaan pada peserta didik. Namun, evaluasi pembelajaran PPKn di SD kerap kali menjadi sorotan karena lebih banyak menitikberatkan pada aspek kognitif. Hal ini membuat aspek afektif dan psikomotor, yang sama pentingnya, kurang mendapatkan perhatian yang memadai. Akibatnya, pembelajaran PPKn sering kali hanya dinilai berdasarkan seberapa baik siswa memahami teori dan konsep, tanpa melihat bagaimana  mereka menginternalisasi dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Evaluasi PPKn yang cenderung kognitif biasanya berbentuk tes tertulis, seperti soal pilihan ganda atau esai yang mengukur pemahaman siswa terhadap materi seperti Pancasila, UUD 1945, dan norma-norma masyarakat. Pendekatan ini memang lebih mudah diterapkan, terutama mengingat keterbatasan waktu dan sumber daya yang dihadapi guru. Namun, dengan hanya menilai aspek kognitif, evaluasi ini tidak mampu mencerminkan sejauh mana siswa benar-benar memahami dan mempraktikkan nilai-nilai yang diajarkan, seperti gotong royong, toleransi, dan tanggung jawab. Misalnya, seorang siswa mungkin dapat menjelaskan defenisi gotong royong dengan baik di atas kertas, tetapi belum tentu memiliki kesempatan untuk mempraktikkannya dalam kegiatan nyata di sekolah atau masyarakat.
Kecenderungan ini menimbulkan kesenjangan yang signifikan antara teori dan praktik. Siswa hanya diajarkan untuk memahami konsep secara akademis tanpa kesempatan untuk mengembangkan sikap dan keterampilan yang relevan. Kondisi ini tidak hanya mengurangi efektivitas pembelajaran PPKn, tetapi juga menghambat tujuan utama pendidikan karakter, yaitu membentuk generasi muda yang memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan kewarganegaraan yang baik.
Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu diterapkan pendekatan evaluasi yang lebih holistik, mencakup tiga domain utama: kognitif, afektif, dan psikomotor. Beberapa solusi yang dapat dilakukan antara lain adalah penggunaan rubrik observasi, pemberian proyek berbasis komunitas, dan penerapan refleksi diri. Melalui rubrik observasi, guru dapat mengevaluasi perilaku siswa selama kegiatan pembelajaran, seperti diskusi kelompok, simulasi, atau permainan peran, untuk menilai sejauh mana mereka menunjukkan sikap yang sesuai dengan nilai-nilai PPKn. Proyek berbasis komunitas, seperti membersihkan lingkungan sekolah atau membantu teman sekelas, dapat menjadi sarana efektif untuk menilai aspek afektif dan psikomotr siswa.
Lalu, siswa juga dapat diminta menulis jurnal refleksi tentang pengalaman mereka dalam menerapkan nilai-nilai PPKn. Langkah ini tidak hanya membantu siswa memahami dampak dari tindakan mereka, tetapi juga memberikan guru wawasan mengenai sejauh mana internalisasi nilai telah terjadi. Selain itu, pelatihan untuk guru PPKn sangat diperlukan agar mereka memiliki keterampilan dalam merancang dan melaksanakan evaluasi yang mencakup ketiga domain pembelajaran secara seimbang. Guru yang kompeten dalam hal ini akan mampu menciptakan proses pembelajaran yang lebih bermakna dan efektif, sehingga tujuan pendidikan karakter dapat tercapai dengan lebih baik.
Dengan menerapkan evaluasi yang lebih komperehensif, diharapkan siswa tidak hanya memahami nilai-nilai PPKn secara teori, tetapi juga mampu menghayati dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. ini adalah tantangan besar yang membutuhkan kolaborasi erat antara guru dan sekolah. Hanya dengan upaya bersama, sistem evaluasi yang mendukung tujuan pendidikan karakter dapat benar-benar diwijudkan, sehingga generasi muda Indonesia tumbuh menjadi individu yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H