“Merdeka atau mati” semboyan dalam pidato Bung Tomo untuk mengkobarkan semangat para pemuda Surabaya yang akan diserang oleh tentara Inggris dan tepat pada tanggal 10 November 1945. Membuat jiwa arek-arek suroboyo untuk bangkit dan tidak gentar melawan pasukan tentara inggris yang dilengkapi dengan senjata canggih. “Merdeka atau mati” dengan keyakinan yang tinggi gagah berani dan pantang menyerah adalah sebuah perjuangan yang akan tetap dikenang sebagai Hari Pahlawan begitulah para reformasi menyebutnya. Tetapi, akankah ada seorang yang mengerti tentang semua ini? Siapakah pahlawan itu? Setelah ditela’ah dan difahami dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan bahwa Pahlawan merupakan orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran.
Setelah satu-satu persatu Pahlawan gugur dan pergi meninggalkan Negara yang telah mereka juangkan, tinggalah para Abdi yang akan meneruskan untuk mengabdi pada Negeri ini. Hanya dengan cara menjaga, merawat dan menyayanginya sepanjang waktu. Menjadikannya tempat berlindung dan tempat penghidupan. “Oh!!! Itulah Negeriku, tempatku mengabdi, tempatku berteduh, tempatku berbakti,” seruan para Abdi ketika bertekuk lutut saat meminta perlindungan pada Negeri ini. Tapi? Apakah benar mereka sudah mengabdi pada diri sendiri? Sudahkan mereka mengabdi pada Negeri ini? Sudahkah mereka berbakti pada Negeri ini? Jawabannya hanya satu SUDAH!!!
Dulu, para pahlawan Negeri mengabdi kepada rakyat dan menjadi figur yang baik serta contoh yang baik bagi rakyat. Wahai manusia yang berfikir jika pahlawan mengabdi kepada Negeri dan rakyat, kenapa rakyat jelata masih di injak-injak oleh Abdi sendiri? “Abdi yang layaknya melayani rakyat dan Negara, menjadi rakyat yang harus Mengabdi pada Abdi.” Setiap nyanyian “Bagimu Negeri” nan merdu yang telah dilantunkan setiap saat tidak menjadi perbandingan, tidak menjadi persamaan, ras, suku, budaya bahkan para pengabdi dan abdi.
“padamu Negeri kami berjanji
Padamu Negeri kami berbakti
Padamu Negeri kami mengabdi
Bagimu Negeri jiwa raga kami
Dari salah satu lirik lagu Bagimu Negeri, kita bisa meraba dan melihat sekarang semua rakyat tunduk dan bertekuk lutut pada Abdi Negara kita sendiri. Lantas dimana rasa pengabdian para abdi terhadap rakyat dan Negara? Mengabdi pada Abdi, kata yang pantas untuk mencemooh semuanya. Wahai manusia yang berfikir, sudah sadarkah anda jika kalian semua telah dijajah oleh Abdi negara sendiri? Agar kau tetap Mengabdi pada Abdi. Sadarkah kau jika kita berjalan kita harus mentaati semua peraturan para Abdi Negara. Tapi, kenapa mereka tidak? Hanya bermodal lampu berwarna yang diiringi irama yang membuat semua orang menjadi batu dan tunduk pada Abdi Negara. Mengabdi pada Abdi, kata itulah yang pantas ketika kita menyanyikan lirik lagu Bagi Negeri dengan hitmat. Mengabdi pada Abdi, sebuah kata yang selama ini tidak disadari tapi dikerjakan.
Ketika peraturan dibuat bukankah semua orang harus tunduk dan patuh terhadap semua itu, akan tetapi kenapa ketika ada Abdi Negara melintas tanpa tertulis peraturan itu dihapuskan? Layaknya raja yang semua orang harus menyambutnya dengan serangkaian kalung bunga. Tapi, secara logika hal itu hanya memperbudak raja sesungguhnya di Negeri ini, yang harus dilayani dengan baik dan santun oleh Abdi Negara, semuanya terbalik menjadi Mengabdi pada Abdi.
“Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi” penggalan puisi ini menggambarkan bahwa kami yang berarti semua orang di Negeri ini berjuang walaupun dalam hening tanpa senjata satupun. “Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak, kami mati muda, yang tinggal tulang diliputi debu” bait puisi yang kedua dari Chairil Anwar juga jelas menggambarkan seorang pejuang Negara yang rela mati demi Negaranya sendiri. Wahai manusia yang berfikir kita lihat lagi masa kini dan masa yang akan datang bagaimana tingkah pola para Abdi yang selalu menginjak-nginjak hak rajanya yang akan dikenang sebagai Mengabdi pada Abdi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI