Banyak orang rela untuk melanjutkan studi ke luar kota atau daerah yang jauh dari tempat tinggal mereka demi mengejar pendidikan tinggi yang akan membuka pintu menuju masa depan yang lebih cerah. Keputusan ini biasanya diambil dengan pertimbangan bahwa di luar daerah asal, mereka dapat menemukan pendidikan yang lebih berkualitas, fasilitas yang lebih lengkap, serta kesempatan untuk mengembangkan diri dalam lingkungan yang beragam. Selain itu, banyak perguruan tinggi terkemuka berada di kota - kota besar atau di luar wilayah tempat tinggal seseorang, yang menjadi alasan kuat bagi individu untuk meninggalkan kenyamanan rumah dan keluarga untuk meraih cita - cita dan meningkatkan kualitas hidup. Kuliah di luar kota juga memberikan kesempatan untuk memperluas wawasan, bertemu dengan berbagai orang dari latar belakang yang berbeda, serta belajar untuk mandiri. Seluruh pengalaman ini tidak hanya akan memperkaya kehidupan mereka dalam aspek pengetahuan, tetapi juga dalam pengembangan karakter. Pada akhirnya, semua ini akan membuka jalan menuju peluang kerja yang lebih luas dan jenjang karier yang lebih baik di masa depan.
Semester awal merupakan periode krusial bagi mahasiswa untuk beradaptasi dengan dunia akademis serta lingkungan baru yang mereka hadapi. Pada tahap ini, mahasiswa perlu belajar menyesuaikan diri dengan dinamika kehidupan akademis yang berbeda. Proses penyesuaian ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan mereka dalam meraih pembelajaran sepanjang masa studi. Namun, tidak jarang mahasiswa merasakan kerinduan terhadap kampung halaman. Perasaan kerinduan akan suasana rumah dan kehangatan keluarga ini sering dikenal dengan istilah homesickness. Homesickness sendiri merupakan keadaan emosional yang dimana individu selalu memiliki keinginan untuk kembali ke kampung halaman, selalu memikirkan keadaan rumah, dan memiliki emosi yang negatif (Nisa, 2023). Menurut Thurber & Walton, homesickness merupakan suatu keadaan distress yang disebabkan karena individu berpisah dari tempat tinggalnya (Azizaturrohmah, 2023). Sedangkan dalam penelitian Van Vliet, homesickness didefinisikan sebagai keadaan tertekan yang ditandai dengan munculnya kesulitan dalam penyesuaian juga kerinduan yang cukup kuat mengenai rumah juga renungan mengenai rumah setelah meninggalkan rumah (Romadona, 2024).
Fenomena homesickness seringkali ditandai oleh rasa cemas, gelisah, kesepian, perubahan suasana hati, dan perasaan terasing. Mahasiswa baru umumnya mengalami homesickness karena sejumlah faktor, seperti rasa perpisahan, kehilangan, ketidakpuasan terhadap lingkungan baru, serta perubahan drastis dalam gaya hidup atau rutinitas harian mereka. Dalam kajiannya, Tilburg menggolongkan homesickness menjadi tiga aspek penting: aspek kognitif, perilaku, dan emosional (Romadona, 2024). Dari sisi kognitif, individu yang mengalami homesickness cenderung terjebak dalam pikiran-pikiran negatif mengenai lingkungan baru yang mereka hadapi. Melihat dari aspek perilaku, mahasiswa yang merasakan homesickness biasanya menunjukkan sikap apatis, kurang energi, kurang inisiatif, dan minimnya ketertarikan terhadap lingkungan sekitar. Sementara itu, dalam aspek emosional, mereka sering kali merasa tidak puas dan bahkan membenci tempat baru ini, yang dapat memicu perasaan marah. Menurut Mozafrinia dan Tavafian, homesickness dapat menimbulkan berbagai kendala, seperti menurunnya motivasi belajar, hilangnya minat terhadap kehidupan, serta munculnya pikiran dan perasaan negatif, seperti stres dan frustasi (Mariska, 2018). Akibatnya, mahasiswa yang mengalami homesickness juga seringkali kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain, yang pada akhirnya dapat membahayakan kesehatan mental dan kesuksesan studi mereka.
Lingkungan baru menuntut mahasiswa untuk menyesuaikan diri dengan keadaan di sekitarnya. Penelitian yang dilakukan oleh Hewstone dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa semakin lama seseorang berada jauh dari rumah, semakin berkurang pula rasa homesickness yang dialaminya (Mariska, 2018). Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi baru. Dengan demikian, penyesuaian diri menjadi aspek krusial bagi mahasiswa, terutama bagi mereka yang merantau. Menurut Hurlock, penyesuaian diri dapat diartikan sebagai sejauh mana kepribadian individu mampu berfungsi secara efisien dalam masyarakat (Azizaturrohmah, 2023). Selain itu, Bal dan Singh mendefinisikan penyesuaian diri sebagai proses di mana individu mempelajari perilaku tertentu untuk menghadapi situasi yang sesuai dengan lingkungannya (Mariska, 2018). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan mahasiswa tidak hanya bergantung pada fakta bahwa mereka telah meninggalkan rumah, tetapi juga pada keberhasilan mereka dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.
Penyesuaian diri yang dapat dilakukan oleh mahasiswa rantau adalah dengan membangun koneksi sosial di lingkungan baru. Sebagai individu yang jauh dari keluarga dan teman-teman lama, menjalin hubungan sosial yang positif menjadi salah satu cara efektif untuk mengurangi perasaan homesick. Saat seseorang membentuk ikatan dengan individu lain—entah itu teman sekelas, rekan satu kos, atau anggota organisasi kampus—mereka akan merasakan penerimaan yang lebih besar dan menghindari rasa terisolasi. Koneksi sosial ini memberikan dukungan emosional yang sangat diperlukan dalam menghadapi tantangan hidup di tempat yang jauh dari rumah. Selain itu, berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pengalaman serupa dapat meningkatkan rasa keterhubungan mahasiswa dengan lingkungan sekitar mereka. Melalui hubungan yang positif, mereka dapat saling berbagi cerita, memberikan dukungan moral, dan saling membantu dalam proses adaptasi. Hal ini dapat mengurangi rasa kesepian dan kecemasan yang sering muncul akibat homesick. Dengan demikian, membangun hubungan sosial yang kuat tidak hanya membantu mahasiswa merasa lebih nyaman di lingkungan barunya, tetapi juga mempercepat proses penyesuaian diri mereka.
Selain itu, salah satu metode yang efektif untuk mengurangi stres dan kecemasan akibat homesick adalah dengan menerapkan teknik relaksasi. Teknik relaksasi merupakan salah satu cara untuk mengistirahatkan fungsi dari fisik dan mental sehingga dapat menjadi rileks, relaksasi merupakan upaya sejenak untuk melupakan kecemasan dan mengistirahatkan pikiran dengan cara menyalurkan kelebihan energi atau ketegangan (psikis) melalui sesuatu kegiatan yang menyenangkan (Yolanda et al., 2022). Beberapa teknik relaksasi yang dapat dipraktikkan antara lain pernapasan dalam, visualisasi, dan yoga. Pernapasan dalam membantu menenangkan sistem saraf dengan memperlambat detak jantung dan meredakan ketegangan fisik. Dengan melakukan latihan pernapasan secara teratur, kita dapat meraih ketenangan dalam pikiran dan tubuh, serta merasa lebih terkendali dalam menghadapi rasa cemas. Selanjutnya, visualisasi—yaitu membayangkan diri berada dalam situasi yang tenang dan menyenangkan—dapat membantu mengalihkan perhatian dari rasa kesepian dan membangun rasa aman. Selain itu, yoga juga merupakan teknik relaksasi yang menggabungkan pernapasan, gerakan tubuh, dan meditasi untuk mencapai keseimbangan mental dan fisik. Latihan yoga dapat membantu mengurangi ketegangan tubuh yang sering muncul akibat stres, serta meningkatkan fokus dan kesadaran diri. Ketiga teknik ini bekerja secara sinergis untuk menenangkan pikiran, meredakan kecemasan, dan mengurangi perasaan homesick dengan memperkuat koneksi antara tubuh dan pikiran. Dengan menerapkan teknik-teknik relaksasi ini dalam kehidupan sehari-hari, mahasiswa rantau dapat menciptakan ruang mental yang lebih damai dan siap beradaptasi dengan lingkungan baru.
Menerima perasaan homesick sebagai bagian dari proses penyesuaian diri adalah langkah penting dalam menghadapinya. Perasaan ini sangat wajar, terutama ketika seseorang berada jauh dari rumah dan keluarga untuk pertama kalinya. Rindu dan kesepian sering kali muncul sebagai respons alami terhadap perubahan besar dalam hidup. Alih-alih berusaha menekan atau menghindari perasaan tersebut, penting untuk memberikan ruang bagi perasaan ini tanpa rasa terbebani. Dengan menerima homesick sebagai bagian dari pengalaman, kita dapat memprosesnya dengan lebih tenang dan tanpa tekanan. Meskipun proses ini mungkin terasa sulit, sebenarnya itu adalah bagian dari pertumbuhan pribadi yang berharga. Ketika kita belajar untuk menghadapi perasaan tersebut, kita juga belajar menjadi lebih mandiri, lebih kuat, dan lebih mampu beradaptasi dengan perubahan. Homesick bisa mengajarkan kita untuk menghargai hubungan yang ada, menemukan kekuatan dalam diri sendiri, dan pada akhirnya membuka peluang baru untuk pertumbuhan pribadi dalam mencapai kesuksesan.
REFERENSI
Azizaturrohmah, W. (2023). Hubungan Homesickness dengan Self Adjustment pada Santri Pondok Pesantren Putri Unit Darussalam Lirboyo. 13–26. http://repo.uit-lirboyo.ac.id/id/eprint/960
Mariska, A. (2018). Pengaruh Penyesuaian Diri dan Kematangan Emosi Terhadap Homesickness. Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi, 6(3), 310–316. https://doi.org/10.30872/psikoborneo.v6i3.4642
Nisa, M. N. K. (2023). Hubungan Antara Cultural Intelligence dan Happiness dengan Homesickness pada Mahasiswa Rantau Tahun Pertama.(The Relationship Between Cultural …. Jurnal Psikologi Indonesia, 1(2), 304–313. http://repository.untag-sby.ac.id/id/eprint/27370