Pemikiran Machiavelli tidak bisa terlepas dari kondisi Italia semasa hidupnya. Kondisi itulah yang menjadi dasar-dasar refleksi yang kemudian menentukan pandangan-pandangan Machiavelli tentang suatu negara, kekuasaan dan penguasa. Italia saat itu adalah negara yang terpecah-pecah akibat adanya gereja-gereja sebagai dominion atau pusat pemerintahan masing-masing wilayah. Italia terbagi menjadi lima dominion yaitu Naples, Venezia, Roma (Vatikan), Florence dan Milan. Perpecahan kekuasaan ini dinilai Machiavelli sebagai faktor yang melemahkan Italia secara keseluruhan di hadapan musuh-musuh di sekitarnya seperti Perancis dan Spanyol yang mana masing-masing dari keduanya lebih dulu menjadi negara kesatuan. Kesatuan suatu negara adalah hal mutlak yang harus diwujudkan menurut Machiavelli, karena kekuatan negara terletak pada tangan penguasa yang menguasai negara secara keseluruhan. Di tangan penguasalah nasib negara ditentukan. Hakikat nilai yang harus selalu dijunjung tinggi oleh penguasa dalam kehidupan ini adalah negara (kekuasaan).
Oleh karena itu, Machiavelli beranggapan bahwa untuk menjunjung tinggi sebuah simbol negara, maka diperlukan cara-cara yang tidak boleh dikaitkan dengan asas nilai atau moral. Menurutnya, penguasa berhak melakukan apapun, baik atau buruk, cara halus atau cara kasar, untuk mempertahankan kekuasaannya dari segala ancaman yang akan mereduksi legitimasinya yang itu dikhawatirkan oleh Machiavelli akan menimbulkan disintegrasi nasional. Nilai-nilai keagamaan, moralitas adalah hal yang harus dipisahkan dari unsur-unsur politik kenegaraan. Agama hanyalah sebagai penopang, atau kendaraan yang mampu digunakan seperlunya, selama itu mendukung pada kepentingan penguasa dalam berkuasa.
Analogi penguasa ideal yang menarik dari pemikir asal Florence ini adalah Singa dan kancil. Singa adalah simbol kebuasan dan kekejaman untuk mempertahankan kekuasaan. Sedangkan kancil adalah simbol keramahan dan kemurahan hati untuk menarik simpati. Penguasa diharuskan untuk pintar menempatkan posisinya kapan dia harus menjadi singa dan kapan dia harus menjadi seekor kancil. Penguasa harus bisa mencegah ancaman, baik internal maupun eksternal yang akan merusak kesatuan dan keutuhan negara sekalipun dengan cara-cara yang kejam seperti pembunuhan, pembantaian dan lain-lain. Akan tetapi, di saat aman, penguasa juga tidak boleh lupa untuk menarik simpati rakyatnya sebagai sumber legitimasi baginya dengan berbaik hati dan memenuhi keinginan-keinginan rakytanya. Dengan demikian, maka suatu negara itu akan utuh dan solid.
Masalah keamanan nasional, Machiavelli juga berpendapat bahwa kekuatan nasional tidak boleh digantungkan kepada kekuatan pihak lain. Garda bangsa haruslah terdiri dari warga negara itu sendiri, tidak dari warga negara lain yang hanya bekerja sebagai tentara bayaran. Tentara bayaran hanya bekerja sesuai dengan kontrak kerja yang disepakati, tidak ada loyalitas yang murni terhadap seorang penguasa. Maka, negara yang menggantungkan kekuatannya dari tentara bayaran dianggap masih lemah dan akan hancur karena dirinya sendiri sebab terlalu banyaknya alokasi dana yang digunakan dan tidak adanya loyalitas.
Pemikiran Machiavelli di atas memberikan suatu pandangan baru tentang cara hidup berpolitik yang sebelumnya hanyalah dikuasai oleh pandangan-pandangan yang mengaitkan etika dengan politik, agama dengan politik. Hal ini dikarenakan pemikiran Machiavelli berdasarkan pada analisa historis dan praktis, sesuai dengan kenyataan yang ia alami dan amati. Karena kedekatannya dengan alam nyata (real world) tentang politik dan manusia, pemikirannya banyak dianut oleh pemimpin-pemimpin besar dunia seperti Mussolini, Napoleon Bonaparte, Stalin, Lenin, Hitler. Resep yang praktis dan tidak terlalu teoritis dalam mencari dan mempertahankan kekuasaan adalah hal yang mudah untuk diimplementasikan. Inilah yang menjadi keunggulan dari pemikiran seorang Machiavelli.
Kendati demikian, pandangan miring pun tak terelakkan oleh Machiavelli. Sebagai Galileo of politics, ia pun mendapat banyak kecaman dari kalangan masyarakat pada umumnya yang saat itu masih banyak terpengaruhi oleh doktrin gereja. Cara pandang Machiavelli dianggap sangat amoral, tidak menghargai nilai-nilai agama, dan hanya sebagai usaha untuk membenarkan (justifikasi) perilaku kekerasan dalam politik (political violence). Kekuasaan absolut dipandang sebagai bentuk justifikasi bagi setiap perbuatan seorang penguasa. Justifikasi inipun mendapat kecaman dan tantangan dari pemikir-pemikir lain. Apabila Machiavelli beranggapan bahwa manusia itu adalah manusia di satu sisi, dan binatang di sisi yang lain, maka anggapan ini pula yang melemahkan justifikasi politik a la Machiavelli. Bukankah kekuasaan yang tidak terbatas (ultimate) akan membawa manusia pada kecerobohan dan keserakahan. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Acton bahwa power tends to corrupt.
Selain itu, menurut penulis, pemikiran Machiavelli tidak memiliki contoh implementasi murni. Pemikiran Machiavelli tentang kekuasaan yang tertuang dalam bukunya The Prince tidak pernah dipraktekkan semasa hidupnya karena buku tersebut adalah hasil refleksi kehidupan Machiavelli mulai awal sampai akhir hayatnya. Oleh karena itu, penulis tidak yakin apakah definisi mempertahankan kekuasaan menurut Machiavelli telah dipahami betul oleh penganut pemikirannya seperti pemimpin-pemimpin otoriter yang telah disebutkan di atas. Penulis berpendapat bahwa Machiavelli saat itu hanyalah ingin menyatukan bangsa dan negara Italia menjadi satukesatuan, bukan melakukan pembantaian seperti yang telah dilakukan Hitler terhadap kaum Yahudi, Saddam Husein terhadap suku Kurdi dan lain-lain. Bahkan di Indonesia, pemikiran Machiavelli dianut sampai pada ranah kekuasaan di dalam institusi pemerintahan, sosial dan pendidikan seperti lurah, camat, walikota, kepala sekolah, ketua DPRD Tingkat II dan seterusnya untuk meraup keuntungan dan kepentingan pribadi. Fenomena ini menunjukkan bahwa cara berkuasa a la Machivelli dianggap sebagai dalil utama yang mendorong mereka untuk berbuat semena-mena dalam menjalankan kekuasaan tanpa tahu apa dasar dan kronologi terbentuknya pemikiran Machiavelli. Lebih lanjut lagi, tidak ada yang memastikan apakah semua yang terjadi itu adalah yang memang dimaksudkan oleh Machiavelli sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H