Keinginan Ical menuju 01 RI 2014-2019 semakin kuat. Hal ini ditandai setelah Golkar mendeklarasikan calon tunggalnyadi Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Minggu, 1 Juli 2012.Dengan begitu,rapat pimpinan nasional Partai Golkardengan agenda penentuan Calon Presiden (capres) 2014-2019 yang beberapa kali mengalami penundaan terjawab. Akbar Tanjung, politisi senior Golkar tak mampu membendung pemilik Lapindo Group inidicalonkan capres.
Boleh dikata, Ical sudah maju selangkah dengan calon lainnya yang belum mendeklarasikan dirinya sebagai capres. Bakal calon lain, seperti Surya Paloh, Prabowo, dan Megawati masih sebatas penggalangan dan pencitraan. Lain halnya Demokrat, masih tersandera dengan 'gerakan politik' dalam partainya sendiri.
Kekuatan politik Ical dalam kubuh Golkar sudah tak diragukan dengandukungan kekuatan ekonominya tentu mampu 'mensandera' kubuh dalam partainya yang tak mengiginkan dirinya capres. Belum lagi kekuatan medianya, baik itu media elektronik maupun media cetak yang secara intens terus dengan berita pencitrakan sosok Ical.Di sisilain, frame berita medianya 'melibas' bakal calon lainnya. Bahkan, jika melihat secara kasat mata terjadi 'perang media' antara Metro TV Group dan TV One Group untuk masing-masing mencitrakan para pemilik media itu. Sementara, para tokoh yang tak memiliki media harus terseok-seok dengan pen-justifikasi-an berita terhadap suatu masalah hukum dan lainnya.
Boleh dikata Ical memang sosok tokoh yang tak lagi diragukan kemampuan ekonominya untuk memimpin bangsa. Tapi untuk memimpin negeri ini bukan hanya pada kekuatan ekonomi semata. Tapi negeri butuh pemimpin yang memiliki orientasi nurani dan visi kebajikan membawa bangsa Indonesia keluar dari krisis moral. Jika semata kekuatan ekonomi menjadi pijakan untuk maju capres, maka pada Pemilihan Capres nanti, kita akan disuguhkan dengan moneypolitik. Maka, akan lahir pemimpin yang memandang segalanya rakyat itu menjadi budak. Politik yang bangkit dari dalam kekuatan ekonomi-bisnis akan melahirkan politik bisnis. Artinya, kekuasaan direbut semata untuk memperlancar kantong-kantong bisnis mereka. Masyarakat semakin tak akan berdaya dalam meningkatkan ekonominya. Karena semua akan dikuasai oleh penguasa berorientasi bisnis. Apalagi jika berlindung pada UU, tanah, air dan bumi dikuasai oleh negara. Mau tidak mau jika ada keinginan bisnis, hak-hak masyarakat untuk hidup sejahterah seperti yang menjadi amanat UUD 1945 akan terbaiakan. Sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan bergeser nilai.
Teringat beberapa tulisan dalam kompas soal "oligarki dalam kaki tangan pembajak demokrasi"(Tempo 6 Mei 2012, Dian Basuki:Oligarki: Penulis, Jeffrey A. Winters, Penerbit: Gramedia, Edisi: I, akhir 2011), bahwa oligark mempertahankan penguasaan sumber daya material (wealth defense) demi kepentingan individu. Karena kekayaannya yang luar biasa, oligark memperoleh kuasa dan posisi sosial yang eksklusif dalam masyarakat.
Winters dalam studinya (Reorganizing Power in Indonesia, 2004), memaknai oligarki sebagi sistem pemerintahan dengan semua kekuasaan politik berada di tangan sekelompok kecil orang kaya yang membuat kebijakan publik lebih untuk keuntungan finansial sendiri. Caranya, melalui kebijakan subsidi langsung terhadap perusahaan mereka, kontrak karya pemerintah, maupun proteksi bisnis.
Kita dapat bayangkan, jika sosok yang berangkat dari kekuatan bisnis untuk memimpin Indonesia semua akan mempermulus segala bisnisnya. Bahkan bisa saja, pajak untuk perusahaannya pun akan terabaikan. Dan itu bukan hal tidak mungkin terjadi. Kekayaan alam Indonesia yang tersebar di beberapa pulau akan menjadi tujuan utamanya. Dengan itu pula, bisa saja akan ada Sidoarjo-sidoarjo lain di negeri ini.
Kita kembali soal oligark, pendapat Robison dan Hadiz kondisi perpolitikan di Indonesia yang merupakan masa transisi demokrasi, membuka jalan bagi oligarki bisnis-politik untuk menyusun kembali kekuasaannya melalui akomodasi baru dengan berbagai kepentingan populis. Jauh hari, Robert Michels (1959) sudah berpendapat bahwa demokrasi gagal menghentikan kecenderungan oligarkis untuk muncul ke permukaan. Ia bahkan meyakini “hukum besi oligarki”: sistem politik apapun akan berkembang menjadi oligarki. Dan kini Winters menyimpulkan, oligark dan oligarkiakan lenyap bukan melalui prosedur demokratis, melainkan bila distribusi sumber daya material yang sangat seimbang dapat ditiadakan.
Dengan begitu terang, Winters memperlihatkan kemampuan oligark untuk beradaptasi terhadap perubahan politik dihabitat tempat mereka hidup. Ia membantu kita memahami apa yang barangkali luput dari penglihatan: gerak para oligark yang menyelinap di tengah-tengah transisi demokrasi. Demokrasi kita jadi tempat nyaman bagi oligark untuk mempertahankan, dan menimbun lebih banyak lagi, kekayaan demi kepentingan pribadi.
Mengutip pemikiran Fajrul Rahman dalam Opini Jurnal Nasional, Rabu 23 Mei 2012 (Umbu TW Pariangu, Dosen FISIPOL Universitas Nusa Cendana, Kupang),pelaksanaan demokrasi menyisakan koridor penting yang harus dibenahi, terutama dalam konteks institusionalisasi kepemimpinan nasional. Pertama, perlu disiapkannya strategi politik akomodatif terhadap munculnya alternatif kepemimpinan jelang pemilu 2014 untuk merestitusi wajah-wajah politisi lama yang terbebani sejarah. Sebab kita tidak ingin out put pemilu 2014 gagal menunjukan kualitasnya karena pemain-pemain politiknya hasil political laundry dari sisa-sisa elite lama yang kebutulan berhasil mereinkarnasi dirinya karena diuntungkan efek moderinisasi strategi pencitraan dan penguasaan media komunikasi politik secara masif. Kedua, Partai politik harus konsisten menghadirkan sistem internal partai yang akomodatif terhadap kepemimpinan muda (main political leadhership) untuk menjamin berjalannya sirkulasi kepemimpinan nasional secara teratur.
Selain itu, partai politik idealnya menghilangkan politik dinasti, karena itu juga bagian dari oligarki untuk mempertahankan kekuasaannya. Olehnya, dari berbagai uraian dan pendapat ini, moment suksesi kepemimpinan Republik Indonesia 2014 harus dijadikan momentum untuk merekturisasi kepemimpinan yang bersandar pada kondisi ke-Indonesia-an secara massif. Bukan memilih pemimpin hanya karena persoalan ekonomi dan kekuatan lainnya. SEMOGA.(8676)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H