Mohon tunggu...
Naja Sakinah Nur Syahidah
Naja Sakinah Nur Syahidah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Matematika UIN Jakarta

Naja Sakinah Nur Syahidah adalah mahasiswa Pendidikan Matematika UIN Jakarta. Ia gemar membaca, menulis, dan tertarik pada bidang matematika.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mengapa Indonesia Harus Belajar kepada India Mengenai Pengendalian Iklim?

16 Desember 2024   14:08 Diperbarui: 16 Desember 2024   14:11 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah Anda merasa bahwa akhir-akhir ini cuaca semakin tidak menentu? Jika iya, kita sependapat. Belakangan ini, cuaca seringkali berubah tiba-tiba; dari panas terik menjadi hujan yang sangat deras dalam waktu singkat. Ditambah bencana alam yang semakin sering terjadi. Apakah hal ini normal? 

Sekilas, hal ini mungkin tampak biasa. Namun, kenyataannya, cuaca ekstrem dan bencana alam ini adalah dampak dari perubahan iklim. Ada banyak hal yang menjadi penyebab perubahan iklim, seperti emisi gas rumah kaca, penggundulan hutan, dan pembakaran bahan bakar fosil. 

Perubahan iklim memberikan banyak dampak di Indonesia, mulai dari perubahan pola cuaca, bencana alam, kerusakan ekosistem, hingga ancaman terhadap ketahanan pangan dan keamanan sosial-ekonomi. Tercatat di sepanjang Januari 2024-Desember 2024 Indonesia mengalami 1.942 bencana alam, sementara 4.940 bencana alam di sepanjang tahun 2023. Bencana alam didominasi cuaca ekstrem dan banjir (Geoportal Data Bencana BNPB, diakses pada tanggal 13 Desember 2024). Indonesia merupakan negara rawan bencana dan perubahan iklim memperburuk kondisi ini. Respons terhadap perubahan iklim memerlukan perhatian serius dan tindakan yang terintegrasi di berbagai sektor untuk menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin nyata.

Menurut laporan Germanwatch dalam Global Climate Risk Index (CRI) 2019, beberapa negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah Mozambik, Zimbabwe, Bahama, Jepang, Malawi, Afghanistan, India, Sudan Selatan, Niger, dan Bolivia, dengan Indonesia berada di peringkat ke-14. Posisi India yang berada di peringkat ke-7 mendorong negara tersebut untuk mengambil berbagai langkah untuk menangani krisis iklim, terutama setelah laporan-laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang menunjukkan ancaman serius terhadap lingkungan dan keberlanjutan kehidupan manusia. India juga berkomitmen untuk mencapai tujuannya dalam Perjanjian Paris dan berpartisipasi aktif dalam upaya global untuk membatasi pemanasan global. Indonesia dapat belajar dari berbagai program yang telah diluncurkan India untuk menghadapi tantangan perubahan iklim. 

Menurut laporan IPCC, India meluncurkan National Action Plan on Climate Change (NAPCC) pada tahun 2008 sebagai pedoman untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. NAPCC ini terdiri dari delapan misi diantaranya meningkatkan kapasitas energi surya di India (National Solar Mission), mendorong efisiensi energi di sektor industri dan bangunan (National Mission for Enhanced Energy Efficiency), meningkatkan pengelolaan sumber daya air dan memastikan distribusi yang efisien serta konservasi air (National Water Mission), pertanian berkelanjutan melalui penggunaan teknik adaptasi terhadap perubahan iklim dan peningkatan ketahanan pangan (National Mission for Sustainable Agriculture), meningkatkan penelitian dan pengetahuan terkait perubahan iklim untuk mendukung kebijakan berbasis bukti (Mission on Strategic Knowledge for Climate Change), meningkatkan penanaman pohon dan rehabilitasi lahan serta meningkatkan karbon yang tersimpan dalam ekosistem India (National Mission for Green India), mengurangi dampak urbanisasi terhadap lingkungan dan meningkatkan keberlanjutan kota-kota India (National Mission on Sustainable Urbanization), meningkatkan tutupan hutan di India memperbaiki kualitas udara dan pengelolaan sumer daya alam untuk meningkatkan ketahanan ekosistem terhhadap perubahan iklim (National Mission for a Green India).

Melalui program India's Renewable Energy Development, India telah membuat kemajuan besar dalam mengembangkan energi terbarukan dengan berfokus pada peningkatan kapasitas energi surya, pengembangan energi angin, biomassa dan energi hidro untuk meningkatkan kontribusi energi terbarukan dalam total konsumsi energi. Negara ini berhasil mencatatkan bauran energi bersih mencapai 43% dari total energinya pada 2023. Padahal target awalnya adalah 40% pada tahun 2025. Dengan kemajuan yang besar ini, menteri EBT india Raj Kumar Singh membuat target baru, yakni bauran energi bersih mencapai 65% pada 2030. Karena menaikkan kesejahteraan warganya, India bahkan dipuji sebagai 'game changer' oleh Bank Dunia. Bank Dunia menyebut India layak ditiru oleh Negara berkembang (CNN Indonesia, diakses pada taggal 13 Desember2024). India telah berhasil dalam transisi energi terbarukan, apakah Indonesia bisa melakukan hal yang sama?

Indonesia dan India, keduanya merupakan negara berkembang dengan populasi terbanyak di dunia menghadapi berbagai permasalahan yang serupa. Seperti ketergantungan terhadap energi fosil, deforestasi, degradasi lahan, emisi gas rumah kaca, dan bencana alam akibat perubahan iklim. India, meskipun menghadapi tantangan yang tak jauh berbeda dari Indonesia, telah mengambil langkah-langkah strategis untuk mengurangi emisi melalui transisi ke energi terbarukan, pengelolaan hutan yang lebih baik, dan peningkatan ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim. Di sisi lain, India juga memperkenalkan moratorium deforestasi dan restorasi ekosistem yang dapat dijadikan contoh bagi Indonesia dalam menjaga kelestarian hutan tropisnya. 

Di samping kebijakan, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan Indonesia untuk menangani krisis iklim. Pertama, Indonesia perlu mengubah sistem ekonominya dari yang selama ini menimbulkan degradasi lingkungan dan risiko iklim ke arah ekonomi hijau berkelanjutan, yang bertujuan untuk membentuk sistem produksi dan konsumsi yang melindungi sumber daya alam. Kedua, Indonesia harus mengurangi emisi di sektor industri melalui teknologi berkarbon rendah yang disertai investasi. Ketiga, pemerintah perlu menerapkan strategi hilirisasi yang tepat, melalui kerangka regulasi yang solid, penguatan kebijakan rantai pasok transisi energi, dan pengelolaan mineral kritis yang bertanggung jawab dan berkeadilan (WRI Indonesia, diakses pada tanggal 13 Desember 2024). 

Mengingat kenaikan laju panas bumi yang semakin mendekati ambang kritis, kita harus bertindak segera. Dengan kebijakan yang tegas, langkah yang tepat dari berbagai sektor dan kerjasama dari berbagai pihak, kita masih memiliki harapan untuk menangani krisis iklim dan dampak yang ditimbulkannya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun