Mohon tunggu...
Najmie Zulfikar
Najmie Zulfikar Mohon Tunggu... Administrasi - Putra : Hamas-ruchan

Pe[ngen]nulis | Konten Kreator YouTube | Channel : James Kalica

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Jasa Besar Nasi Jagung!

2 Maret 2019   10:45 Diperbarui: 2 Maret 2019   15:49 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nasi jagung dengan alas daun pisang. (Foto: Dokumentasi pribadi)

Iwak peyek iwak peyek nasi jagung, sampe tuwek sampe tuwek trio macan tetap disanjung.

Tentu tidak asing dengan lagu iwak peyek yang viral beberapa tahun belakangan. Lirik yang mudah dipahami membuat masyarakat gampang untuk menyanyikan. Selain lagu nya yang unik . Ada kata nasi jagung yang mengingatkan penulis pada memori masa lalu.

Jika dalam artikel sebelumnya, pernah dibahas oleh penulis tentang jagung saat panen. Dalam kesempatan ini akan menceritakan olahan jagung yaitu nasi jagung.

Jika berbicara nasi jagung, yang ada dibenak sebagian orang adalah makanan untuk penyandang diabetes. Karena memiliki kandungan low sugar (rendah gula). Ya, memang benar. Sebagian orang mempercayai jika terkena diabetes harus berhati-hati dalam mengatur pola makan. Jika salah makan, bisa-bisa jadi fatal. Lebih-lebih akan terkena komplikasi.

Bagi sebagian penyandang diabetes ketergantungan mengkonsumsi nasi sulit untuk dihindari. Jika diterus-teruskan penyakit makin parah. Tubuh akan digerogoti dan berubah menjadi kurus tidak sehat. Sebagai makanan pengganti nasi alternatifnya adalah mengkonsumsi nasi jagung. Kandungan nasi jagung juga sangat kaya akan manfaat. 

Yang jelas kandungan karbohidratnya sangat baik. Ditambah lagi kandungan gula nya juga rendah. Tak heran jika rasanya begitu hambar. Dan menjadi pilihan penyandang diabetes.

Mungkin generasi milenial ada yang belum tahu, seperti apa nasi jagung tersebut? Tidak perlu googling, karna akan dicantumkan dokumentasi pendukung dalam tulisan ini.

Keberadaan nasi jagung
Nasi jagung memang bukan makanan pokok. Keberadaanya memang selalu diduakan. Kalah bersaing dengan nasi (beras). Yang menjadi primadona masyarakat. Mungkin saat ini, jarang sekali mengkonsumsinya. Apalagi masayarakat diperkotaan. Mungkin dipastikan tidak pernah. Begitu halnya masayarakat pedesaan, mungkin hanya didaerah tertentu saja yang mengkonsumsinya. Atau bahkan di daerah Gunung Kidul, Jogjakarta saja.

Nasi jagung saat ini keberadaannya sangat tidak diperhitungkan. Namun, 20 tahun silam ada sebuah kisah yang dialami penulis akan hal ini. Kisah sedih atau bahagia kah? Bisa dibilang sebuah kisah sedih.

Ingatan itu sangat kuat membekas di memori penulis. Ketika masih duduk dibangku Taman Kanak-Kanak (TK). Penulis merasakan zaman paceklik pangan. Kala itu memang pertanian belum maju. Alat-alat pertanian masih tradisional. Tumpuan tenaga masih menggunakan tenaga manusia dan hewan. Bukan bertumpu pada mesin.

Untuk mengolah sawah menggunakan kerbau. Atau masyarakat kami menyebutnya dengan ngluku. Namun hal itu sekarang sudah tidak ada. Karena sudah digantikan dengan traktor. Bahkan ketika sudah diluku (diratakan tanahnya oleh kerbau) masih diratakan dengan cangkul. Agar tanah bisa rata saat dialiri air. Jika tidak rata, rumput sawah yang hidup disekitar tanaman padi akan sulit dicabuti.

Profesi orang tua yang sebagai petani, kala itu harus diuji masa panennya. Serangan hama wereng menyerang total padi para petani. Masa panen yang sebentar lagi, harus digagalkan oleh wereng. Jelas padi tak dapat untuk dipanen. Dampak peristiwa ini mengakibatkan gagal panen. Dan klimaknya krisis pangan.

Namun, untungnya ada jagung. Sebagai penyambung hidup. Saat itu memang hal semacam ini sudah diantisipasi oleh para petani. Jika disawah ditanami padi, diladang ditanami jagung. Hal demikian dilakukan untuk mengantisipasi gagal panen. Setidaknya jika tidak bisa makan nasi (beras), masih dapat makan nasi (jagung).

Proses nasi jagung
Untuk bisa makan nasi jagung juga tidak mudah. Harus melewati proses-proses yang panjang. Jagung dipisahkan dari tongkolnya secara manual menggunakan tangan. Cara ini dikenal dengan mipil. Kemudian dijemur hingga kering. Proses pengeringan membutuhkan waktu 3-4 hari.

Setelah jagung kering, proses penumbukan dimulai. Jagung-jagung yang sudah kering dimasukan kedalam tempat penumbukan (lumpang). Kemudian ditumbuk menggunakan kayu untuk menghaluskannya. Hal ini dilakukan mengingat belum adanya mesin penggiling. Jika tidak berhati-hati dalam menumbuk, telapak tangan akan tumbuh benjolan kecil yang berisi air. 

Namun hal ini tidak membahayakan. Oleh karenanya, telapak tangan masyarakat terdahulu begitu tebal dan kasar. Karena sering melakukan kegiatan tersebut.

Setelah proses jagung halus, kemudian diayak. Hal ini dilakukan untuk memisahkan bagian tepung jagung yang halus dan kasar. Bagian yang halus kemudian direndam. Dan bagian yang kasar ditumbuk kembali hingga halus. Perendaman dilakukan untuk mengubah tekstur jagung yang keras menjadi empuk, jika dimakan. Proses ini dilakukan 2 hari 3 malam. Setelah perendaman tepung jagung siap untuk dimasak.

Proses memasaknya berbeda dengan memasak nasi beras. Jagung yang sudah direndam dan dibersihkan dimasukkan ke dalam panci. Panci diisi air dan ditengahnya diberi saringan untuk menaruh tepung jagung tersebut. Saat proses memasak, tepung jagung dibasahi air sedikit demi sedikit. Proses ini dikenal dengan karu, bagi sebagian masayarakat jawa menyebutnya.

Setelah setengah matang, kemudian diangkat dan diratakan pada nampan. Proses perataannya menggunakan tangan. Karena butiran jagung yang terkena air tadi akan menggumpal. Setelah rata, kemudian dikukus kembali dalam panci hingga matang. Butuh waktu 20-30 menit untuk bisa menjadi nasi jagung. Setelah proses selesai, nasi jagung siap untuk dikonsumsi.

Untuk lauknya menyesuaikan selera. Namun nasi jagung sangat nikmat jika dimakan dengan gudangan (urap) ditambah dengan ikan asin. Tekstur nasi jagung yang lembut, bisa menyebabkan cepat lapar. Atau bahkan panas diperut bagi yang tak terbiasa mengkonsumsinya.

Begitulah proses panjang untuk menikmati sepiring nasi jagung. Mengapa penulis sangat hafal dengan prosesnya? Ya tentu, karena sejak kecil mengalaminya hampir setiap hari. Untuk menunggu musim panen padi, selama kurang lebih 4 bulan harus mengkonsumsi nasi jagung. Agar bisa menyambung hidup.

Bahkan, orang tua selalu memberikan nasihat setiap hari. "Le, nek maem ojo kulino diturahke opo meneh diguwak i. Soale golek mangan iku angel. Ngerti dewe kan, gawe sego jagung iku ora gampang" tutur orang tua.

Artinya adalah nak, kalau makan jangan dibiasakan untuk disisakan apalagi dibuang. Soalnya mencari makan itu sulit. Paham sendiri kan, nasi jagung itu membutuhkan proses yang panjang.

Proses penanaman karakter saat itu selalu membekas hingga kini. Melihat kondisi ekonomi yang pas-pasan dan krisis pangan yang mengancam, selalu terbayang kuat dipikiran. Tak pernah terlintas untuk menyisakan makanan bahkan membuangnya sembarangan. Tak peduli apa lauknya, yang penting ada nasi di meja. Fenomena lampau telah membuka mata, membuat diri selalu bersyukur pada Yang Maha Kuasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun