Mohon tunggu...
Prajaducation
Prajaducation Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang mengajar di sebuah SMP swasta di Purwakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berguru Pada Zaman

2 Januari 2025   12:40 Diperbarui: 2 Januari 2025   12:39 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siapa yang tidak mengetahui cerita rakyat dari berbagai penjuru  Indonesia? Tangkuban Parahu, Gunung Merapi, Danau Toba, Situ bagendit, Keong Mas, bawang merah-bawang putih dan lain-lain. Siapa pula yang tidak familiar dengan permainan tempo dulu, ucing sumput, galah, gatrek, sondlah, lompat tali dan jenis "kaulinan barudak" lainnya. Mereka yang lahir tahun 90-an ke bawah pasti mengalami hal itu semua, mengetahui cerita rakyat dari berbagai daerah di Indonesia pun mengalami permainan-permainan tradisional tersebut.

Ketika di bangku sekolah seorang guru bertanya "apakah fungsi sosial atau tujuan dari cerita rakyat?Apakah tujuan di ciptakannya permainan "kaulinan barudak"? jawabnya adalah sebagai media hiburan dan mengisi waktu luang (Karena tidak ada hp pada saat itu). Namun apakah benar hanya untuk tujuan itu saja?

Kita juga mendengar cerita bahwa orang-orang dulu memilki ilmu kanuragan atau kesaktian, bisa ini dan bisa itu. Mampu membuat banguan spektakuler dan membuat takjub semua orang pada masanya. Terbukti tidak ada bangunan pun pada zaman sekarang bisa menandingi kemegahan bangunan pada zaman dulu (kecuali dibantu dengan komputer dan mesin terbaru).

Apakah itu juga termasuk cerita zaman dulu sebagai hiburan dan untuk mengisi waktu luang saja? Apakah itu fiksi belaka? Ternyata kita memang harus berguru pada zaman. Apalah artinya kita dibandingkan dengan mereka para terdahulu kita. Apakah kita sadar mereka lebih pintar, lebih kreatif bahkan super jenius dari kita zaman sekarang.

Sebagai contoh mereka membuat cerita rakyat rakyat yang terjaga sampai sekarang, apakah itu hanya sebatas cerita, mereka sebetulnya sedang menjaga situs, mengapriesiasi sebuah karya dan meninggikan nilai-nilai luhur budaya setempat, alhasil situs atau tempat tersebut masih terjaga alami dan asri sampai sekarang. Berkat cerita itu semua mengakui, saling menjaga dan salling menghormati.

Lihatlah bagaimana mereka mampu menjaga tradisi, budaya dan karya tanpa harus di tulis dalam undang-undang dan bantuan pemerintah. Hanya dari mulut ke mulut tradisi itu terjaga dengan baik. Jenius sekali nenek moyang kita, pertanyaannya apa yang bisa kita warisi dari keelokan budi pekerti mereka. Ternyata kita memang harus berguru pada zaman untuk terus saling menghormati dan menjaga tradisi.

Sekarang banyak pertanyaan dan pemahaman "sampah" yang ditujukan kepada kita, sebagai contoh beribadah itu harus ada dalilnya, salaman setelah sholat harus ada dalilnya, tahlilan/ hadhorohan harus ada dalilnya kalau tidak itu bid'ah dan tempatnya neraka. Astaghfirulloh....betapa sempitnya pemikiran seperti itu. Ulama kita terdahulu telah mengetahui itu semua, lahirnya NU berkah untuk Indonesia, seandainya tidak ada NU maka bubarlah Indonesia karena tidak ada yang saling menghormati dan menjaga tradisi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun