Mohon tunggu...
Dr.Naima Lassie
Dr.Naima Lassie Mohon Tunggu... -

Dokter, Residen Mata, Istri Residen Bedah, Mama Farand dan Falisha.\r\n'Be Positive and Stay Positive'\r\nwww.naimalassie.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mengejar Nirwana

27 Juni 2013   11:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:21 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pukul 01.00

HP Nova berdering…

“Dokter Nova, ada pasien perdarahan pasca-melahirkan. Atonia uteri1). Pasiennya sudah lemah sekali. Bagaimana Dok?” suara Dokter Mita di seberang sana. Dokter Mita adalah dokter jaga UGD di Rumah Sakit Panacea.

Duh, lagi-lagi. Kenapa sih pasien-pasien nggak tau waktu banget. Masak lima hari berturut-turut ada panggilan operasi emergency2) terus. Padahal tadi aku juga baru sampai rumah jam 10 malam karena pasien di praktek pribadi juga banyak. Dokter juga cuma manusia biasa, yang butuh istirahat, punya keluarga.

Seandainya saja aku tinggal di kota besar, yang dokter spesialis kandungannya ada beberapa, aku kan bisa merujuk pasien saja. Aku benar-benar sedang lelah.

“Hm...Dokter Mita tolong diresusitasi3) cairan dulu, terus disiapkan operasi emergency sambil dikonsultasikan ke dokter anestesi4), saya segera kesana...”

Aku bangun dengan malas. Kulihat suamiku masih lelap tidur memunggungiku. Nampaknya dia masih marah padaku. Ah, sudahlah. Ada nyawa yang harus diselamatkan menungguku di sana.

Tanpa pamit pada suamiku, aku pun berganti pakaian dan segera menyetir ke rumah sakit.

***

Malam hari begini jalanan begitu lengang sehingga aku bisa menyetir dengan kecepatan penuh. Lima belas menit aku sudah sampai di UGD rumah sakit.

Aku pun langsung memeriksa pasien itu. Dokter Mita menemaniku memeriksa ulang si pasien sambil melaporkan tindakan yang telah dilakukannya.

“Pasien habis melahirkan anak ke dua di bidan dua jam yang lalu, Dokter Nova. Sampai sekarang perdarahan masih berlangsung. Pasien sudah sangat lemah. Tadi sudah dimasukkan cairan infus 4 liter, Dok. Keluarga sedang mengusahakan donor darah.” Dokter Mita melaporkan dengan runtut.

Kuperiksa nadi pasien, nadinya memang cepat dan lemah. Pasien terlihat pucat, mengantuk dan sudah sulit diajak komunikasi. Kuperiksa perutdan jalan lahirnya, memang rahimnya lembek sekali dan darah masih terus keluar dari jalan lahirnya.

Aku pun memanggil suami pasien, dan kujelaskan bahwa pasien akan dioperasi.

“Pak Andi, ibu Maria dalam kondisi gawat, perdarahannya sudah terlalu banyak. Saya akan melakukan operasi pengangkatan rahim untuk menghentikan perdarahannya dan berusaha menyelamatkan jiwanya. Apakah Bapak setuju?, aku mengatakannya dengan hati-hati sambil menunggu reaksi si suami.

Kulihat air mata mulai jatuh dari matanya. Tapi akhirnya ia menyetujuinya.

Aku pun segera menuju ke kamar operasi. Sementara para perawat sibuk mempersiapkan pasien untuk dibawa ke kamar operasi.

Aku berganti baju operasi. Pasien sudah dibius. Aku pun segera memulai operasi.

Setelah dua jam akhirnya operasi selesai. Pasien kuputuskan untuk dirawat dulu di ICU 5). Setelah kondisi pasien stabil, aku berani meninggalkannya pulang.

Dalam perjalanan pulang, otakku memutar kembali kilasan-kilasan peristiwa pertengkaranku dengan suamiku dua hari yang lalu.

***

2 hari yang lalu...

Pagi dini hari ketika dingin menusuki kulit dan lelah bergelayut di seluruh tubuh, aku pulang dari sebuah operasi emergency. Saat kubuka pintu, tiba-tiba Mas Ari, suamiku, sudah menungguku di sofa ruang tamu. Tidak seperti biasanya.

“Bagus ya...tiap malam keluar, pulang pagi. Lupa suami, lupa anak,” Mas Ari bicara dengan nada tinggi dan sinis.

“Mas, Nova pergi juga karena terpaksa. Kalau Nova tidak pergi, pasiennya nggak tertolong, Mas!” aku berusaha menanggapi dengan nada yangsenormal mungkin.

“Tapi masak iya, sekarang tiap malam kamu operasi terus. Dulu kan nggak seperti ini. Kamu keluyuran kemana sebenarnya?” Mas Ari mulai menuduhku.

Aku langsung naik pitam.

“Mas Ari ngomong apa? Nova nggak pernah terpikir keluyuran kemana-mana, Mas. Nova juga capek, kalau bukan karena ada orang yang sekarat Nova juga nggak mau, Mas.” Aku membalas perkataan Mas Ari tak kalah sengit.

Aku langsung berlari masuk kamar, aku tidak sanggup bertengkar lagi. Aku lelah dan mengantuk. Kutinggalkan Mas Ari yang tampaknya belum puas ingin mengadiliku. Kubenamkan wajahku di bantal.

Tuhan, tolonglah aku. Aku berada dalam posisi serba sulit. Aku seorang dokter spesialis kandungan satu-satunya di kota kecil ini. Dan aku juga adalah seorang istri dari Ir.Ari Prasetyo. Aku juga seorang ibu dari seorang Dinda Maharani.

Aku baru satu tahun ada di kota ini. Dan akhir-akhir ini pasienku mulai banyak. Dari situlah semuanya berawal. Aku tiap hari baru pulang dari praktek jam 10 malam. Seringkali juga ada panggilan di malam atau dini hari untuk kasus-kasus gawat. Dan panggilan hatiku sebagai seorang dokter tidak boleh menolak pasien gawat. Akhirnya beberapa kali aku meninggalkan suamiku tidur sendirian. Anakku pun jadi jarang bermain bersamaku. Sekali dua kali kutinggalkan, suamiku masih mengerti. Namun, beberapa hari ini memang hampir setiap malam ada panggilan emergency.

Tiga hari yang lalu, jam tiga pagi, sepulang dari operasi, suamiku mengajakku bercinta. Sungguh saat itu aku benar-benar dalam kondisi yang sangat lelah. Kutolak dengan halus. Tapi Mas Ari tampaknya benar-benar menginginkannya. Tapi aku sudah tak sanggup lagi, dan langsung saja tertidur begitu sampai tiba di ranjang. Mulai hari itu Mas Ari mendiamkanku. Aku tidak tahu harus bagaimana. Bukan aku yang mau pasien-pasien datang pada malam dan dini hari. Dan aku juga manusia biasa yang bisa lelah, aku bukan mesin atau robot. Mas Ari memang biasa bekerja dengan mesin-mesin kontraktor di proyeknya. Sedangkan aku biasa bekerja dengan manusia yang punya rasa dan punya nyawa.

***

Tak terasa mobilku sudah sampai di garasi lagi. Aku pun cepat-cepat masuk ke dalam kamarku. Kubuka pintu perlahan, takut membangunkan Mas Ari. Rupanya dia terbangun juga, tapi dia hanya melihat ke arahku sebentar kemudian tidur lagi. Syukurlah, daripada dia mengajakku bertengkar lagi. Aku pun berganti pakaian dan merebahkan tubuhku di sebelah Mas Ari. Dia tidak bergeming. Aku pun tertidur.

***

Pagi hari aku baru bangun jam 8 pagi. Suamiku sudah berangkat ke kantornya. Sementara anakku juga sudah diantar ke sekolahnya. Duh, ada perasaan bersalah menyelusup di relung hatiku. Aku membiarkan orang-orang yang paling kucintai terlantar. Sebenarnya kalau dalam kondisi normal, tidak ada operasi emergency malamnya, aku biasa bangun pagi. Lalu kusiapkan sarapan untuk Mas Ari dan Dinda, walau hanya sekedar nasi goreng atau roti panggang dan susu. Namun, sudah satu minggu ini mereka tidak merasakan sarapan buatanku. Maafkan Nova, Mas. Maafkan mama, Dinda sayang.

Aku pun segera bersiap-siap, poliklinik rumah sakit akan mulai jam 9 pagi. Setelah polikinik selesai, masih ada dua operasi elektif.

***

Suatu senja di sebuah kantor konsultan proyek pembangunan.

Aku sedang benar-benar kesal pada istriku. Semalam dia pergi lagi, bahkan kali ini tanpa pamit padaku. Sudah satu minggu ini dia pulang larut, lalu pergi lagi, pulang ke rumah dini hari itu pun pasti sudah dalam keadaan lelah. Ketika kuajak bercinta dia menolak, bahkan langsung tertidur. Anakku juga ditentarkannya. Tak ada lagi sarapan pagi, tak ada lagi berkumpul bersama. Sisi kelelakianku muncul, cemburu pun tak bisa kubendung. Aku tak rela istriku pulang pagi terus seperti ini. Aku mulai mencurigainya. Apakah benar dia pergi karena pasien-pasien gawatnya itu? Ataukah sebenarnya dia hanya keluyuran saja?

Waktu aku menikah dengannya, dia masih seorang dokter umum. Kemudian dia ingin sekolah lagi untuk menjadi seorang spesialis. Ketika dia bertanya sebaiknya spesialisasi apa yang diambil, kusarankan menjadi spesialis kandungan, karena kurasa dokter spesialis kandungan yang perempuan masih jarang, padahal pasiennya semua perempuan. Nova pun setuju. Dia memang menyukai bidang itu. Hari-harinya yang melelahkan menjadi seorang residen6) dia jalani. Sebenarnya sejak dia masih bersekolah aku sudah mulai mengeluhkan kenapa dia begitu sibuk, keluarga tidak sempat diurusnya lagi. Tapi aku tahan kesabaranku, karena mungkin memang masih berstatus menuntut ilmu. Namun ternyata, setelah lulus dan menjadi seorang dr.Nova Hidayati,Sp.OG, kesibukannya tidak berkurang sama sekali. Mana dia ditempatkan di daerah yang belum ada dokter spesialis kandungannya. Aku pun yang mengalah mengikutinya ke tempat ini. Kebetulan ada proyek yang juga akan kukerjakan di daerah ini. Nova sebenarnya seorang istri yang baik. Namun, jika keadaannya seperti ini terus, akankah aku sanggup bertahan. Bagaimanapun aku seorang lelaki, aku punya hak atas istriku. Dan beberapa waktu ini hak-hakku tidak terpenuhi.

Malam ini aku berrencana tidak akan pulang. Selain karena memang ada pekerjaan yang harus selesai malam ini, aku juga ingin menegur istriku. Aku ingin melihat reaksinya jika suaminya tidak pulang. Telepon ruangan dan HP aku matikan.

***

Pukul 23.00

Tok...tok..tok...

“Ya, masuk..”

“Pak Ari, maaf mengganggu malam-malam, bisakah Bapak menolong saya?” Udin tergopoh-gopoh masuk ke ruang kerjaku sambil masih teregah-engah.

Udin adalah karyawanku. Walaupun hanya seorang cleaning service sekaligus security malam, aku cukup dekat dengannya, karena dia sopan dan loyal. Rumahnya tepat di belakang kantorku.

“Ya, Udin. Apa yang bisa saya bantu?”

“Begini Pak, tadi istri saya sudah merasa mulas seperti sudah mau melahirkan. Lalu saya bawa ke bidan di dekat sini.” Udin terdiam.

Oh, iya, aku ingat. Istri Udin sedang hamil tua setelah menikah 5 tahun mereka belum juga dikaruniai anak.

“Tadi bu bidan bilang anak saya yang di dalam kandungan sudah tidak sehat, istri saya juga tensinya tinggi. Kata bu bidan harus segera dibawa ke rumah sakit”, Udin melanjutkan.

“Bisakah Bapak menolong mengantar istri saya ke rumah sakit?”, Udin menunduk tidak berani memandangku.

“Maaf Pak Ari kalau saya lancang. Saya tahu saya hanya karyawan rendahan, tidak pantas meminta tolong pada Pak Bos. Tapi ini sudah malam, saya kesulitan mencari kendaraan”, suaranya semakin melirih.

“Iya, Udin. Tidak apa-apa. Ayo saya antar”, jawabku langsung.

“Istrimu sekarang dimana?” tanyaku

“Masih di rumah bu bidan, Pak”, jawabnya.

“Ya sudah, kamu ikut saya kita langsung jemput istrimu”, perintahku.

“Baik, Pak.”

Kami pun segera meluncur menjemput istri Udin. Dua puluh menit kemudian kami sampai di rumah sakit. Begitu aku parkir mobil, kulihat mobil Nova masih ada. Berarti dia belum pulang.

Istri Udin pun langsung dibawa masuk ke ruang periksa UGD dan langsung diperiksa oleh dokter jaga UGD. Tak berapa lama Udin dipanggil.

“Pak, istri Anda harus segera dioperasi cessar7), bayi di dalam kandungannya sudah tidak sehat. Denyut jantungnya sudah mulai melemah. Semoga dengan operasi segera masih bisa tertolong.” Kata dokter yang memeriksanya.

“Saya konsultasikan dengan dokter kandungannya dulu ya, Pak. Kebetulan beliau masih ada di sini karena baru saja selesai operasi juga”, dokter itupun segera meninggalkan kami.

Kulihat Udin bersedih.

“Sudah Din jangan bersedih, masih ada kesempatan anakmu diselamatkan. Sekarang berdoa saja,” kucoba menghiburnya.

“Tapi Pak, operasi butuh biaya mahal, dan ini adalah anak yang sudah lama kami nanti-nantikan,” kulihat tetesan bening turun membasahi pipinya.

“Uang masih bisa dicari Din, yang penting anak istrimu selamat. Kalau perlu nanti bisa pinjam di kantor,” kataku mencoba menenangkan.

Dari lorong aku melihat Nova berjalan ke arah kami. Cepat juga dia datang. Tampaknya dia terkejut melihatku ada di sana.

“Lho, Mas Ari kok ada disini?” kata Nova agak gugup.

“Iya, Va. Ini mengantar istri Udin, karyawanku”, kataku sambil memperkenalkan Udin pada istriku. “Kata dokter jaga tadi, bayinya sudah tidak sehat, Va. Tolong selamatkan mereka ya, Va. Ini anak yang sudah lima tahun ditunggu Udin”, kataku sambil agak canggung karena kami sudah saling mendiamkan tiga hari ini.

“Iya, Mas. Saya akan berusaha”, jawab istriku mantap membuat kami tenang.

Nova pun segera memeriksa istri Udin, kemudian memerintahkan ini dan itu pada perawat, lalu tak lama kemudian dia mendekati kami.

“Saya operasi dulu, Mas. Pak Udin banyak berdoa ya”, katanya sambil berlalu.

Udin mengangguk pasrah.

Aku segera saja melupakan tentang pekerjaan yang harus kuselesaikan malam ini. Aku ikut menemani Udin. Dia tampak sangat tegang, mulutnya terus berkomat-kamit memanjatkan doa. Aku tak berani mengganggunya.

***

Operasi itu terasa lama sekali. Sambil menunggu aku merenung. Nova, ternyata pekerjaan dan profesimu menuntutmu untuk selalu siap sedia saat dibutuhkan. Aku bisa membayangkan ibu-ibu yang akan melahirkan dengan penyulit pastilah membutuhkanmu. Dan, lebih hebatnya, sekali menolong kamu telah menolong dua nyawa sekaligus, ibu dan bayinya. Nova, aku tidak tahu perasaanku saat ini, antara bangga, kasihan dan kesal. Aku bangga kamu adalah seorang dokter kandungan yang telah menolong banyak orang. Aku juga kasihan melihat beban kerjamu yang sangat berat. Tapi, tak kupungkiri aku juga kesal karena profesimu, aku, suamimu, dan anakmu jadi kehilangan sebagian hak-hak kami. Hhmm...tapi setelah aku ingat-ingat lagi, rasanya kamu tidak pernah secara sengaja menghilangkan hak-hak kami. Aku tahu bagaimana pun sibuknya, jika ada waktu kamu pasti menyiapkan sarapan untukku. Atau terkadang saat senggang kamu masih ingat memuatkan sup krim jagung kesukaanku. Kamu juga selalu berusaha mengantar jemput Dinda sendiri, meninabobokannya dan menemaninya bermain. Walaupun sekarang itu jarang sekali terjadi.

Aku jadi merasa malu kemarin telah menuduhmu yang bukan-bukan. Kini aku membuktikannya sendiri, kamu pulang terlambat karena memang ada nyawa yang harus diselamatkan di rumah sakit. Betapa jahatnya aku, bukannya mendukung malah menuduhnya keluyuran.

***

1 jam kemudian ...

“Pak Udin, selamat! Bayi Anda laki-laki! Ibunya baik. Namun si kecil masih harus dirawat di NICU8). Silakan menemui mereka.” Kata Nova sambil menjabat tangan Udin.

“Terima kasih, Dok!,” kata Udin, sambil masih menangis haru.

“Makasih ya, Va!” Ari juga ikut berterima kasih pada Nova.

Udin pun langsung meninggalkan kami untuk menemui istri dan anaknya.

“Va, kamu pulang bareng Mas aja ya, nanti kita mampir makan dulu,” ajak Ari.

“Tapi mobil Nova gimana, Mas?” tanya Nova ragu.

“Udah, nggak apa, ditinggal dulu aja. Besok pagi Mas antar kamu sambil mengantar Dinda ke sekolah,” kata Ari meyakinkan.

“Bener nih, Mas?” matanya berbinar, Nova tidak bisa menyembunyikan bahagianya.

Ari pun mengangguk pasti, sambil berkata dalam hati, “Maafkan aku, Va.”

***

Keterangan:

1) Keadaan dimana tidak ada kontraksi rahim setelah proses persalinan, sehingga terjadi perdarahan hebat dari rahim.

2) Operasi yang harus dilakukan segera, untuk menyelamtkan jiwa pasien.

3) Upaya untuk mengembalikan kondisi tubuh secepat mungkin supaya tidak jatuh ke keadaan yang lebih buruk

4) Dokter ahli yang bertugas melakukan pembiusan saat akan dilakukan operasi

5) Intensive Care UnitRuanguntuk merawat pasien yang keadaan umumnya kurang baik

6) Dokter umum yang sedang sekolah untuk menjadi spesialis

7) Operasi untuk melahirkan bayi melalui perut, bukan dari jalan lahir normal

8)Neonatal Intensive Care Unit. Ruangan khusus untuk merawat bayi-bayi baru lahir yang bermasalah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun