[caption caption="kriminalitas.com"][/caption]
Pada tulisan sebelumnya tentang 'kelingking harga mati', saya mencoba menumpahkan setiap harapan yang saya yakin mewakili sebagian besar masyarakat Indonesia yang sudah sangat jenuh dengan konflik antar golongan di negeri ini. Apalagi jika sudah melibatkan isu SARA sebagai senjata yang dianggap mujarab untuk memenangkan setiap kontestasi politik (Kepentingan). Bukan perkara sulit sebenarnya bagi masyarakat yang teramat kental dengan budaya ramah ini untuk terus mengibarkan perdamaian, karena hal tersebut menggambarkan karakter bangsa indonesia sesungguhnya. Namun setiap kali niat 'Pacantel' (Ishlah) selalu dipersulit oleh konsumsi informasi yang justru memperkeruh keadaan.
Adalah Hoax saya prediksikan akan menjadi 'syariat' baru yang akan mengalahkan popularitas agama. Sifatnya yang mempengaruhi menunjukan hoax juga akan mendapatkan tempat di masyarakat sebagai kebenaran, apalagi jika disajikan berulang ulang. Hoax berasal dari "hocus pocus" yang bahasa latin "hoc est corpus" berarti 'ini adalah tubuh'. Kata ini dulunya digunakan oleh penyihir atau pesulap untuk mengklaim kebenaran. Hoax di definisikan sebagai tipuan berasal dari Thomas Ady dalam bukunya candle in the dark (tahun 1656) atau risalah sifat sihir dan penyihir. Bahkan menurut catatan sejarah, sebelum dianggap sebagai berita kebohongan, hoax juga pernah menjadi sebuah tradisi berbohong tetapi bertujuan untuk mengkiritik dengan seni, yang dikenal dengan Satir Art Hoax (SAH).Â
Indonesia adalah salahsatu negara yang sampai saat ini 'digoreng' tanpa henti oleh berita palsu. Hoax adalah keniscayaan yang seperti sulit untuk dibendung, terlebih keberadaan media sosial yang mempermudah dan mempercepat setiap informasi tersebar (Shared). Sadarkah kita bahwa faktor lain yang memperumit konflik sosial adalah budaya hakim. Budaya Hakim (BH) adalah sikap masyarakat yang menerima informasi dan menganggapnya sebagai kebenaran kemudian memposisikan dirinya sebagai orang yang berhak menghakimi atas sebuah perkara. Budaya Hakim ini, tidak berlebih kiranya jika saya memberikan 'Kunyah' (sebutan) bagi negeri ini sesuai fakta banyaknya korban hoax, sebagai Negeri Sejuta Hakim. 'Sejuta' bukan batas nominal tapi setidaknya mewakili jargon yang sedang marak sebagai angka yang menggambarkan jumlah masa yang dianggap banyak dan memenuhi keterwakilan mayoritas masyarakat, sebut saja 7 Juta demonstran 212, atau 7 Juta dukungan dalam sosmed untuk perjuangan sosok/Kelompok tertentu. Sementara Hakim adalah gambaran masyarakat yang menjadikan dirinya sebagai Pemutus perkara dengan berlatar belakang informasi (Hoax) tanpa ada upaya tabayyun (mencari tahu kebenaran informasi).Â
Jika kita sudah terlanjur menjadi bagian dari Sejuta Hakim di negeri ini, barangkali kita masih bisa menjadi Hakim yang benar benar teruji dan dapat menguji setiap kebenaran informasi apapun. Berikut adalah beberapa hal yang seyogyanya kita lakukan saat kita harus dipaksa berhadapan dengan sebuah informasi untuk memastikan bahwa informasi tersebut bukanlah hoax,
1. Comparasion (Membandingkan informasi). Dapatkan sebanyak mungkin informasi tentang sebuah isu tertentu, tanpa memilih dari kelompok mana informasi tersebut berasal. Karena ketika kita mendapatkan informasi dari kedua belah pihak yang bertentangan, bisa menjadi bahan pertimbangan dengan mengkomparasikan kualitas dari pemberitaannya.
2. Tabayyun (Mencari kejelasan). Membandingkan informasi saja belum cukup untuk menentukan informasi yang mana yang benar. Maka Telusurilah kebenaran setiap informasi dari sumber utama atau yang dapat dipercaya. misalnya, salah satu tanda situs yang disinyalir tidak berkonten kebohongan adalah yang menggunakan website resmi bukan gratisan (Misalnya blogspot atau wordpress). Walaupun sangat mungkin situs situs gratis pun menyajikan informasi yang akurat, demikian pula tidak menutup kemungkinan beberapa situs resmipun memberitakan hoax atau menyampaikam info yang terlalu berpihak pada kelompok tertentu
3. Don't Judge. sebaiknya untuk menguji kebenaran diperlukan waktu yang sangat panjang dan jangan tergesa gesa untuk menjadi hakim yang the final judge, karena sebuah kasus yang kesalahannya sudah diketuk palu oleh pengadilan pun masih mungkin merupakan kebenaran yang didlolimi oleh sebuah rekayasa politik atau kepentingan. Maka ada baiknya sampai kapanpun kita berupaya untuk tidak menjadi hakim. Barangkali bagi sebagian masyarakat menjadi pemerhati atau pembelajar sebuah kasus akan lebih maslahat ketimbang menjadi hakim atas sebuah kasus. Terlebih jika kasus yang memang diluar kampuan kita untuk mengetahui kebenarannya.
Negeri ini sebenarnya tidak butuh jutaan hakim untuk menyikapi setiap hoax, tapi yang diperlukan adalah masyarakat yang tetap dapat belajar dan menjadikan setiap masalah bangsa sebagai pembelajaran, sehingga tidak terlalu mudah tersulut mempertontonkan emosi atas kebenaran yang diyakini. Jangankan kejahatan, kebenaranpun yang jika kita salah menyikapinya hanya akan menjadi kejahatan baru.
Wallahu A'lam- Ready Corrected
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H