Mohon tunggu...
Najmeena Sholeha
Najmeena Sholeha Mohon Tunggu... -

pewarta warga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jaminan Kesehatan Nasional: Pemalakan Berkedok Jaminan Kesehatan Part.2

12 Februari 2014   17:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:53 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, JKN ini adalah wujud pembatasan pemerintah sebagai regulator. Lagi-lagi kita menghadapi cengkeraman internasional juga. Jadi, secara perpolitikan internasional, Indonesia mengikuti konsep good governance yang dibawa World Bank. Konsep good governance adalah efektif dan efisiensi. Mereka membeberkan dan mem-blow up fakta bahwa jika semua layanan diambil alih oleh pemerintah, maka hasilnya korupsi, inefektif dan inefisiensi. Maka seharusnya, ketika kita menganut konsep good governance yang digawangi oleh WB, seharusnya semua layanan publik dimitrakan pada swasta. Karena jika diberika pada pemerintah hasilnya akan buruk. Konsep ini cukup banyak diadopsi Indonesia termasuk untuk layanan kesehatan. Mereka lupa jika layanan publik diberikan pada swasta, maka kebobrokan-kebobrokan yang sangat banyak akan terjadi. Cuma lagi-lagi tidak di blow up. Yang pasti jika layanan publik itu diberikan pada swasta, dampak nya adalah kesehatan semakin mahal. Bagus sih bagus bagi orang yang bisa bayar, kalau yang ga mampu bayar jadinya seleksi alam, mati. Konsep good governance yang disampaikan oleh World Bank sampai ranah kenegaraan, termasuk Indonesia harus menganut yang seperti itu. Nanti ke depannya, pegawai negeri akan dipotong jumlahnya dan tidak ada lagi uang pensiun. Hal ini sejalan dengan konsep JKN, jika pegawai negeri tidak mendapatkan pensiun, otomatis mereka bukan lagi terdaftar sebagai peserta askes, jadi mereka harus bayar JKN. Kebijakan-kebijakan ini memang sistemis, kalau kita ga melihat secara detail kita akan menganggap bahwa hal itu adalah sesuatu yang wajar. Padahal hal itu sudah dibuat oleh korporasi asing yang menggurita. Bahkan mereka sangat detail dalam menjalankan program-program nya. Kalau pemerintah tidak diamputasi perannya, kesehatan tidak bebas diperdagangkan dengan leluasa, sehingga bentuknya harus berupa kemitraan dengan swasta. Kalau modelnya kemitraan dengan swasta, pemerintah hanya sekedar regulator saja. Maka yang terjadi 1/3 masyarakat miskin Indonesia saja yang dijamin kesehatannya oleh pemerintah dengan kualitas seadanya. Sedangkan 2/3 nya dikompetisikan, dijual untuk mendapatkan keuntungan. Ini kan jahat sekali, dan mereka membalut kejahatan mereka seolah-olah program ini untuk kebaikan masyarakat (pencitraan).

Ketiga, pembiayaan dengan pemalakan berdalih gotong royong dan iming-iming UHC. Program ini bukan jaminan tapi asuransi sosial. Sampai tahun 2019 semua masyarakat Indonesia harus ikut JKN. Kalau sekarang masih banyak yang belum dikejar-kejar pemerintah untuk ikut program JKN, karena memang strategi licik nya program UHC ini dilakukan bertahap agar tidak muncul gejolak. Mereka membuat step-step agar tidak terjadi pergolakan dahsyat pada masyarakat. Kalau langsung 100% pada tahun 2014, masyarakat banyak yang tidak terima. Tahun 2014 belum ada gejolak karena sudah ada jamkesnas, tinggal dialihkan saja. Pegawai negeri, TNI yang ikut askes juga tinggal dialihkan saja. Ada target sekian persen di tahun 2014, kemudian 2015, 2016, dst target pserta JKN akan dinaikkan, sambil pelaksanaan tambal sulam program, sehingga masyarakat ga kerasa. Rancangan ini pun pastinya sudah dikonsultasikan dengan lembaga internasional, bukan buah pikir orang Indonesia. Begitulah kapitalisme, mereka berani melempar ide maka berani membuat program sampai langkah teknisnya. Intinya adalah pemalakan, ini bisa kita lihat dari UU yang ada yang mengatakan asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib. Pemerintah bermitra dengan swasta dalam hal ini BPJS. Badan ini tidak bisa dipailitkan, punya kewenangan untuk menginvestasikan uang yang terkumpul, entah untuk investasi di Eropa atau Amerika atau dipinjam Freeport, misalnya.

Program ini juga hanya iming-iming UHC. Tidak berarti kalau semua masyarakat bisa mengakses kesehatan dengan JKN, masyarakat bisa jadi sehat semua. Selain kesehatan, masyarakat juga membutuhkan aspek non materiil juga, seperti pelayanan yang nyaman, tenaga kesehatan yang ramah, waktu tunggu yang minimal, bed yang mendukung, dst. Kesehatan juga tidak hanya terkait aspek kesehatan saja. Memang pemerintah menjamin 1/3 masyarakat mendapat jaminan kesehatan (gratis), tetapi jangan lupa kalau masyarakat miskin juga butuh transport. Siapa yang nanggung transportasinya, kalau mereka tidak punya uang, hanya punya kartu JKN saja? Apa JKN bisa untuk membayar uang transport? Belum lagi biaya makan yang nungguin yang sakit dan masih banyak yang lainnya. Mungkin mereka juga akan mikir-mikir, daripada ke rumah sakit butuh dana yang besar, mending mereka ke ’Ponari’. Artinya, kesehatan yang dimaksudkan bukan hanya kesehatan saja, kesehatan harus didukung beberapa bidang. Kesehatan tergantung dari kondisi sosial seseorang. Orang yang kurang pengetahuannya lebih memilih untuk berobat ke dukun. Pengetahuan ini didapat dari tingkat pendidikan. Meskipun tingkat pendidikan tidak berhubungan langsung dengan kesehatan tapi berkorelasi dengan pengetahuan rasional mereka untuk mendapatkan kesehatan yang baik itu seperti apa.

Keempat, kendali mutu dengan pembayaran sistem paket pelayanan berjenjang dan upaya preventif kapitalistik. Yang disampaikan ke masyarakat bahwa JKN ini ada kendali mutu dan sistem kontrolnya meliputi beberapa aspek. Pertama, ada sistem paket. Misalkan, setiap orang yang sakit demam berdarah diberi paket dana yang sama, katakanlah 500 ribu. Atau paket untuk orang yang cedera kepala ringan atau berat, mendapatkan dana yang sama. Padahal tingkat keparahan pasien berbeda-beda, misalkan butuh tambahan jarum atau benang, itu akan ditanggung pasien dan keluarganya. Paketnya cedera kepala, ya dapat paketnya segitu. Harus menerima seadanya. Kalau ingin jahitan kepala yang halus dan cepat sembuhanya, pasien silahkan membayar sendiri jangan pakai paket layanan JKN. Jadi jelas sistem paket ini bukan kendali mutu karena tidak memanusiakan manusia. Kedua, ada paket berjenjang. Dalam layanan JKN, masyarakat tidak bisa langsung mengakses rumah sakit karena rumah sakit adalah pelayanan kesehatan tersier. Tergantung rumah sakitnya daerah atau pusat. Misal, RS Sardjito itu rumah sakit pusat, jadi termasuk tersier sehingga pasien JKN tidak bisa langsung ke RS Sardjito. Alurnya, pasien sakit harus ke puskesmas dulu, kalau tidak bisa ditangani masuk ke pelayanan kesehatan sekunder (rumah sakit umum daerah atau rumah sakit swasta kabupaten). Kalau tidak bisa ditangani baru masuk ke rumah sakit tersier (sistem rujukan). Bagaimana sistem pelayanan berjenjang di Indonesia? Secara kuantitatif, jumlah puskesmas masih sedikit. Dari sisi kompetensi dokter di puskesmas terkadang kompetensi yang seadanya. Nah, kalau pasien yang datang itu miskin, kurang sejahtera, dan tidak mempunyai pengetahuan biasanya mereka tidak sabar. Karena harus dirujuk kesana kemari (seperti dilempar-lempar). Padahal, biasanya pasien miskin itu rumahnya terpencil dan bisa jadi JKN ini bisa menyebabkan diskriminasi. Karena yang diuntungkan bisa jadi kota-kota besar yang prasarana dan sarana ke rumah sakit lebih mudah. Jadi, pelayanan JKN berjenjang ini pun bukan kendali mutu, justru menjadi bumerang bagi pasien miskin yang malas untuk dilempar kemana-mana.

Ada juga kendali mutu preventif kapitalis, yaitu menurunkan aspek pengobatan. Konsep ini tidak pas karena upaya preventif ini hanya dilimpahkan pada tenaga kesehatan saja. Padahal masyarakat harusnya bisa membuat plan preventif sendiri, kalau masyarakat punya pengetahuan bagus, tingkat pendidikan yang tinggi. Misalkan, kalau masyarakat punya pengetahuan yang bagus, mereka bisa mencari obat alami yang bagus untuk mereka atau pengetahuan tentang obat generik yang murah. Jadi, upaya preventif tanpa adanya pembenahan pada aspek-aspek yang lain, sepertinya hanya sekedar lip service saja. Karena upaya preventif itu tidak hanya dilakukan pada ranah inidividu dan keluarga saja, tetapi juga dari berbagai ranah yang lain, misalkan sarana prasarana yang bagus. Jadi, sebenarnya konsep JKN ini tidak memberikan solusi terhadap permasalahan masyarakat yang ada, justru menambah deret panjang kesengsaraan rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun