Keberagaman etnis dari masing-masing memunculkan budaya baru. Salah satunya etnis Tionghoa terkenal akan Barongsai, Klenteng, dan juga lampionnya. Hal ini memicu masyarakat yang dijembatani oleh Disbudpar Kota Semarang, dalam memunculkan tema baru untuk melanjutkan event besar SNC di tahun selanjutnya.Â
Perpaduan kearifan lokal berhasil mengusung tema "Paras Semarang" dalam pagelaran SNC 2017.
Tema ini berhasil membentuk empat defile yang mencerminkan kearifan lokal kota lumpia itu. Defile pertama adalah burung kuntul (blekok). Burung ini masih eksis keberadaannya.Â
Jika kita melewati daerah Jl. Raya Srondol-Banyumanik dekat Kodam IV Diponegoro masih sering dijumpai burung kuntul yang berada di pepohanan. Burung ini sekaligus sebagai hewan endemik yang berada di kota Semarang.
Defile yang kedua merupakan bunga sepatu. Bunga sepatu sebagai salah satu tanaman yang masih banyak dijumpai disini. Keberadaannya sangat menjamur di pekarangan. Dan sekaligus menjadi ciri khas bunga yang ada di kota Semarang.
Selain itu juga ada defile lampion. Keberadaan klenteng terbesar di Semarang tak terlepas dari Klenteng Sam Poo Kong yang ditengarai menjadi lahirnya defile ini. Sekaligus mencerminkan kebudayaan Tionghoa untuk dipromosikan.
Kemudian yang terakhir adalah defile kuliner. Rasa-rasanya setiap plesir di kota Semarang tentu sudah hafal betul akan kuliner disini. Ya betul sekali, kuliner seperti lumpia, bandeng, dan wingko banyak dijumpai di pusat oleh-oleh.
Tak lengkap rasanya jika berkunjung ke Semarang tanpa membeli oleh-oleh khas tersebut. Dengan demikian aneka kuliner tersebut dapat dikombinasikan dalam kostum carnival dan terbentuklah defile kuliner.
Melihat dari keempat defile tersebut menggambarkan Paras (wajah) Semarang yang sangat kaya akan kearifan lokal dan dapat dikemas sebagai sebuah pertunjukan budaya besar yang dapat mendatangkan wisatawan domestik maupun mancanegara. Tentu hal ini akan memajukan bidang perekonomian dan mempromosikan pariwisata dari kota Atlas tersebut.
Pengaruh tantangan kebudayaan asing yang begitu mudahnya keluar masuk. Tentu menjadi tantangan dan ancaman bagi kebudayaan lokal. Mengapa ini sangat mengkhawatirkan?