ABSTRAK
Dalam Islam, jual beli barang haram atau barang yang digunakan untuk perbuatan haram dilarang keras. Prinsip dasar syariah melarang segala bentuk transaksi yang mendatangkan kemudharatan, baik kepada individu maupun masyarakat. Barang-barang seperti alkohol, daging babi, serta alat untuk perjudian termasuk dalam kategori haram dan tidak sah untuk diperjual belikan. Selain itu, transaksi yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar) atau syarat yang merugikan salah satu pihak juga dianggap tidak sah. Transaksi yang melibatkan penipuan atau menyembunyikan cacat barang tanpa memberitahu pembeli adalah haram dan bertentangan dengan prinsip kejujuran (ṣidq) dan keterbukaan (bayān) dalam muamalah. Islam memberikan hak kepada pembeli melalui konsep khiyar untuk membatalkan transaksi jika terdapat ketidakadilan atau penipuan. Prinsip keadilan dan kejujuran dalam jual beli sangat penting dalam menjaga hubungan ekonomi yang sehat antar individu. Fikih Muamalah mengatur hak-hak ini agar transaksi berlangsung secara sukarela dan tanpa unsur paksaan atau penipuan.
Kata Kunci: Jual Beli Barang Haram, Syarat Transaksi, Gharar, Khiyar, Kejujuran, Keadilan, Dan Muamalah
Dalam Islam, hukum jual beli barang haram atau barang yang digunakan untuk hal-hal haram adalah dilarang (haram). Hal ini disebabkan oleh prinsip dasar dalam syariah yang menekankan pada larangan terhadap segala sesuatu yang dapat mendatangkan kemudharatan, baik bagi individu maupun masyarakat.
Hukum Jual Beli Barang Haram
1. Barang Haram :
Barang-barang yang secara eksplisit dilarang dalam syariah, seperti minuman beralkohol, daging babi, dan barang yang terkait dengan praktik perjudian, dianggap haram untuk diperdagangkan. Allah berfirman dalam Al-Qur'an :
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Artinya : "Dan janganlah kamu saling memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil" (QS. Al-Baqarah: 188).
2. Transaksi untuk Keperluan Haram :
Jual beli barang yang digunakan untuk hal-hal haram, seperti alat perjudian, senjata yang digunakan untuk kejahatan, atau perangkat yang digunakan untuk berzina, juga dianggap haram. Mengadakan transaksi semacam ini dapat menyebabkan pelanggaran hukum syariah.
Dampak terhadap Keabsahan Transaksi
Transaksi yang Haram : Jika transaksi melibatkan barang haram, maka transaksi tersebut menjadi tidak sah (batil). Ini berarti bahwa baik penjual maupun pembeli tidak mendapatkan berkah dari transaksi tersebut, dan di akhirat mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan mereka.
Transaksi yang haram juga dapat berdampak negatif pada rezeki, Allah berfirman :
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا وَزِيْنَتَهَا نُوَفِّ اِلَيْهِمْ اَعْمَالَهُمْ فِيْهَا وَهُمْ فِيْهَا لَا يُبْخَسُوْنَ
اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ لَيْسَ لَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ اِلَّا النَّارُۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوْا فِيْهَا وَبٰطِلٌ مَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Artinya : "Dan barangsiapa yang menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, Kami akan berikan kepada mereka balasan amal mereka di dunia, dan mereka tidak akan dirugikan di dalamnya. Mereka itu adalah orang-orang yang tidak akan mendapatkan di akhirat kecuali api neraka" (QS. Hud: 15-16).
CONTOH KASUS :
Seorang pedagang yang menjual minuman beralkohol terlibat dalam praktik jual beli yang haram. Transaksi ini tidak sah dan akan mendapatkan dosa.
Dalam pandangan Islam, jual beli yang dilakukan dengan syarat atau perjanjian yang merugikan salah satu pihak tidak diperbolehkan. Hal ini berkaitan dengan prinsip keadilan dan larangan terhadap gharar (ketidakpastian) serta riba (penindasan atau ketidakadilan). Transaksi yang mengandung unsur merugikan salah satu pihak dianggap tidak sah karena dapat menyebabkan ketidakadilan dan berpotensi menindas.
Syarat sahnya jual beli dalam Islam harus memenuhi beberapa hal, di antaranya adalah :
1. Ridha atau kerelaan kedua belah pihak. Kedua pihak harus sama-sama rela dan tidak ada yang terpaksa atau ditipu.
2. Tidak ada unsur penipuan atau ketidakpastian (gharar). Jual beli yang sah tidak boleh mengandung ketidakpastian yang dapat merugikan salah satu pihak.
3. Objek jual beli halal. Barang atau jasa yang diperjualbelikan harus halal dan tidak melanggar aturan syariat.
Jika dalam perjanjian terdapat syarat yang merugikan salah satu pihak, maka transaksi tersebut termasuk dalam kategori gharar, yang dilarang. Misalnya, seorang penjual menjual rumah tetapi mensyaratkan bahwa pembeli harus membayar seluruh biaya perbaikan di masa depan tanpa informasi yang jelas tentang apa saja yang perlu diperbaiki. Kondisi ini menyebabkan ketidakpastian bagi pembeli dan dianggap merugikan.
CONTOH KASUS :
Seseorang menjual sepeda motor dengan syarat pembeli harus membeli asuransi dari perusahaan yang telah ditentukan oleh penjual, yang harganya jauh lebih mahal dari asuransi lain yang tersedia di pasaran. Ini juga dapat dianggap sebagai syarat yang memberatkan dan merugikan pembeli, sehingga tidak sesuai dengan prinsip keadilan dalam Islam.
Dalam Islam, jual beli barang yang rusak atau cacat tanpa menjelaskan cacat tersebut kepada pembeli dianggap sebagai tindakan yang tidak jujur dan dilarang. Hal ini bertentangan dengan prinsip kejujuran (ṣidq) dan keterbukaan (bayān) yang harus dipegang dalam muamalah (interaksi sosial-ekonomi), termasuk dalam jual beli.
Hukum Jual Beli Barang Cacat Tanpa Penjelasan :
Hukum jual beli barang yang cacat tetapi cacat tersebut tidak dijelaskan kepada pembeli adalah haram karena mengandung unsur penipuan (gharar). Rasulullah SAW bersabda:
"Barang siapa menipu, maka ia bukan dari golongan kami" (HR. Muslim)
Hukum Jual Beli Barang Cacat Tanpa Penjelasan, Berdasarkan Al-Qur’an Surah Al-Baqarah Ayat 42 :
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Artinya : " Janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (jangan pula) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahui(-nya) "
Dalam konteks hukum jual beli barang cacat tanpa penjelasan, ayat Al-Qur'an Surah Al-Baqarah Ayat 42 menekankan pentingnya bersikap jujur dan transparan dalam transaksi. Ayat ini melarang menyembunyikan kebenaran atau mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan. Dalam jual beli, jika penjual mengetahui barang yang dijual memiliki cacat namun tidak memberitahukan kepada pembeli, tindakan ini termasuk dalam menyembunyikan kebenaran, yang dilarang oleh ayat tersebut.
Hak Pembeli dalam Islam :
Islam memberikan hak kepada pembeli dalam situasi seperti ini melalui konsep khiyar. Ada beberapa jenis khiyar yang relevan dalam konteks jual beli barang cacat, antara lain :
1. Khiyar Aib : Hak pembeli untuk membatalkan transaksi atau meminta penggantian jika ia menemukan cacat pada barang setelah membeli, tetapi cacat tersebut tidak diberitahukan sebelumnya. Dasar hukum Khiyar Aib ini, diantaranya adalah hadis Nabi Saw yang berbunyi :
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَبِيعَ عَلَى أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلاَّ بَيَّنَهُ (رواه ابن ماجه عن عقبة بن عامر)
Artinya : “Sesama muslim itu bersaudara; tidak halal bagi seorang
muslim menjual barangnya kepada muslim lain, padahal pada barang terdapat aib/cacat”. (HR Ibn Majah dari Uqbah ibn Amir)”.
Adapun syarat-syarat berlakunya khiyar aib, menurut para pakar setelah diketahui ada cacat pada barang itu, adalah cacat itu diketahui sebelum atau setelah akad tetapi belum serah terima barang dan harga atau cacat itu merupakan cacat lama. Syarat-syarat tersebut yaitu :
A. Pembeli tidak mengetahui bahwa pada barang itu ada cacat ketika akad berlangsung.
B. Ketika akad berlangsung, pemilik barang (penjual) tidak mensyaratkan bahwa apabila ada cacat tidak boleh dikembalikan.
C. Cacat itu tidak hilang sampai dilakukan pembatalan akad.
Sedangkan untuk mengembalikan barang yang dijual harus dipenuhi beberapa syarat yaitu:
A. Pada umumnya menurut adat kebiasaan, barang yang dijual selamat (terbebas) dari cacat (aib).
B. Aib tersebut tidak mungkin dihilangkan kecuali dengan susah payah. Apabila aib bisa dihilangkan dengan mudah maka barang tidak perlu dikembalikan.
C. Aib (cacat) tersebut harus ada pada barang yang dijual dan barang tersebut masih ditangan penjual.
2. Khiyar Ru'yah: Hak pembeli untuk memeriksa barang sebelum menyetujui jual beli. Jika barang yang diterima berbeda atau tidak sesuai dengan yang dijanjikan, pembeli dapat membatalkan transaksi. Syarat khiyar ru'yah bagi yang membolehkannya yaitu:
A. Barang yang akan ditransaksikan berupa barang yang secara fisik ada dan dapat dilihat berupa harta tetap atau harta bergerak.
B. Barang dagangan yang ditransaksikan dapat dibatalkan dengan mengembalikan saat transaksi.
C. Tidak melihat barang dagangan ketika terjadi transaksi atau sebelumnya, sedangkan barang dagangan tersebut tidak berubah.
CONTOH KASUS :
Seorang penjual elektronik menjual sebuah ponsel yang layarnya sudah retak. Namun, ia tidak memberitahukan kerusakan ini kepada pembeli dan mengatakan bahwa ponsel tersebut dalam kondisi sempurna. Setelah membeli dan melihat kerusakan tersebut, pembeli dapat menggunakan haknya untuk membatalkan transaksi berdasarkan khiyar aib, karena ia tidak mendapatkan informasi yang jujur dari penjual.
Prinsip keadilan dan kejujuran dalam jual beli dalam Fikih Muamalah sangat penting untuk menjaga hubungan ekonomi yang sehat antar individu. Fikih Muamalah mengatur berbagai aspek interaksi ekonomi, termasuk jual beli, dengan tujuan menjaga kepentingan semua pihak yang terlibat. Dua prinsip utama yang diutamakan dalam jual beli adalah:
1. Keadilan (Al-‘Adl) :
Dalam Islam, keadilan berarti memberikan hak kepada yang berhak dan tidak merugikan pihak lain. Dalam konteks jual beli, ini berarti barang yang dijual harus sesuai dengan kualitas dan kuantitas yang dijanjikan. Tidak boleh ada unsur penipuan atau ketidakjelasan yang merugikan salah satu pihak. Misalnya, pedagang tidak boleh menutupi cacat barang yang dijual, dan pembeli harus mendapatkan barang sesuai dengan harga yang dibayarkan.
2. Kejujuran (As-Sidq) :
Kejujuran dalam transaksi ekonomi adalah fondasi penting yang menjaga kepercayaan antara penjual dan pembeli. Penjual harus jujur dalam menjelaskan kondisi barang, harga, dan informasi lainnya yang relevan dengan transaksi. Penipuan, atau gharar (ketidakjelasan), sangat dilarang karena bisa menyebabkan ketidakadilan dan ketidakpuasan.
Dampak pada Hubungan Ekonomi Antar Individu :
Prinsip keadilan dan kejujuran dalam jual beli menciptakan kepercayaan yang mendalam antara individu-individu yang terlibat dalam transaksi ekonomi. Jika keadilan dan kejujuran ditegakkan, maka hubungan ekonomi menjadi lebih stabil, tidak ada pihak yang merasa dirugikan, dan kerja sama jangka panjang bisa terbentuk. Namun, jika salah satu pihak tidak adil atau tidak jujur, ini bisa merusak kepercayaan dan menciptakan konflik, yang pada akhirnya merugikan kedua belah pihak secara ekonomi dan sosial.
CONTOH KASUS :
Jika seseorang membeli buah dari pedagang, pedagang tersebut harus memastikan bahwa buah yang dijual sesuai dengan kualitas yang dijanjikan. Jika ada buah yang busuk, harus dijelaskan kepada pembeli, dan harganya harus disesuaikan dengan kualitas tersebut. Hal ini menciptakan kepercayaan antara pembeli dan penjual.
Prinsip Khiyar (Hak Memilih) dalam Jual Beli :
Khiyar adalah hak bagi kedua belah pihak, baik pembeli maupun penjual, untuk memilih antara melanjutkan atau membatalkan transaksi jual beli dalam kondisi tertentu. Dalam Fikih Muamalah, khiyar bertujuan untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi kedua pihak agar transaksi berlangsung dengan sukarela dan tanpa adanya unsur paksaan atau penipuan.
Jenis-jenis Khiyar dalam Fikih Muamalah :
1. Khiyar Majlis
Khiyar majelis yaitu hak pilih bagi kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan akad, selama keduanya masih berada dalam majelis akad (di ruangan toko) dan belum berpisah badan. Artinya, suatu transaksi baru dianggap sah apabila kedua belah pihak yang melaksanakan akad telah berpisah badan atau salah seorang di antara mereka telah melakukan pilihan untuk menjual dan atau membeli.
2. Khiyar Syarat
Khiyar syarat adalah suatu khiyar di mana seseorang membeli sesuatu dari pihak lain dengan ketentuan ia boleh melakukan khiyar pada masa atau waktu tertentu. Walaupun waktu tersebut lama, apabila ia menghendaki maka ia bisa melangsungkan jual beli dan apabila ia menghendaki ia bisa membatalkannya.
3. Khiyar Aib
khiyar Aib, yaitu hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli bagi kedua belah pihak yang berakad, apabila terdapat suatu cacat pada objek yang diperjual belikan, dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya ketika akad.
4. Khiyar Ru’yah
Khiyar ru'yah adalah hak pembeli untuk membatalkan atau meneruskan ketika ia melihat obyek akad dengan syarat ia belum melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya ia pernah melihat dalam batas waktu yang memungkinkan telah jadi batas perubahan atasnya.
5. Khiyar Ta’yin
Khiyar ta’yin adalah hak pembeli untuk memilih satu dari beberapa barang yang ditawarkan oleh penjual.
CONTOH KASUS :
Misalnya, seseorang membeli sepatu di toko. Setelah mencoba sepatu di rumah, ternyata ukurannya kurang pas. Jika saat membeli sepatu tersebut ada kesepakatan khiyar syarat selama 7 hari, maka pembeli bisa kembali ke toko dalam jangka waktu tersebut untuk mengembalikan atau menukarnya. Jika pembeli menemukan cacat pada sepatu, dia juga bisa menggunakan khiyar aib untuk membatalkan transaksi meskipun tidak ada kesepakatan waktu sebelumnya.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari teks di atas mengenai hukum jual beli dalam Islam adalah sebagai berikut:
1. Jual Beli Barang Haram : Jual beli barang yang diharamkan dalam Islam, seperti alkohol dan daging babi, serta barang yang digunakan untuk keperluan haram, tidak sah dan dianggap haram. Transaksi semacam itu tidak memiliki berkah dan akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
2. Syarat Sah Jual Beli : Untuk sahnya transaksi jual beli, kedua pihak harus ridha, barang yang diperjual belikan harus halal, dan tidak ada unsur penipuan atau ketidakpastian (gharar) yang merugikan salah satu pihak.
3. Jual Beli Barang Cacat : Menjual barang yang cacat tanpa memberi tahu pembeli adalah haram karena dianggap sebagai penipuan. Pembeli memiliki hak untuk membatalkan transaksi (khiyar aib) jika cacat tidak di informasikan.
4. Prinsip Keadilan dan Kejujuran : Islam menekankan keadilan dan kejujuran dalam transaksi ekonomi. Keadilan berarti tidak merugikan pihak lain, sedangkan kejujuran berarti penjual harus transparan mengenai kondisi barang yang dijual. Keadilan dan kejujuran menjaga hubungan ekonomi yang sehat antar individu.
5. Khiyar dalam Jual Beli : Khiyar adalah hak pembeli atau penjual untuk membatalkan atau melanjutkan transaksi dalam kondisi tertentu. Jenis-jenis khiyar termasuk khiyar majlis, khiyar syarat, khiyar aib, dan khiyar ru’yah, yang bertujuan melindungi hak dan kepentingan kedua belah pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, I. (2017). "Analisis Hukum Jual Beli Barang Haram." Jurnal Hukum Islam, 14(1), 45-60.
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 2, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, h. 25.
Abdul Basith Junaidy, Asas Hukum Ekonomi Dan Bisnis Islam (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014). 120.
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), 41.
Abdul Rahman, Yasmin. "Jual Beli dalam Perspektif Hukum Islam." Jurnal Ekonomi Islam dan Muamalah, vol. 8, no. 2, 2022, pp. 123-137.
Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, Surabaya: Pusaka Progresif, 1984, h. 971-972.
Al-Qaradhawi, Yusuf. Fiqh Muamalah Kontemporer: Kajian Lengkap tentang Berbagai Praktik Muamalah dalam Perspektif Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011.
Al-Qur'an. QS. Al-Baqarah: 188 dan QS. Hud: 15-16.
Al-Qur’an Surah Al-Baqarah (2:42), yang melarang umat Islam mencampurkan kebenaran dengan kebatilan.
Departemen Agama RI. Al-Fiqh al-Muyassar: Fikih Muamalah Kontemporer. Jakarta: Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam, 2009.
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Konstektual (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002). 109.
Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Mardani, A. (2016). Hukum Jual Beli dalam Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah, 2013.
Pusat Pengkajian Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, h. 59.
Salamah, Nurul Hidayah. "Prinsip Khiyar dalam Jual Beli Menurut Perspektif Fiqh Muamalah." Jurnal Hukum Islam, vol. 2, no. 1, 2018, pp. 1-10.
Suprayitno, A. (2018). Etika Bisnis dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: Penerbit Universitas Gadjah Mada.
sa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H