Mohon tunggu...
Nais Saepulhaq
Nais Saepulhaq Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Republik Tinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Putih Abu Basis Pendidikan Gangster

24 Mei 2017   16:05 Diperbarui: 24 Mei 2017   16:15 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Ngerinya negeri ini, negeri yang berbudaya dan kental dengan nilai nilai agama masyarakatnya, kembali harus rela di coreng oleh ulah aksi para anak muda yang meresahkan masyarakat. Kejadian terbaru di kawasan lenteng agung, jakarta selatan, yang sempat viral di media sosial atas aksinya yang sempat terekam oleh salah satu warga di mempertontonkan tindakan sadis yang dilakukan oleh kelompok anak muda yang sedang di’ospek’ oleh senior kelompoknya sebagai syarat pengakuan atas keanggotaan dengan cara yang tidak manusiawi. Di video tersebut terlihat jelas, aksi tersebut memakan korban seorang perempuan yang ditebas kaki kanannya oleh salah satu para calon anggota gengster hingga berdarah dan hampir putus. Setelah melancarkan aksinya, para penjahat jalanan pun merayakan kesuksesannya karena telah mendapatkan korban. Walaupun setelah ditelusuri video ini telah lama kejadiannya. Sungguh tragis dan tak manusiawi, hingga hati ini tidak pernah berhenti untuk mengelus dada serta berharap kejadian seeprti itu segera dapat diantisipasi oleh pihak yang berwajib.

Fenomena gengster di indonesia memang cukup meresahkan. Terlebih kelompok yang sampai hari ini diketahui identitasnya ternyata rata rata anggotanya kebanyakan dari kalangan anak tanggung yang masih duduk dibangku SMA bahkan SLTP. Gengster ini selalu diidentikan dengan komunitas bermotor (biker) karena aksi mereka kebanyakan menggunakan sepeda motor. Namun hal ini tentunya tidak benar jika kita berkesimpulan bahwa setiap komunitas bikers adalah komunitas kriminal, faktanya ada banyak komunitas otomotif khususnya sepeda motor adalah sekumpulan orang yang memiliki kepedulian sosial tetapi menggunakan basis sepeda motor karena kebetulan mereka memiliki kesamaan hobi mengoleksi atau memodifikasi motor. Maka pada tulisan ini saya harus membedakannya dengan menyebut para penjahat sepeda motor dengan sebutan ‘Gengster’.

Sebenarnya bukan saat ini saja fenomena Gengster ini hadir di Indonesia, karena kalo dilihat dari sejarahnya sudah banyak kelompok Gengster hadir di negeri ini, sebut saja Laskar Bali yang oleh situs rocketnews24 dikategorikan sebagai geng kriminal paling berbahaya di asia, disejajarkan dengan D-Company, gengster asal India, United Bamboo Taiwan, Triad China dan Yamaguchi Gumi asal Jepang. Bahkan mungkin belum banyak yang tahu bahwa ada satu gangster asal keturunan Indonesia yang ditakuti di Eropa. Satu Darah Motorcycle Club (SDMC) adalah geng motor asal indonesia, tetapi faktanya geng motor ini berpusat di Belanda. SDMC dengan nama yang sangat indonesia ternyata dibentuk sekitar tahun 90-an di Belanda oleh orang orang belanda yang memiliki garis keturunan Ambon. Satu Darah diambil dari bahasa khas Maluku katong basudara (kita bersaudara).

Kembali kita amati, gengster yang kini telah jadi banyak perbincangan masyarakat adalah kelompok yang reqruetment(perekrutan) anggota nya mengambil dari kalangan remaja tanggung. Sebut saja anak anak yang masih duduk di sekolah SLTA. Bahkan yang lebih mengerikan lagi, akhir akhir ini mereka telah berani merekrut anak SLTP bahkan SD. Sepertinya kita tidak akan percaya, para kaum terdidik ini ternyata telah diperalat untuk jadi sasaran empuk bagi para senior gengster dalam merangkul calon anggotanya. Fenomena ini tentunya telah memukul dunia pendidikan kita, bagaimana tidak, sementara dunia pendidikan terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan generasi bangsa, tapi dilain pihak kita kecolongan pasalnya kita dianggap ‘kalah’ menarik dibanding iming iming yang ditawarkan oleh komunitas gengster pada mereka.

Kenapa dengan mudahnya para pelajar Putih Abu dapat direkrut menjadi anggota Gengster? Ini yang harus kita fahami bersama, bahwa usia tanggung dan masa pencarian diri mereka telah lebih dahulu direbut oleh kehidupan yang menurut mereka lebih menawarkan sesuatu yang menjanjikan untuk menemukan identitas superioritas mereka. Paling tidak alasan mereka untuk mencari jati diri dengan cara memperluas pergaulan dapat menjadi latar belakang mereka lebih memilih ber’prestasi’ di komunitas gengster dibanding harus belajar keras dengan tantangan yang mereka anggap membosankan di dunia pendidikan. Menurut Elizabeth B. Hurlock membagi pengelompokan sosial remaja dalam beberapa kategori berikut :

  • Teman dekat. Kecenderungan remaja biasanya memiliki satu atau dua orang teman dekat yang dapat menjadi teman untuk menumpahkan serta berbagi cerita pribadi
  • Kelompok kecil. Pengelompokan yang lebih banyak dari teman dekat, entah atas dasar jenis kelamin yang sama atau juga berbeda
  • Kelompok besar. Terdiri dari beberapa kelompok kecil dan teman dekat.
  • Kelompok yang terorganisir. Adalah kelompok yang berada dibawan binaan organisasi tertentu untuk memenuhi kebutuhan sosial.
  • Kelompok geng, remaja yang tidak termasuk dalam kelompok besar dan merasa tidakpuas dengan kelompok organisasi mungkin akan mengikuti kelompok geng. Anggota geng biasanya terdiri dari anak-anak berjenis kelamin sama dan minat utama mereka adalah untuk menghadapi penolakan teman-teman melalui perilaku antisosial.

Kelompok Geng yang disebutkan oleh Elizabeth adalah kelompok yang mungkin kita sedang perbincangan sampai detik ini. Pasalnya kecenderungan mereka untuk membenturkan diri dengan teman atau kelompok lain berpotensi tindakan kriminalitas. Setidaknya saya melihat ada dua alasan yang dapat disebut sebagai latar belakang mereka lebih memilih bergabung di komunitas gangster, pertama,mereka sadar diri dan tertarik untuk bergabung dan sangat ingin dianggap sebagai kelompok superior dan ditakuti oleh teman-temannya. Kedua,mereka terpaksa dan dipaksa untuk bergabung lantaran mendapat ancaman dari teman pergaulannya. Terlepas dari latar belakang yang berbeda, kita sungguh miris melihat mereka yang saya katakan jadi ‘korban pergaulan’ harus terlanjur mengikuti aturan yang telah menjadi syarat keanggotaan, dan jika tidak dapat memenuhinya, mereka akan mendapatkan ancaman dan penindasan oleh para senior atau anggota lainnya. Beberapa aturan dalam rangka men’sah’kan keanggotaan, menurut beberapa sumber mereka diuji nyalinya untuk melakukan tindakan kriminalitas yang dilakukan pada orang tua, anggota keluarga sendiri, teman atau siapapun yang telah ditentukan targetnya oleh senior sebagai pembuktian bahwa mereka memiliki keberanian. Mungkin saya tak kuat untuk melanjutkan pembahasan ini secara mendalam. Semakin mengerikan dan bertolak belakang dengan identitas pelajar yang seharusnya memperlihatkan nilai nilai pendidikan yang telah mereka dapatkan selama dibangku sekolah.

Berkali kali saya ingin katakan bahwa mereka tetaplah menjadi ‘korban’ atas pergaulan yang mungkin mereka tidak pernah inginkan sama sekali. Tetapi desakan psikologis dari lingkungan telah mengurung dia untuk memilih gengster sebagai bagian dari identitasnya ditengah tengah masyarakat. Sebaiknya banyak pihak yang terus peduli bergerak untuk memberantas penyakit sosial ini. Ini bukan hanya tugas kepolisian untuk menindaknya, karena siapapun berhak dan harus terlibat memberikan solusi. Ada tiga kelompok yang menurut saya berhak untuk bekerjasama memberikan perhatian pada kasus ini, (1) Orang tua, sebagai pendidik primer yang paling tahu tentang kehidupan dan paling bertanggungjawab selama mereka dirumah, (2) Sekolah/ Lembaga Pendidikan, sebagai pendidik sekunder yang membantu orangtua memberikan pendidikan selama ada dilembaga pendidikan, (3) masyarakat, yang harus bersama sama menciptakan lingkungan kondusif di daerah masing-masing sehingga tidak ada celah bagi anggota masyarakat untuk melakukan tindakan kejahatan, (4) Pemerintah, dalam hal ini kepolisian berupaya keras untuk menindak segala prilaku yang melanggar hukum. Jika keempatnya dapat bersama sama memiliki perhatian ekstra, maka tidak ada yang tidak mungkin Indonesia akan Bebas dari kebringasan Gengster.

Wallohu A’lam. Ready Corrected!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun