Mohon tunggu...
Najwa KhalissyaAfdal
Najwa KhalissyaAfdal Mohon Tunggu... Mahasiswa - FK UNAIR 24

ENFP

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Tinjauan Etika Kesehatan Digital Dan Kecerdasan Buatan Dalam Penggunaan Artificial Intelligence Untuk Diagnosis Penyakit

6 Januari 2025   21:20 Diperbarui: 6 Januari 2025   21:17 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Terdapat risiko terkait dengan fungsi aplikasi AI yang berpotensi otonom. Chatbot medis berfungsi memberikan rekomendasi diagnosis dan perawatan untuk mengurangi kunjungan medis. Namun, chatbot medis ini juga dilansir dapat membahayakan pasien jika tidak terus diperbaharui, diperiksa, dan diatur. Dalam suatu Jurnal 2021 7th International Conference on Advanced Computing & Communication Systems (ICACCS) membahas Chatbot medis dan penerapannya, penulisnya (Jahnvi Gupta, Vinay Singh, Ish Kumar) membuat salah satu contoh aplikasinya, yakni Florence. Florence dapat terhubung dengan pengguna dan menerima masukan berupa gejala-gejala pengguna. Mengidentifikasi kemungkinan penyakit dengan memberikan jawaban cepat atas pertanyaan pengguna. Chatbot tersebut juga mencatat informasi pribadi seperti berat badan, juga menyediakan informasi tentang penyakit dan lokasi tertentu seperti dokter atau apotek hingga menyediakan informasi spesifik tentang pengobatan dan dosis obat.
Namun, dilain sisi terdapat beberapa Isu Keselamatan penggunaan AI yang perlu diperhatikan berupa risiko kejadian dan bahaya saat praktik kedokteran, seperti kesalahan program, keamanan siber, kebutuhan akan pengujian sertifikasi perangkat lunak yang memadai dan sebagainya yang mencakup masalah hukum dan etika. Keterbatasan AI berupa bias algoritma, kualitas dan keamanan data Adapun Isu Keterbatasan AI berupa bias algoritma, kualitas, dan keamanan data. Bias algoritma yang timbul berupa
underestimate atau overestimate dalam mendiagnosis penyakit pasien akibat data yang tidak representatif, Isu Etik yang muncul karena penggunaan AI di bidang kedokteran terkait persetujuan, rahasia pasien, kepercayaan, empati tanggung jawab, Prinsip etika kedokteran : Autonomy, Non maleficence, beneficence, dan keadilan, Regulasi Penggunaan AI terkait privasi dan keamanan data.
Dalam penerapan seluruh praktik kedokteran dalam dunia kesehatan diperlukan untuk menerapkan empat prinsip etika kedokteran yang menyangkut praktik kedokteran dan perawatan pasien, yakni non maleficence, beneficence, otonomi, dan keadilan. Penggunaan AI diharapkan untuk mematuhi keempat etika tersebut guna menghindari pelanggaran etika hukum kesehatan pada manusia dan memastikan bahwa mesin tidak membahayakan manusia.
1. Isu Keselamatan penggunaan AI dalam bidang kedokteran
Isu keselamatan penggunaan AI dalam bidang kedokteran adalah risiko kejadian dan bahaya saat praktik kedokteran, seperti kesalahan program, keamanan siber, kebutuhan akan pengujian sertifikasi perangkat lunak yang memadai dan sebagainya yang mencakup masalah hukum dan etika. Hal pertama yang perlu dipertimbangkan saat menggunakan AI dalam kedokteran adalah memastikan keamanan, untuk melindungi dan meningkatkan kesehatan manusia. Saat AI melakukan kesalahan maka dapat menyebabkan bahaya bagi manusia.
2. Isu Etik yang muncul karena penggunaan AI di bidang kedokteran terkait keamanan data, persetujuan, rahasia pasien, kepercayaan, empati tanggung jawab
Sari Dwi Rahayu mengemukakan pendapatnya dalam jurnal Health Ethics and Technology (2023). Menghormati privasi pasien adalah salah satu prinsip etika mendasar. Informasi medis yang dikumpulkan oleh AI atau teknologi digital harus dijaga kerahasiaannya dan hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki izin. Pedoman keamanan data yang ketat, seperti enkripsi dan perlindungan data pribadi, harus dipatuhi saat menggunakan teknologi ini untuk mencegah kemungkinan kebocoran informasi yang dapat membahayakan pasien.
3. Prinsip etika kedokteran : Otonomi, Non-maleficence, beneficence, dan keadilan
Penerapan etika dalam kesehatan digital dan kecerdasan buatan menggunakan prinsip beneficence yang mengutamakan kebutuhan pasien perlu diterapkan dengan memastikan hal tersebut. Selain itu, prinsip non maleficence yang menyatakan bahwa seseorang tidak boleh melukai pasien harus dipatuhi setiap saat. AI perlu dikembangkan dan dievaluasi dengan baik untuk memastikan bahwa AI tidak melakukan kesalahan yang dapat merugikan pasien, termasuk memberikan diagnosis yang salah atau menyarankan program terapi yang salah. Praktisi kesehatan perlu mewaspadai kemungkinan kelemahan dan bahaya teknologi digital yang mereka gunakan, seperti potensi kesalahan diagnosis akibat AI atau alat analisis. Oleh karena itu, AI harus dilatih berdasarkan data medis yang representatif dan berada pengawasan profesional medis yang dapat memvalidasi temuan analisis.
Transparansi dan kesetaraan dalam penerapan AI juga merupakan aspek etika. Pasien perlu mendapat informasi lengkap tentang sistem AI, termasuk cara kerjanya, segala bias dalam pengambilan keputusan, dan bahaya yang terkait. Penerapan teknologi yang tidak membeda-bedakan kelompok tertentu berdasarkan usia, jenis kelamin, warna kulit, atau status sosial ekonomi menjadi fokus prinsip keadilan. Selama digunakan dengan hati-hati dan mematuhi kriteria etika yang ketat, penggunaan AI dalam deteksi penyakit dapat mematuhi konsep etika medis seperti otonomi pasien dan transparansi.
Menurut Budi Santoso dalam jurnal Health Ethics and Technology (2024). Jika AI diterapkan dalam proses diagnosis secara transparan, prinsip otonomi pasien yang menekankan hak pasien untuk mengambil keputusan berdasarkan informasi yang akurat dan komprehensif tetap dapat ditegakkan. Penyedia layanan kesehatan harus menjelaskan secara memadai kepada pasien cara kerja
teknologi AI, potensi risiko dan keuntungannya, serta cara sistem menggunakan data medis pasien sebelum menggunakannya untuk diagnosis atau pengobatan. Pasien dapat mengambil keputusan yang tepat mengenai penggunaan perangkat ini jika mereka memiliki akses terhadap informasi yang cukup.
Selain itu, ketika menggunakan AI, konsep transparansi sangatlah penting. Pasien harus mendapat informasi lengkap tentang pengoperasian algoritma AI dan potensi bias dalam algoritma atau data yang dapat mempengaruhi hasil diagnosis. Sistem AI harus dibuat agar praktisi medis dapat menjelaskan secara terbuka kepada pasien mengenai keterbatasan atau kemungkinan kesalahan yang mungkin timbul, serta bagaimana hasil diagnosis diperoleh.
Dalam jurnal Penerapan Kecerdasan Buatan dalam Diagnosis Penyakit (2024), Andi Kurniawan menyebutkan sejumlah faktor mempengaruhi keakuratan AI dalam mendiagnosis penyakit dan berkaitan erat dengan kemungkinan kesalahan diagnosis. Untuk menjamin keakuratan yang tinggi, data medis harus menyeluruh, representatif, dan berkualitas tinggi. Hasil diagnosis AI mungkin salah jika data yang digunakan tidak cukup beragam atau mengandung ketidakakuratan. AI dapat menghasilkan diagnosis yang salah atau tidak relevan untuk kelompok pasien lain, misalnya jika data hanya berasal dari kelompok pasien tertentu. Hal ini meningkatkan kemungkinan kesalahan diagnosis
4. Regulasi Penggunaan AI terkait privasi dan keamanan data
AI dan teknologi digital lainnya, seperti sistem pengelolaan data pasien, perlu dipadukan dengan langkah-langkah keamanan yang melindungi terhadap akses ilegal dan kebocoran data. Selain itu, profesional kesehatan harus berkomunikasi secara terbuka dengan pasien tentang bagaimana teknologi digital digunakan dalam diagnosis dan pengobatan. Hal ini berarti memberi tahu mereka bagaimana data mereka digunakan, risikonya, dan manfaat yang diharapkan. Konsep otonomi, yang memberikan pasien hak untuk mengambil keputusan berdasarkan pengetahuan penuh, sejalan dengan transparansi ini. Memastikan bahwa teknologi digital dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan pasien dan kualitas layanan.
Penggunaan AI oleh dokter di Indonesia sampai saat ini belum ada peraturan resmi yang mengaturnya secara khusus. Seperti halnya dalam menggunakan media sosial maka para dokter diharapkan agar menggunakan AI dengan mempertimbangkan aspek-aspek etik yang termuat dalam Kode Etik  
Kedokteran Indonesia (KODEKI), terutama profesionalisme, kejujuran, rahasia jabatan, serta keterangan dan pendapat yang valid. The IEEE Global Initiative for Ethical Considerations in AI and Autonomous Systems merekomendasikan agar dalam pengembangan teknologi untuk memasukkan etika sebagai bagian penting dan tidak terpisahkan sehingga etika dan hak asasi manusia menjadi bagian alami dalam proses mendesain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun