Mohon tunggu...
Najlaa Meutia Atha Syawala
Najlaa Meutia Atha Syawala Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN

“What did you learn?” is always first and best question.”

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Policy-Based Evidence Making vs Evidence-Based Policy Making, Mana yang Lebih Baik?

27 Oktober 2024   22:15 Diperbarui: 27 Oktober 2024   22:39 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Konsep Policy-Based Evidence Making (PBEM) merangkum kecenderungan untuk memanipulasi bukti guna mendukung kebijakan yang sudah ada sebelumnya, alih-alih membiarkan bukti menjadi dasar pengembangan kebijakan. Metode ini sering kali menghasilkan kebijakan publik yang lebih rentan terhadap bias politik, sangat kontras dengan kerangka kerja Evidence-Based Policy Making yang lebih aspiratif, di mana bukti yang tidak memihak berfungsi sebagai dasar pengambilan keputusan. Evidence-Based Policy Making berakar pada pengumpulan data yang objektif dan transparan untuk menginformasikan perumusan kebijakan yang ditargetkan. Sebaliknya, Policy-Based Evidence Making (PBEM) berupaya memanipulasi bukti agar sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga menciptakan perspektif atau kepentingan tertentu yang lebih dijunjung tinggi. Misalnya, pemerintah dapat berfokus pada bukti yang mendukung kebijakan pengendalian narkoba yang bersifat menghukum sambil mengabaikan rehabilitasi atau dekriminalisasi. Subsidi pertanian dapat didukung oleh data yang menunjukkan manfaatnya bagi petani lokal, meskipun ada bukti lain yang menunjukkan dampaknya terhadap persaingan pasar internasional atau degradasi lingkungan. Demikian pula, suatu negara dapat mengabaikan bukti dampak lingkungan dari industri bahan bakar fosil untuk mempertahankan kebijakan yang mendukung industri tersebut.

Di Skotlandia, Skills Development Scotland berperan penting dalam membekali tenaga kerja dengan keterampilan yang diperlukan untuk memenuhi permintaan pasar. Dengan menerapkan Evidence-Based Policy Making, lembaga ini berupaya memastikan bahwa pelatihan yang diberikan selaras dengan kebutuhan industri. Inisiatif ini selaras dengan Gaul Standard, tolok ukur yang terkenal karena standar kerja dan pelatihan kejuruannya yang tinggi, khususnya dicontohkan oleh negara-negara seperti Jerman, yang sering dipuji sebagai contoh keunggulan dalam pendidikan kejuruan. Negara-negara yang terkenal dengan sistem kejuruannya yang patut dicontoh, seperti Jerman dan Swiss, menjadi contoh praktik terbaik. Skotlandia akan memperoleh manfaat dari pengujian model-model ini, khususnya evidence-based strategy yang menumbuhkan keterampilan kerja yang luar biasa. Contoh utamanya adalah dual education program yang memadukan pelatihan langsung dengan pendidikan akademis formal. Sistem yang telah terbukti ini secara konsisten menghasilkan tenaga kerja yang dilengkapi dengan keterampilan yang diperlukan untuk industri saat ini, yang selaras dengan aspirasi yang diuraikan dalam kebijakan Skills Development Scotland. Mengadopsi pendekatan inovatif tersebut dapat meningkatkan lanskap kejuruan Skotlandia secara signifikan.

Coalition of the Willing mewujudkan inisiatif kolaboratif di mana negara-negara bersatu untuk memajukan implementasi evidence-based policy. Kemitraan ini mendorong pertukaran pengetahuan seputar strategi pelatihan keterampilan yang efektif dan hasilnya. Dengan saling berbagi praktik yang sudah berhasil dari berbagai konteks, negara-negara anggota meningkatkan kapasitas mereka untuk merumuskan kebijakan yang selaras dengan tuntutan tenaga kerja global yang terus berkembang. Melalui penerapan kebijakan yang kuat dan evidence based, pengembangan keterampilan dapat berubah menjadi jalur penting menuju kesuksesan. Tenaga kerja yang sangat terampil tidak hanya meningkatkan produktivitas tetapi juga merangsang pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan secara keseluruhan. Keberhasilan program keterampilan terkait erat dengan visi ini, karena individu yang terampil lebih mungkin mengalami kesejahteraan yang lebih baik dan memainkan peran penting dalam membina ekonomi yang dinamis dan kompetitif.

Dalam ranah politik, pengaruh Perilaku Politik dan Model Pemilu dapat menjadi substansial, terutama ketika kebijakan dibuat untuk memenuhi kecenderungan politik daripada persyaratan publik yang sebenarnya. Dalam hal pengembangan keterampilan, kebijakan yang dibentuk oleh Policy-Based Evidence Making dapat menyebabkan program pelatihan yang gagal memenuhi permintaan pasar, sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi. Sangat penting untuk menyelaraskan kebijakan ini dengan kebutuhan ekonomi yang sebenarnya untuk mendorong kemajuan yang berkelanjutan. Keterlibatan publik sangat penting dalam membentuk kebijakan yang efektif. "Suara rakyat" berfungsi sebagai komponen penting, yang memastikan bahwa kebijakan tidak hanya didasarkan pada data dan kerangka kerja analitis, tetapi juga oleh kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang sebenarnya. Ketika pengembangan kebijakan hanya bergantung pada bukti yang dipilih secara selektif untuk memajukan agenda tertentu, suara rakyat berisiko terpinggirkan, yang mengarah pada kebijakan yang mungkin tidak selaras atau bahkan merugikan mereka.

Sebagai kesimpulan, ketergantungan pada Konsep Policy-Based Evidence Making (PBEM)  dapat merusak efektivitas program pelatihan jika gagal selaras dengan tuntutan pasar tenaga kerja yang sebenarnya. Skotlandia berupaya mengembangkan kerangka kerja Evidence-Based Policy Making, agar memperoleh manfaat dari pengalaman negara-negara seperti Jerman dan Swiss yang membuktikan bahwa Evidence-Based Policy Making memungkinkan pengembangan program Pendidikan dan pelatihan yang efisien, relevan, dan siap pakai yang memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja. Selain itu, penggunaan konsep Policy-Based Evidence Making dapat menyebabkan kebijakan menjadi tidak tepat sasaran, menurunnya kepercayaan publik, dan efek jangka panjang yang merugikan. Hal ini dapat mengakibatkan kebijakan yang hanya efektif dalam jangka pendek, mengabaikan isu jangka panjang seperti kerusakan lingkungan atau kesenjangan ekonomi. Tak luput pula, dapat berdampak negatif pada kualitas layanan publik, seperti perawatan kesehatan, karena layanan mungkin tidak secara optimal menanggapi kebutuhan masyarakat, seperti akses ke perawatan kesehatan yang komprehensif.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun