‘Tak ada teman abadi’. Adalah jargon yang memungkinan segala sesuatu dapat berubah pada perjuangan politik. Sebuah kebijakan partai politik harus memaksa anggota partainya untuk mematuhi kebijakan dan kesepakatan bersama, sekalipun harus tak seiring dengan keyakinan pilihan nya. Kecuali jika kita punya kekuatan lebih hingga memberanikan diri membuat kelompok baru bersama sama mereka yang sefaham dengan tetap membawa bendera partai pecahannya. Demikian pula, ‘tak ada musuh abadi’ dalam percaturan keyakinan untuk menyatakan sesuatu adalah benar atau salah. Karena pada fitrahnya, manusia jahat sekalipun adalah makhluk yang mungkin berlaku benar ataupun salah.
Banyaknya kelompok di indonesia disatu sisi merupakan keanekaragaman yang mendeskripsikan adanya kesadaran masyarakat untuk bersosialisasi dan berkelompok dengan annggota masyarakat lainnya, akan tetapi dipihak lain bisa jadi potensi konflik manakala ada ketidak sepahaman dan kesepakatan diantara mereka. Terlebih komunitas yang berbasis agama memiliki fanatisme lebih dibanding dengan komunitas masyarakat biasa, fasalnya agama adalah sebuah kemuthlakan yang diangap paling tinggi untuk menyatakan kebenaran. Muslim sebagai masyarakat mayoritas di tanah air selalu menjadi sorotan utama dan menarik untuk menjadi pembahasan. Bagaimana tidak, umat islam selalu dikaitkan dengan tragedi-tragedi yang dinyatakan sebagai tindakan terorisme disetiap penjuru dunia. Maka akan sangat wajar, jika umat islam indonesiapun dipaksa untuk ikut membela diri atas ketidak terlibatan saudara seagamanya di panggung terorisme. Dan jikapun benar bahwa pelakunya beridentitas muslim, maka umat islam lainnya segera mengarahkan dugaannya pada komunitas lain yang dianggap berfaham islam garis keras, kelompok muslim yang bertindak tidak berdasarkan ajaran agamanya.
Ambiguitas pengertian dan belum adanya kesepakatan tentang terorisme dikalangan negara-negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), apakah negara yang menyerang negara lainnya tanpa adanya dukungan atau izin dari PBB dan atau negara yang berupaya mempertahankan tanah airnya dari serangan dan bentuk penjajahan negara lain, ataukah setiap tindakan kelompok atau negara yang tidak mendapat persetujuan PBB dikategorikan terorisme. Hal yang dapat memuncukan pengertian subjektif ini justru akan memunculkan spekulasi dan konflik saling tuduh yang berkepanjangan. Walaupun hari ini kita sepakat, bila tindakan bom bunuh diri atau tindakan teror yang dilakukan pada masyarakat luas dengan mengatas namakan suatu agama adalah tindakan terorisme dan penistaan atas agama itu sendiri. Because Terorisme has no religion.
Tindakan terorisme adalah tindakan klimaks dari sebuah faham garis keras yang memaksakan kehendak atas keyakinannya dengan cara yang tidak sesuai ajaran agama tertentu dan merugikan masyarakat umum. Benar, faham garis keras adalah sebuah Starting Point yang mendorong untuk melakukan tindakan kriminal. Akan tetapi hingga hari ini, tuduhan faham garis keras pun tetap memunculkan penafsiran yang berbeda. Tuduhan faham garis keras selalu dialamatkan pada kelompok kelompok yang melakukan tindakan melawan hukum dan memunculkan keresahan dimasayarakat. Melawan hukum dan meresahkan adalah sebuah alat untuk mempolitisasi bahwa kelompok tertentu adalah faham garis keras. Pertanyaannya, benarkah kelompok tersebut berfaham garis keras, benarkah kelompok itu bertindak tanpa prosedur hukum, benarkah kelompok tersebut meresahkan masyarakat? Lalu siapa yang berhak untuk mempropagandakan label garis keras kepada kelompok tersebut? Sebenarnya sangat mudah kita menjawabnya, selama tidak ada pihak pihak yang mengintervensi kebenaran sebuah informasi, maka kita akan sangat mudah mendapatkan fakta yang menyatakan apakah sebuah tindakan sebuah kelompok dianggap berfaham garis keras atau tidak. Namun sayangnya, sebuah kepentingan media yang didasari atas suka dan tidak suka pada kelompok tertentu telah merenggut autentisitas identitas mereka. Selama tindakan sebuah kelompok masyarakat itu berdasarkan prosedur yang berlaku dan mendapatkan pengakuan sebagai upaya membantu masyarakat untuk menyelesaikan masalah dilingkungan sekitar, barangkali tidak adil jika kita mengatakannya sebagai tindakan kriminalitas, sekalipun bisa jadi ada sebagian masyarakat merasa dirugikan oleh tindakannya.
Sesekali kita harus jujur dengan perbedaan dua term antara kelompok berfaham garis keras dengan kelompok yang bertindak tegas,
- Faham garis keras (Violent Head), berarti sebuah pemahaman yang mendorong seseorang/ kelompok untuk melakukan tindakan memaksakan kehendak atas keyakinannya yang dianggap benar terhadap orang lain dengan cara yang melanggar hukum dan membuat keresahan di tengah masyarakat umum
- Tindak Tegas (Decided Action), berarti sebuah tindakan yang dilakukan oleh kelompok tertentu dalam upaya melawan kriminalitas ditengah masyarakat bersama sama dengan penegak hukum melalui tahapan dan prosedur hukum yang berlaku.
Telah terlanjurnya pemahaman masyarakat yang menyamaratakan antara faham garis keras dan kelompok yang bertindak tegas, telah menempatkan kelompok tertentu diidentikan dengan kelompok teror di setiap penjuru bumi. Walaupun setiap tindakan melawan hukum bisa jadi berangkat dari keresahan yang sama tetapi dilakukan dengan cara yang berbeda beda. Para terorispun bisa jadi melakukan teror diawali dari keresahan atas ketidak adilan yang dirasakannya, tetapi mereka menggunakan cara cara yang ekstrim dan salah untuk mengekspresikan keresahannya. Lalu apakah kita pantas menyamakan komunitas yang sering dianggap sebagai kelompok garis keras dengan kelompok teroris internasional? Kalo menurut saya, bisa saja, dengan persefsi ada kesamaan merasakan ketidak adilan yang sama, walaupun kita tidak seharusnya memukul rata menyamakan kesalahan cara tindaknya. Dan kita pun harus terbuka menerima keyakinan mereka bahwa mereka tidak ingin dianggap sebagai kelompok garis keras, apalagi disamakan dengan kelompok teroris.
Jika kita benar-benar menyadari kebinhekaan, maka terbukalah untuk menerima kelompok manapun yang memiliki keyakinan yang sama untuk menciptakan ketunggal ikaan. Karena terkadang ‘musuh’ dalam ketidaksamaan pendapat prihal pandangan bisa jadi akan jadi ‘teman’ karena kita harus bersama menaklukan ketidaksamaan menjadi kekuatan membangun bangsa. Benar, kita akan dipersatukan oleh musuh yang sama. Musuh yang selama ini memperjuangkan kebinekaan sebagai rahmat, tetapi dilain pihak tidak terbuka untuk menerima kebinekaan lain sebagai bagian dari rahmat. Musuh yang selama ini mengatasnamakan interpretasi agama, tetapi disisi lain tidak memberikan kesempatan bagi yang lain untuk menginterpretasikan agamanya sendiri. Berdirilah bersama untuk menaklukan Musuh yang tidak ingin negeri ini aman, maju dan penuh berkah. Wallohu A’lam- Ready Corrected!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H