Nama : Najwa Alya Gibran
Nim   : 202210230311281
Â
Polemik Self-Diagnose terhadap Mental Health
Self-Diagnose
      Fenomena Self-Diagnose sering kita jumpai di era yang serba digital ini, terutama pada golongan Gen-Z. Perkembangan teknologi dan informasi yang memudahkan akses internet dan mencari banyak hal, termasuk informasi mengenai kesehatan fisik dan psikis. Hal ini tentu memiliki sisi positif dan negatifnya masing-masing.
Menilik dari segi positifnya dahulu, seseorang dapat lebih waspada akan gejala-gejala mengenai Mental Disorder atau sebuah kondisi yang menyebabkan gangguan pemikiran serta perilaku yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk mengatasi tuntutan dan rutinitas hidup yang biasa. Sudah banyak situs yang menulis tentang ciri dan gejala Mental Disorder.
Namun dari segi negatifnya, hal ini dapat memicu dan menjadi marak Self-Diagnose terhadap kesehatan mentalnya. Self-diagnose adalah upaya mendiagnosis dirisendiri memiliki sebuah gangguan atau penyakit berdasarkan pengetahuan yangdimiliki. Dibandingkan manfaat yang didapat, Selfdiagnose melalui internet memiliki banyak risiko yang berbahaya (Mcmullan, 2018).[1] Dalam sebuah wawancara, Psikolog Arjadi (2019) menyatakan bahwa self diagnose cenderung berdampak negatif apabila seseorang tergesa-gesa dalam mengambil keputusan dan tidak menindaklanjuti hasil self diagnose kepada ahli. Saat ini banyak informasi kesehatan yang tidak valid beredar di internet. Kesalahan self-diagnose yang dilakukan individu yang hanya berdasarkan informasi di internet dapat berdampak lebih buruk apabila individu menindaklanjutinya dengan cara pengobatan yang tidak tepat.[2]
Â
Pada hakikatnya, informasi mengenai yang beredar sangat berguan untuk mengenali sebuah gejala awal dari suatu penyakit dan memungkinkan beberapa orang untuk lebih membiasakan gaya hidup yang sehat. Meski demikian Self-Diagnose bukanlah suatu tindakan yang tepat, setidaknya membutuhkan konsultasi lebih lanjut dengan yang ahli. Self-Diagnose terhadap Kesehatan Mental tentu merugikan bagi setian pelakunya, salah satu contohnya adalah rasa cemas yang berlebih. Individu yang mengalami gangguan kecemasan dapat berperilaku tidak lazim seperti panik tanpa alasan, takut yang tidak beralasan terhadap objek atau kondisi kehidupan dan melakukan tindakan berulang-ulang tanpa dapat dikendalikan (Diferiansyah dkk., 2016).[3]
Â