Paradigma penelitian merupakan kerangkaatau pola pikir tentang bagaimana cara pandang peneliti terhadap fakta yang ada. Menurut Bogdan dan Biklen (1982) paradigma adalah kumpulan longgar dari sejumlah asusmsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian. Kuhn (1962) dalam The Structure of Scientific Revolutions) mendefinisikan paradigma ilmiah sebagai contoh yang diterima tentang praktek ilmiah sebenarnya yang menyediakan model yang darinya muncul tradisi yang koheren dari penelitian ilmiah. Penelitian yang pelaksanaannya didasarkan pada paradigma bersama berkomitmen untuk menggunakan aturan dan standar praktek ilmiah yang sama (Moleong, 2011).
Terdapat berbagai macam pendekatan atau paradigma penelitian, namun secara umum yang mendominasi ilmu pengetahuan yaitu paradigma kualitatif(alamiah), kuantitatif(ilmiah) dan campuran. Paradigma ilmiah bersumber dari pandangan positivism sedangkan paradigma alamiah bersumber dari pandangan pandangan fenomenologis atau konstruktivis. Peneliti harus menentukan pandangan ontologis, epistimologis dan metodologis terlebih dahulu sebelum menentukan paradigmanya.
Positivisme berakar pada pandangan teoritis Auguste Comte dan Emil Durkheim pada awal abad 19 dan awal abad 20. Para positivis mencari fakta dan penyebab fenomena sosial dan kurang mempertimbangkan keadaan subjektif individu. Durkheim menyarankan para ahli sosial untuk mempertimbangkan fakta sosial atau fenomena sosial sebagai suatu yang memberikan pengaruh dari luar atau mememaksakan pengaruh tertentu terhadap perilaku manusia (Moleong, 2011).
Kasiram (2010) mengemukakan bahwa positivis menganggap realita itu benar-benar ada secara nyata dan dapat diselidiki secara terpisah dan dapat dikontrol (ontology). Peneliti dan obyek yang diteliti adalah independen. Peneliti mampu meneliti obyek tanpa mempengaruhi obyek atau dipengaruhi oleh keadaannya sehingga dapat diperoleh hasil yang obyektif (epistimologi). Cara menelitinya bisa dengan percobaan atau manipulasi, sehingga dapat dikontrol obyektivitasnya. Kerangka teori dirumuskan secara spesifik mungkin dan menolak suatu ilasan meluas yang tidak langsung relevan(metodologi). Menurut positivism, pengetahuan kita tidak pernah boleh melebihi fakta.
Paradigma konstruktivis bersumber dari pandangan Max Weber yang diteruskan oleh Irwin Deutcher dan yang lebih dikenal dengan fenomenologis. Fenomenologis berusaha memahami perilaku manusia dari segi kerangka berpikir maupun bertindak orang-orang itu yang dibayangkan atau dipikirkan oleh orang-orang itu sendiri (Moleong, 2011).
Paradigma konstruktivisme menganggap kenyataan itu hanya bisa dipahami dalam bentuk jamak, berupa konstruksi mental yang tak dapat diraba, berbasissosial dan pengalaman yang bersifat local (ontologi).Peneliti dan subyek penelitian terkait erat secara timbal balik, sehingga penemuan dikonstruksi seperti yang dikehendaki bersama secara konsensus (epistimologi). Cara menelitinya dengan menggunakan teknik hermeneutic dan dialektikal atau dibandingkan serta dilawankan dengan melalui tukar menukar bahasa daerah, sehingga terjaring konstruksi consensus yang lebih jelas(metodologi) (Kasiram, 2010).
Dalam konstruktivistik, bahwa yang ada adalah pemaknaan kita tentang empiris dan kebenaran itu dibangun, sifatnya pluralistis dan plastisis. Pluralistis yaitu realitas dapat diekspresikan dengan beragam symbol dan beragam system bahasa. Disebut plastisis karena realitas itu tersebar dan terbentuk sesuai dengan tindakan perilaku manusia yang berkepentingan (Kasiram, 2010).
Agar lebih jelas, berikut ini perbandingan antara paradigma positivisme dan konstruktivisme.
Tabel 1.1 Paradigma Penelitian
Item
Positivisme
Konstruktivisme
Ontologi
Realisme Naif-realitas nyata namun dapat dipahami
Relativisme-realitas yang dikonstruksikan secara local dan spesifik
Epistimologi
Dualis/objektivis: temuan yang benar
Transaksional/subjektivis;temuan yang diciptakan
Metodologis