Udaranya begitu dingin, tapi begitu sejuk dihirup, jalanan begitu lenggang dan sepi, masih bersih dari polusi yang mungkin sebentar lagi kan berakhir, kabut tipis menyelimuti tampak oleh cahaya lampu mercury trotoar seperti asap rokok tapi cukup menembus jaketku dan masuk ketulang2 hingga badan menggigil, membuatku rindu dengan hangat dan empuknya kasur dikamar, terlihat sebuah gerobak keluar dari gang kecil, dinahkodai bapak tua, yang lengkap dengan alat tempur dan sapu jagadnya, siap menyapu sampah setiap jengkal jalanan kota, bapak tua itu ternyata adalah "Menteri Kebersihan Jalan" Kabinet Republik Merdeka, dan terus berjalan pelan nyaris tak bersuara diantara deretan pejabat-pejabat Republik Merdeka yang sedang pulas dan nyenyak tidur di teras-teras toko, diemperan-emperan swalayan mewah, pemandangan yang begitu harmonis dan damai, penuh toleransi dan saling menghormati... jauh dari panasnya politik para orang yang sok elite, yang sibuk dengan BMW dinasnya, uang pinjaman dari hasil sampah bapak tua, sibuk mengurus pinjaman Rumah megah hasil jerih payah usaha pejabat Republik Merdeka, yang rela hidup apa adanya, jauh dari kemewahan, demi mereka yang sok elite yang numpang berpesta atas nama kemakmuran.
Aku berdiri memberi sapa bapak tua dan gerobaknya yang lewat didepanku, dan bapak tua itu tersenyum manis, alangkah damainya hidup ini, hidup orang-orang yang benar benar merdeka, tentram tak saling mengganggu satu dengan yang lain.
Sok elite yang hanya duduk diam di gedung2 ibukota,yang tak nyeyak tidur dirumah mewah dan megah karena takut ketahuan korupsinya, mereka yang tak bisa merasakan nikmatnya makan minum walau dengan lauk pauk enak di restoran mahal karena jiwa mereka masih belum merdeka, dijajah oleh harta, oleh kekuasaan, mata mereka tak bisa membedakan hitam da putih karena disilaukan dengan tumpukan keping emas, tapi lihatlah orang yang benar-benar merdeka, mereka bisa tidur pulas dan nyenyak walau hanya beralaskan emperan, berselimutkan sarung, berbantal trotoar, makan minum apa adanya pun menjadi nikmat, dan senyum bapak tua yang begitu menyiratkan ketentraman jiwa, karena mereka benar benar merdeka, mereka mensyukuri apa yang ada.
Suara Tarkhim sebelum adzan shubuh dari sebuah langgar kecil berkumandang, angin semilir membawa kabut menembus jaket dan menusuk tulang, kulihat diseberang jalan para orang merdeka sudah mulai bangun tuk kembali mengurus dan mencukupi kebutuhan rakyat yang sok elite digedung ibukota lalu akupun segera beranjak, tuk melangkah pulang......
(Wisma Kita 05:04 WIB)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H