Mohon tunggu...
Najwa Mahmida
Najwa Mahmida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Sociology at Universitas Airlangga

Halo! Namaku Najwa Mahmida, bisa dipanggil Naz, dan aku adalah seseorang yang selalu penasaran dengan hal-hal baru. Hobiku beragam, mulai dari membaca buku fiksi, fangirling, hingga menyanyi. Selain itu, aku juga suka berorganisasi. Melalui pengalaman organisasi, aku banyak belajar bagaimana bekerja sama dalam tim, memimpin diskusi, dan menyelesaikan masalah dengan efektif. Aku sangat percaya bahwa kepribadianku yang ramah dan terbuka membuatku mudah bergaul dan beradaptasi dalam lingkungan baru. Kepribadianku yaitu extrovert. Aku tidak ragu untuk terlibat dalam kegiatan sosial. Aku percaya bahwa keseimbangan ini membuatku fleksibel dan tangguh dalam menghadapi berbagai situasi.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Fenomena Utang Paylater di Indonesia: Mencapai Rp 26,37 Triliun per Agustus 2024

5 Oktober 2024   21:26 Diperbarui: 5 Oktober 2024   23:23 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Fenomena “Buy Now, Pay Later” (BNPL) atau yang lebih dikenal dengan istilah PayLater semakin populer di Indonesia. Berdasarkan data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), utang PayLater masyarakat Indonesia mencapai Rp 26,37 triliun per Agustus 2024. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan dalam penggunaan layanan ini, baik dari sektor perbankan maupun multifinance. Produk kredit FinTech yang tidak diatur yang memungkinkan konsumen menunda pembayaran menjadi cicilan tanpa bunga. BNPL menggunakan data transaksi kartu kredit di Inggris. Konsumen yang membebankan transaksi BNPL ke kartu kredit mereka. Pembebanan BNPL ke kartu kredit paling umum terjadi di kalangan konsumen muda dan mereka yang tinggal di daerah yang paling miskin. Pembebanan bunga 0%, amortisasi utang BNPL ke kartu kredit di mana suku bunga tipikal adalah 20% dan jadwal amortisasi berlangsung selama beberapa dekade menimbulkan keraguan tentang kemampuan konsumen ini untuk membayar BNPL. Hal ini menimbulkan pertanyaan regulasi apakah konsumen harus diizinkan untuk membiayai kembali utang tanpa jaminan mereka. 

Pertumbuhan Utang PayLater

Menurut OJK, pertumbuhan utang PayLater di sektor multifinance meningkat sebesar 89,20% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp 7,99 triliun dengan Non-Performing Financing (NPF) gross sebesar 2,52%1. Sementara itu, di sektor perbankan, baki debet kredit BNPL tumbuh 40,68% yoy menjadi Rp 18,38 triliun dengan total jumlah rekening mencapai 18,95 juta.

Faktor Pendorong

Beberapa faktor yang mendorong peningkatan penggunaan PayLater antara lain:

  1. Kemudahan Akses: Layanan PayLater menawarkan kemudahan dalam bertransaksi tanpa perlu memiliki kartu kredit. Selain itu, kemudahan akses lainnya adalah masyarakat bisa dengan mudah mengakses layanan paylater di hp mereka sendiri dengan menyerahkan selfie mereka dan KTP. Proses melakukan paylater sendiri sangat cepat, berkisar 5 menit akun layanan paylater bisa dapat digunakan.
  2. Gaya Hidup Digital: Generasi muda yang akrab dengan teknologi cenderung memilih PayLater untuk memenuhi kebutuhan konsumsi mereka.
  3. Promosi dan Diskon: Banyak platform e-commerce yang menawarkan promosi menarik bagi pengguna PayLater, sehingga semakin banyak orang tertarik untuk menggunakan layanan ini.

Risiko dan Tantangan

Meskipun menawarkan berbagai kemudahan, penggunaan PayLater juga memiliki risiko. Tingginya angka utang dapat berdampak negatif pada kesehatan finansial masyarakat. Risiko kredit untuk BNPL di sektor perbankan tercatat turun ke level 2,21% dari 2,24% pada Juli 20241. Namun, hal ini tetap menjadi perhatian bagi OJK yang terus mengkaji aturan terkait layanan PayLater, termasuk perlindungan data pribadi dan manajemen risiko.

Kisah Nyata

Mai (26), seorang karyawan BUMN, mengungkapkan bahwa awalnya ia merasa terbantu dengan layanan PayLater untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, seiring berjalannya waktu, ia merasa terjebak dalam lingkaran utang yang sulit diatasi. “Sekarang setengah gaji saya habis untuk bayar cicilan,” ungkapnya.

Di sisi lain, Alaya (23), seorang wirausaha muda, berhasil memanfaatkan PayLater untuk mengembangkan bisnisnya. “Kuncinya adalah disiplin dan perencanaan matang. Saya gunakan PayLater untuk modal usaha, bukan untuk foya-foya,” jelasnya.

Kesimpulan

Fenomena PayLater di Indonesia menunjukkan tren yang terus meningkat dengan berbagai keuntungan dan risiko yang menyertainya. Penting bagi masyarakat untuk bijak dalam menggunakan layanan ini agar tidak terjebak dalam jeratan utang yang sulit diatasi. Edukasi mengenai manajemen keuangan dan risiko penggunaan PayLater perlu terus digalakkan untuk menjaga kesehatan finansial masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun