Mohon tunggu...
Mohammad Nailur Rochman
Mohammad Nailur Rochman Mohon Tunggu... -

Mencari Inspirasi dari setiap Konspirasi

Selanjutnya

Tutup

Nature

Implikasi Globalisasi Pasar Finansial Terhadap Ketahanan Energi Indonesia

2 Oktober 2011   13:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:25 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

LATAR BELAKANG

Dalam harian Kompas, Rabu,25 Mei 2011, dikatakan bahwa ketahanan energi Indonesia memasuki titik rawan karena kegagalan pemerintah dalam menerapkan kedaulatan atas sumber daya minyak dan gas bumi serta pertambangan. Pengelolaan sumber daya strategis yang meliputi minyak, gas, sumber daya mineral dan batubara diperlakukan sebagai komoditas dengan nilai manfaat minimal bagi kesejahteraan rakyat.[1] Konsekuensi dari perubahan ini adalah semakin terbukanya pintu eksploitasi bagi perusahaan tambang asing, khususnya pasca pemberlakuan otonomi daerah yang semakin membuka peluang asing untuk menguasai langsung sumber daya batubara dan mineral. Tercatat bahwa 8000 izin kuasa pertambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah.[2]

China dan India merupakan dua negara yang sangat agresif dalam mencari sumber daya dengan masuk dan menguasai tambang kecil dengan cara membiayai perusahaan-perusahaan tambang lokal yang kesulitan pendanaan. Menurut data British Petroleum Statistical Review, Indonesia yang hanya memiliki cadangan batubara sebesar 4,3 miliar ton atau 0,5 persen dari total cadangan batubara dunia menjadi pemasok utama batubara China yang memiliki cadangan batubara sebesar 114,5 miliar ton atau 13,9 persen dari total cadangan batubara dunia. Saat ini, Indonesia telah mengekspor 240 juta ton dari rata-rata produksi 340 juta ton per tahun. Di sektor migas, penguasaan cadangan migas juga masih didominasi oleh perusahaan asing. Dari total 225 blok yang dikelola kontraktor kontrak kerjasama non-Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing, 28 blok yang dioperasikan perusahaan nasional, dan 77 blok sisanya dioperasikan oleh perusahaan gabungan asing dan lokal.[3] Kalau hal ini terus berlanjut sampai 20 tahun kemudian, dapat diperkirakan Indonesia akan menjadi negara importir minyak dan batubara.[4]

PEMBAHASAN

Melihat fenomena diatas, dapat dikatakan bahwa peran negara sangat lemah dalam mengontrol penggunaan sumber daya tersebut. Sekedar untuk perbandingan antara masa sekarang dan masa lalu, Singgih Wibisono[5] mengemukakan bahwa dulu kontrak tambang-tambang itu harus melalui persetujuan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Akan tetapi sekarang, tuntutan demokrasi yang menuntut adanya pembagian kekuasaan (division of power) melahirkan otonomi daerah yang secara langsung mereduksi dan melumpuhkan peran pemerintah pusat. Demokrasi politik diikuti dengan demokrasi ekonomi yang menurut kaum neolib adalah suatu keniscayaan yang harus dilakukan. Otonomi daerah memberikan otoritas lebih kepada pemda untuk menjalankan dan mengatur pemerintahannya,[6] namun hal ini ternyata memiliki dampak sistemik yang sangat besar terhadap nasib bangsa Indonesia sendiri. Kesempatan pemda untuk melakukan kesepakatan transaksional semakin terbuka lebar, eksploitasi bumi Indonesia semakin tak terbendung, ancaman rawan energi menjadi semakin tak terelakkan.

Globalisasi yang menawarkan berbagai penawaran yang menggiurkan, bagi negara sedang berkembang khususnya, menjadi faktor pendorong sekaligus tekanan bagi pemerintah untuk mengikuti kebijakan sistem ekonomi yang diterapkan. Neo-liberalisme menjadi paham sentral untuk merespon globalisasi yang diberlakukan oleh negara-negara kapitalis yang “harus” dianut negara-negara sedang berkembang (NSB) untuk meningkatkan keamanan dan kemakmuran ekonominya. Manfaat globalisasi, dalam pandangan neoliberal, hanya tersedia bagi negara yang memberlakukan arus bebas barang dan modal dengan mekanisme pasar.[7] Negara yang membatasi impor akan kehilangan kesempatan mendapatkan barang produksi negara lain dengan harga yang menarik.[8] Selain itu, negara yang membatasi investor atau kebebasan usaha akan dikucilkan dalam pasar finansial internasional.[9] Dengan kata lain, negara yang ingin menarik investor asing harus membuat lingkungan ekonomi makro yang kuat terlebih dahulu, yang mana lingkungan yang dianggap kuat tersebut adalah hanya lingkungan neoliberal. Hasilnya, liberalisasi perdagangan menjadi pilihan dan dianggap sebagai obat yang akan menyembuhkan penyakit kemiskinan di Indonesia.

Namun, segala perubahan sedemikian pesat yang terjadi ini tidaklah semata-mata karena globalisasi yang konon muncul akibat kemajuan teknologi dan komunikasi serta kemauan pasar saja, akan tetapi perubahan kebijakan finansial ini tidak terlepas dari kekuatan politik yang menaunginya. Bagaimana tidak, masuknya arus barang dan uang secara bebas atau tidak, sangat tergantung pada keputusan politik yang berhubungan dengan kebijakan finansial dan perdagangan internasional. Entah keputusan politik tersebut diambil atas dasar pilihan yang rasional atau berdasarkan pada aturan-aturan lembaga-lembaga internasional yang turut mendorong kebijakan NSB untuk mengadopsi sistem ekonomi yang berkarakter neoliberal, yang jelas adalah tidak akan ada perubahan sistem ekonomi suatu negara tanpa persetujuan dan tindakan yang dilakukan oleh pemegang roda pemerintahan. Dengan kata lain, liberalisasi dan deregulasi finansial bukan hanya karena faktor teknologi dan perkembangan pasar, tetapi karena negara-negara yang menjadi aktor utama dalam sistem internasional, melalui berbagai tindakan baik sengaja atau tidak yang memang mendorong terjadinya proses itu. Dalam bukunya, Mohtar Mas’oed mengistilahkan fenomena seperti ini sebagai “governance without government”.[10]

Oleh karena itu, penulis ingin memandang fenomena ini dari kacamata yang mungkin lebih bersifat politis tapi tetap tidak menghilangkan aspek analisis-ekonomis. Penulis akan menggunakan cabang dari pandangan Marxisme yaitu teori strukturalisme. Teori strukturalisme merupakan teori ekonomi politik yang dianggap radikal karena berusaha meruntuhkan teori-teori besar yang sudah dianut oleh mayoritas negara-negara di dunia seperti Neo-liberalisme. Jika teoretikus pendukung kapitalisme melihat bahwa pembangunan kapitalisme sinonim dengan perkembangan industrial, ekonomi, dan struktur sosial, teoretikus radikal melihat itu semua sebagai sebuah dominasi dan eksploitasi dalam moda imperalisme dan kolonialisme. Teori ini muncul sebagai kritik terhadap kepincangan hubungan perdagangan internasional antara negara-negara Dunia Ketiga dengan negara-negara industri maju (NM) yang akhirnya melahirkan ketergantungan NSB pada NM. Aliran ini awalnya muncul untuk merespon gagasan ECLAC mengenai sebab-sebab keterbelakangan di Amerika Latin dan rekomendasi ECLAC untuk menghapus hambatan-hambatan struktural dalam negeri di negara-negara terbelakang.[11]

Strukturalis adalah paham yang menolak ketimpangan-ketimpangan struktural sebagai sumber ketidakadilan sosial-ekonomi. Strukturalisme berorientasi pada strukuturisasi dan restrukturisasi ekonomi disertai dengan intervensi dan pengontrolan mekanisme pasar sehingga menghasilkan nilai ekonomi dan nilai sosiokultural. Kaum strukturalis menolak konsep pengutamaan pertumbuhan karena hal ini dapat menimbulkan eksploitasi, pelumpuhan, dan pemiskinan serta tidak peduli terhadap harkat manusia dan lingkungan.[12] Bagi mereka, ekonomi pasar bebas dunia lebih banyak menimbulkan kemiskinan daripada kemakmuran, meningkatkan pengangguran daripada penciptaan lapangan kerja, menimbulkan ketimpangan dibanding pemerataan, mengakibatkan ketidak pastian daripada stabilitas, mengakibatkan kerusakan budaya ketimbang kemajuan.

Dalam pandangan kaum sturkturalis, kepentingan individu dan persaingan bebas yang dibawa oleh Adam Smith dengan paham liberalisme-nya telah disalahgunakan. Adam Smith mengumpamakan kepentingan individu ini dengan: “I’ll scratch your back, and you’ll scratch mine”. Dalam artian, bahwa Smith memimpikan adanya kerjasama dalam upaya mencapai kepentingan masing-masing. Oleh karena itu, Swasono mengatakan bahwa tanpa kontrol pemerintah, invisible hand yang semula diharapkan sebagai “pengawas keadilan” dapat berubah menjadi “raksasa” yang melakukan ketimpangan dan perusakan.[13] Sritua Arief juga menambahkan bahwa perlu adanya a visible hand untuk mengatur pasar demi kepentingan negara dan kemaslahatan rakyat. Baginya, internasionalisasi modal, produksi dan perdagangan bebas hanya akan merunyamkan ekonomi rakyat NSB, termasuk Indonesia.[14] Dalam pandangan strukturalis, Neoklasik gagal dalam menyinergikan antara ekonomi makro dan ekonomi mikro. Ini ditunjukkan oleh ketidakcocokan dalam mentransformasikan kepentingan orang perorangandengan kepentingan masyarakat luas atau publik.

KESIMPULAN

Dalam konteks Indonesia, penjualan aset-aset strategis negara dengan nilai jual yang rendah (seperti komoditas lainnya) disebabkan oleh pemberlakuan liberalisasi dan upaya-upaya segelintir penguasa yang ingin mengejar kepentingan pribadi sehingga distribusi kekayaan menjadi timpang dan hanya terpusat pada segolongan elit yang menghancurkan kegiatan ekonomi yang produktif. Sebagai tambahan, dominasi asing dalam hal migas sebesar 75 persen dan 25 persennya menjadi porsi nasional. Bisa dibayangkan apabila Indonesia menjadi importir migas dan batubara yang semula adalah komoditi andalannya, bagaimana angka pengangguran pengebor minyak dan tukang gali tambang akan meningkat, bagaiman sektor ekonomi yang lain juga akan menerima dampaknya, bagaimana kedaulatan bangsa diinjak-injak oleh perusahaan asing, dan bagaiman kondisi ketahanan energi Indonesia di masa mendatang yang mana energi merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap manusia, khususnya di negara yang berpenduduk sekitar 240 juta jiwa. Kondisi ini merupakan kondisi yang sangat berbahaya bagi keberlangsungan kehidupan bangsa Indonesia.

Maka diperlukan adanya pengkajian ulang tentang penerapan sistem pasar bebas yang telah diadopsi oleh pemerintah dewasa ini, pemahaman secara obyektif tentang globalisme atauneoliberalisme serta restrukturisasi dalam pengelolaan sumber daya alam yang lebih ketat lagi untuk mempertahankan stok energi nasional dan untuk menyelamatkan generasi Indonesia di masa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Ha-Joon Chang & Ilene Grabel, 2008,Membongkar Mitos Neolib: Upaya Merebut Kembali Makna Pembangunan, INSISTPress, Yogyakarta, hal: 25.

Mohtar Mas’oed, 1997, Sistem Moneter Internasional, Bahan Kuliah Ekonomi-Politik Internasional Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL Universitas Gadjah Mada, hal: 46

Deliarnov, 2006, Ekonomi Politik, Penerbit Erlangga, Jakarta, hal:77.

Non-buku:

Perusahaan Asing Mengancam Kedaulatan Indonesia?. Diakses pada 26 Mei 2011 dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/05/25/06554537/Perusahaan.Asing.Mengancam.Kedaulatan.Indonesia

[1] Perusahaan Asing Mengancam Kedaulatan Indonesia?. Diakses pada 26 Mei 2011 dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/05/25/06554537/Perusahaan.Asing.Mengancam.Kedaulatan.Indonesia

[2] Kompas. Loc.Cit.

[3] Kompas. Loc.Cit.

[4] Kompas. Loc.Cit.

[5] Singgih Wibisono adalah Direktur Eksekutif Masyarakat Batubara Indonesia.

[6] Dalam otonomi daerah, ada beberapa hal yang tidak menjadi wewenang dari pemda, salah satunya mengenai keamanan nasional.

[7] Ha-Joon Chang & Ilene Grabel, 2008,Membongkar Mitos Neolib: Upaya Merebut Kembali Makna Pembangunan, INSISTPress, Yogyakarta, hal: 25.

[8] Ibid.

[9] Ibid.

[10] Mohtar Mas’oed, 1997, Sistem Moneter Internasional, Bahan Kuliah Ekonomi-Politik Internasional Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL Universitas Gadjah Mada, hal: 46

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun