Mohon tunggu...
Naisbitt Iman
Naisbitt Iman Mohon Tunggu... -

Just a wandering wanderer that wander in the wonderfully wonderful world called wonderland.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Guillain–Barré syndrome (GBS) : Antara Aqin, 150 Juta, dan Kesehatan Indonesia

4 Juni 2013   04:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:34 1315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : emgtest.com

[caption id="" align="aligncenter" width="610" caption="Sumber : emgtest.com"][/caption] Sore tadi, sekitar pukul 15.00, salah satu dari teman saya di facebook, men-share berita tentang Aqin, Mahasiswi FKIP UNS yang menderita suatu kondisi langka, Guillain–Barré syndrome (GBS) yaitu sebuah penyakit autoimun yang mengakibatkan demielinasi pada sel schwann di sistem saraf tepi, dengan insidensi kasus hanya 1-2 kasus per 100.000 orang secara global, dengan jumlah penderita di Indonesia, menurut Departemen Kesehatan, mencapai 5 orang setiap tahunnya. Apa itu sebenarnya GBS? GBS adalah suatu penyakit autoimun, yaitu di mana sistem imunitas tubuh 'salah mengenali' bagian tubuh normal sebagai substansi asing yang harus diserang dan dimusnahkan. Mengapa GBS ini menjadi perhatian? Hal ini diakibatkan oleh bagian yang diserang oleh sistem imun tubuh adalah sistem saraf perifer, lebih tepatnya lagi lapisan mielin pada sel schwann yang merupakan penyusun utama sel saraf. Penyerangan oleh sistem imun ini akan menyebabkan terjadinya demielinasi atau penguraian mielin pada sel schwann, padahal mielin berfungsi sebagai selubung yang berguna untuk meningkatkan kecepatan impuls/pesan dari bagian tubuh lain ke sistem saraf pusat. Sebagai akibatnya penderita GBS, akan kehilangan mielinnya sehingga komunikasi antara sistem saraf pusat dan bagian tubuh lain menjadi terhambat secara signifikan, padahal diketahui bahwa hampir sebagian besar fungsi tubuh dikelola oleh sistem saraf pusat dan disampaikan melalui sistem saraf perifer, sehingga apabila proses ini dihambat, maka fungsi tubuh tidak akan berjalan secara normal. Sebagai akibatnya, penderita GBS ini akan mengalami kelemahan otot, kehilangan kemampuan perabaan, hingga mengalami kesulitan untuk melakukan pernafasan. Pengobatan GBS sampai saat ini yang telah teruji secara evidence-based medicine adalah dengan plasmaspheresis atau menggunakan intravenous Immunoglobulin G (IV IG). Plasmaspheresis adalah proses yang mirip dengan hemodialisis/cuci darah, di mana darah penderita GBS akan dimasukkan ke dalam suatu alat, di mana bagian plasma darah yang mengandung antibodi yang menyerang sistem saraf tadi difiltrasi (disaring) sehingga penyebab GBS-nya hilang. Cara kedua ialah IV IG, cara yang kedua ini lebih disukai, karena tidak membutuhkan penyaringan terus menerus dan tingkat penyembuhannya lebih cepat, hanya membutuhkan waktu 2 minggu, dibandingkan plasmaspheresis yang membutuhkan waktu 4 minggu. IV IG, adalah pemberian infus Imunnoglobulin G, yang akan berfungsi sebagai pengikat antibodi penyebab GBS tadi, menghentikan proses inflamasi/peradangan pada mielin, dan memberikan sinyal pada sistem homeostatis (keseimbangan) tubuh untuk berhenti memproduksi antibodi. Namun sayangnya, IV IG merupakan obat yang sangat dan amat sangat sangat mahal. Seperti yang digunakan oleh saudari kita, Aqin, sebotol IV IG memiliki harga yang cukup fantastis Rp 3.000.000,00-. Yap, 3 juta rupiah per botol, dan dengan pemberian dosis lazim 400 mg/kg BB selama 5 hari atau 1g/kg BB selama 2 hari (Aqin diberikan yang pertama), Aqin harus diberikan sekitar 4 botol IV IG per harinya selama 4 hari, atau Rp 48.000.000,00. Sehingga, tidak mengherankan selama satu bulan di rumah sakit, pengobatan biaya Aqin mencapai Rp 150.000.000,00  -seratus lima puluh juta rupiah-. Padahal, walaupun kesembuhan GBS mencapai 80%, namun waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesembuhan cukup lama, yaitu proses recovery baru akan bermulai pada minggu keempat, jadi yang berarti nilai selama sebulan tadi, Aqin baru akan 'mulai' sembuh. Tentu, sampai benar-benar sembuh memerlukan waktu yang lebih lama, dan biaya yang lebih banyak pula. Pasti, diantara para pembaca ada yang bertanya-tanya, mengapa harga IV IG begitu mahal, hal ini disebabkan karena IV IG tidak dapat dibuat secara sintesis obat kimiawi ataupun melalui ekstraksi dari tanaman, IV IG didapatkan dari plasma darah manusia yang didonorkan secara sukarela (atau berbayar), dan harus melalui proses screening yang ketat untuk memfiltrasi kemungkinan adanya virus, treatment secara kimia, dan proses isolasi dari immunoglobulin G itu sendiri yang hanya berjumlah sangat sedikit di dalam plasma darah. Mengingat harga obatnya yang begitu mahal, teman-teman Badan Eksekutif Mahasiswa UNS (BEM UNS), tempat Aqin belajar, aktif menggalang dana untuk meringankan beban biaya berobat Aqin, apalagi mengingat penghasilan orangtua Aqin yang hanya sekitar 1 juta rupiah/bulan. Jika diantara para kompasianer sekalian ada yang mau membantu saudari kita Aqin, dapat  memberikan bantuannya seperti yang tertera dalam poster di bawah ini :

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun