Mohon tunggu...
Refa RachmaNugraha
Refa RachmaNugraha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Main game

Selanjutnya

Tutup

Film

Karya Agung atau Sekadar Nostalgia? Sebuah Uji Tuntas Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

31 Oktober 2024   14:44 Diperbarui: 31 Oktober 2024   14:51 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck merupakan film drama romantis Indonesia yang dirilis pada tahun 2013, disutradarai oleh Sunil Soraya. Film ini dibintangi oleh Herjunot Ali sebagai Zainuddin dan Pevita Pearce sebagai Hayati, diadaptasi dari novel klasik karya Hamka dengan judul yang sama. Kesuksesan film ini tidak terlepas dari kekuatan cerita asli yang sudah mengakar dalam kesusastraan Indonesia, ditambah dengan promosi yang gencar serta chemistry yang kuat antara kedua pemeran utama. Film ini berhasil menarik lebih dari 1,7 juta penonton di bioskop, menjadikannya salah satu film Indonesia terlaris pada masanya. Tema cinta terlarang yang berbalut adat dan tradisi Minangkabau menjadi daya tarik tersendiri bagi penonton, terlebih dengan setting periode yang menambah nilai nostalgik.

Dari segi visual, film ini menghadirkan pemandangan memukau Sumatera Barat dan Makassar dengan sinematografi yang memanjakan mata. Kostum dan set yang detail mencerminkan kehidupan tahun 1930-an dengan sangat autentik. Alur cerita dibangun dengan cermat, meskipun dengan durasi yang cukup panjang (160 menit), namun berhasil membuat penonton tetap terikat dengan perkembangan kisah cinta Zainuddin dan Hayati. Setting periode berhasil menggambarkan kompleksitas adat istiadat Minangkabau dan pergulatan modernitas pada masa itu. Herjunot Ali memberikan performa terbaiknya sebagai Zainuddin, menghidupkan karakter yang kompleks dengan penuh penghayatan. Chemistry antara dia dan Pevita Pearce terasa natural dan meyakinkan, membuat penonton dapat merasakan getaran cinta sekaligus kepedihan yang dialami kedua karakter utama.

Lebih dalam lagi, film ini mengangkat berbagai tema universal yang masih relevan hingga kini. Pertentangan antara cinta dan adat istiadat menjadi fokus utama yang dikemas dengan sangat baik. Zainuddin, sebagai pemuda yang dianggap tidak memiliki asal-usul yang jelas dalam sistem matrilineal Minangkabau, mewakili pergulatan individu melawan sistem sosial yang kaku. Hayati, di sisi lain, menggambarkan dilema antara menuruti kata hati atau mematuhi adat dan keluarga. 

Film ini juga mengkritisi sistem kasta sosial yang masih ada dalam masyarakat, dimana status sosial seringkali menjadi penghalang kebahagiaan sejati. Aspek kebudayaan Minangkabau dihadirkan secara mendalam dan detail, mulai dari sistem kekerabatan, nilai-nilai adat, hingga filosofi hidup masyarakatnya. Film ini tidak sekadar menghadirkan romance biasa, tetapi juga memberikan pembelajaran tentang bagaimana tradisi dan modernitas tidak selalu berjalan beriringan. Konflik internal yang dialami para karakter menggambarkan dengan jelas pergulatan antara keinginan pribadi dan tanggung jawab terhadap adat. Ending yang tragis dari kisah ini menjadi refleksi bagaimana kadang cinta harus mengalah pada realitas sosial yang lebih besar.

Tanggapan penonton terhadap film ini beragam namun mayoritas positif. Banyak yang memuji keberhasilan film dalam mengadaptasi novel klasik tanpa kehilangan esensi cerita aslinya. Beberapa kritikus film menempatkan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sebagai salah satu film adaptasi novel terbaik dalam sejarah perfilman Indonesia. Meski demikian, ada juga yang menganggap tempo film terlalu lambat dan durasi yang terlalu panjang. Beberapa penonton dari kalangan muda merasa kesulitan mengikuti alur cerita karena kurang familiar dengan konteks sejarah dan budaya yang diangkat. Namun, hampir semua sepakat bahwa film ini berhasil menghadirkan visual yang memukau dan akting yang meyakinkan.

Film ini sangat direkomendasikan bagi pecinta drama romantis yang menginginkan lebih dari sekadar kisah cinta biasa. Mereka yang tertarik dengan budaya dan sejarah Indonesia, khususnya Minangkabau, akan mendapatkan perspektif menarik melalui film ini. Meskipun durasinya panjang, setiap menitnya terasa bermakna dengan visual yang indah dan cerita yang dalam. Film ini cocok ditonton bersama keluarga atau pasangan, sebagai bahan diskusi tentang nilai-nilai tradisional dan modern dalam masyarakat kita. Bagi para filmmaker dan sineas muda, film ini bisa menjadi referensi bagaimana mengadaptasi karya sastra klasik ke dalam bentuk visual yang menarik tanpa kehilangan esensi ceritanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun