Mungkin selama ini yang ada dibenak kita, saat terlintas Madrasah identik dengan pendidikan berbasis keagamaan. Seperti halnya Madrasah Diniyah (Madin), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), maupun Madrasah Aliyah (MA). Memang hal itu nyata kebenarannya.
Namun sebenarnya kata madrasah jika diterjemahkan tak ubahnya adalah sekolah. Akan tetapi yang membedakan adalah pengelolaannya. Selama ini madrasah-madrasah di Indonesia berada dibawah naungan Kementrian Agama (Kemenag) Republik Indonesia.
Jika berdiskusi sedikit tentang madrasah, penulis merasa mendapatkan banyak kontribusi  yang didapat dari pendidikan madrasah. Sejak kecil pendidikan madrasah begitu berperan dalam pembentukan karakter penulis, salah satunya bidang keagamaan (religius).
Kehidupan di pedesaan menjadikan madrasah tumbuh subur dan menjamur. Salah satunya ditingkat pendidikan paling dasar dan berkategori non formal yaitu Madrasah Diniyah (Madin). Tak heran jika setiap desa mempunyai satu madrasah sebagai salah satu pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan dan kerarifan lokal setempat.
Sebagai orang tua tak lengkap rasanya jika anaknya hanya mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar pada pagi hari, namun tidak menyekolahkan madrasah diniyah (madin) pada sore harinya. Hal demikian juga dialami oleh penulis. Jika selesai sekolah dasar sekitar pukul 12 : 00 wib. Satu jam setengah kemudian harus berangkat ke madrasah untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM).
Kesadaran inilah yang sampai sekarang masih ditanamkan oleh orang tua. Para orang tua percaya dengan keseimbangan ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum dapat menjadi bekal untuk kehidupan anak-anaknya di masa mendatang.
Setelah menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar, pendidikan madrasah masih sustain dilakukan penulis hingga jenjang menengah. Saat itu Madrsah Tsanawiyah Negeri Jeketro yang kini berganti nama menjadi MTS N 1 Grobogan menjadi pilihan. Mengingat profil pendidik yang berlatar belakang pesantren dan pendidikan keagamaan. Madrasah ini begitu kental karakter keagamaan (religius) yang diimplementasikan. Seperti halnya membiasakan mengaji juz amma 15 menit sebelum mulai pelajaran, sholat dhuha ketika jam istirahat dan juga sholat dzuhur secara berjamaah.
Pengkondisian mengaji juz amma sebelum pelajaran bukan tanpa tujuan. Mengingat bahwa kelak dikemudian hari siswa/siswi yang lulus dari madrasah ini diharapkan hafal juz amma. Selain itu sebelum penerimaan raport juga diharuskan untuk menyetor hafalan yang telah ditentukan kepada asatid yang telah ditentukan. Jika tidak bisa menyetor hafalan, raport sementara ditahan.
Selain mendapatkan pendidikan berbasis keagaman di pagi harinya, penulis juga mengenyam pendidikan lanjutan dari jenjang madin yakni Wustho. Pendidikan di wustho ini sama halnya di tingkat menengah, hanya saja kurikulum yang berlaku semakin memperdalam kaidah-kaidah ilmu yang bersangkutan.
Misalnya jika dalam pembelajaran Bahasa Inggris terdapat grammar untuk menata kalimat dan tata bahasa, di pendidikan wustho juga terdapat ilmu nahwu dengan kitabnya Alfiyah. Kemudian untuk belajar hadist diperdalam dengan kitab Bulughul Maram sebagai referensinya. Dan untuk belajar fiqih ditunjang dengan adanya kitab Fatqul Qarib.
Bekal dari proses yang panjang tadi memang tak mudah untuk dilewati kala itu. Mungkin saat itu, penulis juga seperti anak-anak pada umumnya malas saat disuruh sekolah, harus setoran hafalan, keletihan karena pagi sore sekolah. Dan berbagai macam problematika yang dihadapi.