2. Tidak ada unsur penipuan atau ketidakpastian (gharar). Jual beli yang sah tidak boleh mengandung ketidakpastian yang dapat merugikan salah satu pihak.
3. Objek jual beli halal. Barang atau jasa yang diperjualbelikan harus halal dan tidak melanggar aturan syariat.
Jika dalam perjanjian terdapat syarat yang merugikan salah satu pihak, maka transaksi tersebut termasuk dalam kategori gharar, yang dilarang. Misalnya, seorang penjual menjual rumah tetapi mensyaratkan bahwa pembeli harus membayar seluruh biaya perbaikan di masa depan tanpa informasi yang jelas tentang apa saja yang perlu diperbaiki. Kondisi ini menyebabkan ketidakpastian bagi pembeli dan dianggap merugikan.
CONTOH KASUS :
Seseorang menjual sepeda motor dengan syarat pembeli harus membeli asuransi dari perusahaan yang telah ditentukan oleh penjual, yang harganya jauh lebih mahal dari asuransi lain yang tersedia di pasaran. Ini juga dapat dianggap sebagai syarat yang memberatkan dan merugikan pembeli, sehingga tidak sesuai dengan prinsip keadilan dalam Islam.
Dalam Islam, jual beli barang yang rusak atau cacat tanpa menjelaskan cacat tersebut kepada pembeli dianggap sebagai tindakan yang tidak jujur dan dilarang. Hal ini bertentangan dengan prinsip kejujuran (ṣidq) dan keterbukaan (bayān) yang harus dipegang dalam muamalah (interaksi sosial-ekonomi), termasuk dalam jual beli.
Hukum Jual Beli Barang Cacat Tanpa Penjelasan :
Hukum jual beli barang yang cacat tetapi cacat tersebut tidak dijelaskan kepada pembeli adalah haram karena mengandung unsur penipuan (gharar). Rasulullah SAW bersabda:
"Barang siapa menipu, maka ia bukan dari golongan kami" (HR. Muslim)
Hukum Jual Beli Barang Cacat Tanpa Penjelasan, Berdasarkan Al-Qur’an Surah Al-Baqarah Ayat 42 :
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ