Di tengah perkembangan pesat dunia medis dan teknologi kesehatan, isu etika pribadi dalam menjalankan profesi kesehatan menjadi semakin relevan. Dalam konteks ini, kesejahteraan pasien bukan hanya sekadar menjadi fokus utama dalam diagnosis dan pengobatan, tetapi juga menjadi acuan bagi para profesional kesehatan dalam mengambil keputusan yang tidak hanya berbasis ilmiah, tetapi juga berdasarkan nilai-nilai moral dan etika yang mendalam.
Pentingnya penerapan etika pribadi dalam profesi medis tak dapat disangkal. Sebagai contoh, seorang dokter, perawat, atau tenaga medis lainnya dihadapkan pada dilema etika yang mempengaruhi keputusan mereka dalam merawat pasien. Setiap tindakan medis, mulai dari pemberian obat hingga prosedur pembedahan, harus mempertimbangkan kesejahteraan pasien baik secara fisik, emosional, maupun sosial.
Dalam beberapa kasus, pasien mungkin menghadapi situasi yang kompleks, seperti penyakit kronis atau kondisi yang tidak dapat disembuhkan. Di sinilah etika pribadi para tenaga medis diuji. Salah satu contoh nyata adalah saat seorang pasien meminta untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang lebih cepat atau memilih untuk menghentikan perawatan yang sudah tidak memberikan hasil yang diharapkan. Keputusan semacam ini bisa menimbulkan ketegangan antara keinginan pasien dan tanggung jawab moral tenaga medis terhadap kehidupan.
Sebagai profesional, tenaga medis harus memahami bahwa tugas mereka tidak hanya memberi solusi medis, tetapi juga menjaga martabat dan hak-hak pasien. Dalam beberapa kasus, kesediaan untuk berbicara terbuka dengan pasien mengenai pilihan yang tersedia, baik itu berhubungan dengan pengobatan atau keputusan akhir hidup, dapat membantu pasien merasa dihargai dan dipahami. Dalam hal ini, etika pribadi yang melibatkan empati, komunikasi yang jujur, dan rasa hormat menjadi kunci dalam menjaga hubungan dokter-pasien yang sehat.
Namun, penerapan etika pribadi juga memiliki tantangan, terutama ketika kebijakan medis, prosedur, dan ketentuan hukum berbenturan dengan prinsip moral seorang tenaga medis. Dalam kasus tertentu, misalnya, hukum atau kebijakan rumah sakit mungkin membatasi keputusan yang dapat diambil tenaga medis, meskipun mereka merasa bahwa keputusan tersebut lebih sesuai dengan kepentingan terbaik pasien. Di sinilah profesionalisme diuji, di mana dokter atau tenaga medis harus berusaha menyeimbangkan antara etika pribadi mereka dan kewajiban hukum serta institusi.
Untuk itu, pelatihan etika medis menjadi hal yang sangat penting untuk disertakan dalam pendidikan profesi medis. Para calon tenaga medis harus dibekali dengan pengetahuan tidak hanya tentang teori dan praktik kedokteran, tetapi juga pemahaman yang mendalam mengenai nilai-nilai etika yang dapat memandu mereka dalam mengambil keputusan yang menyangkut kehidupan manusia.
Ditulis oleh Kelompok 2 Komkes 35 Universitas Airlangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H