Mohon tunggu...
Naj Inay
Naj Inay Mohon Tunggu... -

radikalis karbitan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Untuk Anak Manja

2 November 2010   00:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:55 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

_________sebuah catatan tiba-tiba menyembul di antara file-file usang_________

Mari kita hujani diri dengan  tendang-terjang dan tamparan paling perih.....

Jelaslah bahwa kau tak mengerti apa-apa tentang penderitaan. Jelaslah kau lebih pantas sibuk dengan dering hapemu yang tidak perlu. Jelaslah kau tak mau dan tak ingin mengerti tentang bau nafas dan makanana yang tak sedap karena bercampur bau keringat dan lumut-lumut dari tembok rumah yang pengap. Kau merasa terlibat hanya karena sesekali ikut mengumpat setelah melahap berita-berita di koran atau televisi. Ikut mengutuk kapitalisme dan imperialisme itu, ikut seminar ilmiah, budaya dan politik. Ikut  pergelaran dan pertunjukkan seni. Rajin sekali!

Makan makanan dari kemasan kaleng dan plastik yang sedemikian rupa. Minum minuman soda  dan daging cepat saji yang dilumuri tepung yang sumsum tulangnya masih menyala merah. Saling berbonceng antara lawan jenis dengan memadu kasih. Menghamburkan jam dalam tawa.  Tak tahu arti bahagia bisa mengelus rambut lusuh yang dilumuri minyak bekas dipakai  masak/goereng, berdekatan dengan anak-anak yang jika sudah mandi tetap saja lengket kulit dan bau badannya. Atau menyediakan tawa bagi nenek tua yang begitu ceria menggembalakan kambing dan memeras sapi. Atau senyum sinis ibu pembersih kadang sapi ketika ditemui dan disenyumi.  Bau kotoroan sapi. Air yang memucrat layaknya kolam tlepong. Senyum sinis pejabat kampung yang merasa pengaruhnya digerogoti hanya karena ada orang yang  ingin bergaul dengan masyarakatnya.

Atau berguling-guling menyusuri kebun dan gamping menemui orang yang haus untuk sekedar ingin mengenal huruf, lantaran hari-harinya  hampir ia habiskan untuk menggembala atau menyadap air gula lalu menenteng dua jerigen besar dan menggendhong satu jerigen dipundaknya. Bisa bayangkan betapa berbaunya jika kita berdekatan dengan “pejuang” tangguh itu.

Kau  juga tidak tahu bahwa ada anak-beranak yang sudah sama-sama menjanda dan tiap hujan deras atau pada malam dengan angin kencang harus mengungsi kepada tetangga. Atau sesekali petani kebun yang nakal melintasi rumah janda anak  beranak itu dan “mengerjai” mereka. Kamu mana tahu tentang itu. Kamu mana tahu tentang minuman putih yang asin. Tentang lelaki tua yang digerogoti penyakit kudis berkepanjangan dengan anaknya yang tak sekolah dan isterinya yang selalu lelah. Kamu mana tahu tentang celana kolor yang robek di sana sini. Bukan buatan, tanpa maksud artistik tertentu. Konstanta nasib orang-orang malang ini, derita orang yang tak muluk-muluk mengandaikan hidup. Asal makan cukup, lalu sedikit mengenal huruf.

Tahukah kau, betapa terbebaninya seorang wanita cantik dari keluarga tak begitu kekurangan namun  ia harus menangngung bahwa dia adalah buta aksara. Dan untuk mengakui itu semua memerlukan waktu yang sangat lama.
Untuk tanda tangan saja,  ia harus menanggung malu.

Dan kamu juga tidak pernah atau jarang mendengar tangis wanita yang ditinggal suaminya pacaran lagi (kecuali di tivi mungkin) dan tak mau menafkahi lahir dan bathin. Setelah sakit hati dan lelah mengurus derita yang diciptakan suaminya serta mengurus anak-anaknya yang masih kecil ia tak kuasa menuntut  cerai suami. Tidak karena biaya cerai itu sendiri tetapi juga karena kasihan dan tak tega anaknya hidup tanpa sosok bapak. Pengacara dan pembela adalah kata asing ditelinganya.

Aha! Untuk saat ini mungkin kau sedang sibuk mengelus-elus hapemu, bercengkraman dengan teman-teman gembiraria-mu melalui laptop mulusmu. Atau mencuci motor/mobilmu untuk menukikkan hasrat mudamu. Ingat! Dunia kita sangat berbeda.
Mana mungkin saat maghrib aku bisa seleha dirimu dalam balutan selimut dan cekikikan dengan hape ditangan? Sambil nonton kartun dan terbahak dengan makan berhamburan dari mulut.
Mana mungkin aku bisa mengumbar kata-kata elok nan merdu jika dibunyikan, atau musik-musik klasik yang bisa didengarkan dan dinikmati dalam suasana manja dan “gembira-girang”, sementara kepalaku mau pecah mendengarkan orkesta dan soneta kehidupan yang menghamapar dimana-mana  tetapi  kekurangan penonton apalagi pengapresiasi.

Sunggguh kita punya kebudayaan yang berbeda.
Engkau, anak manja, tentunya kau bisa menghabiskan waktu dengan tentram dan lesehan.. Kamu, bahkan merasa sah ketika menuduhku sebagi seorang yang tak memiliki niat untuk bersahabat hanya karena aku tak memilih dan memiliki hal yang sama dengan dirimu. Memilih keluar dari persamaan dan memilih berbeda dengan-mu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun