Bagi yang pernah mencicipi kehidupan di Pesantren, tentu sepakat bahwa hidup dalam kebersamaan dengan sesama santri bukanlah perkara mudah, terlebih ini berlangsung dalam tempo waktu yang relatif lama. Dalam konteks kehidupan Pasantren, aktivitas seorang santri diatur sedemikian rupa mulai dari langkah kaki bangkit dari tidur hingga kembali melangkah ke tempat tidur, apapun yang menyelangi keduanya tidak luput dari tuntutan dan aturan.Kehidupan seorang santri adalah perjalanan yang sarat dengan kedisiplinan serta tuntutan, sebuah tempaan mental yang membutuhkan komitmen tinggi. Kesehariannya dimulai dengan derap langkah menuju masjid demi melaksanakan shalat berjamaah, berzikir, membaca Quran serta berbagai praktik spiritual lain. Tidak ada ruang untuk keterlambatan dan ketidakikutsertaan, sebab disiplin adalah nafas utama dunia pesantren.
Disamping kegiatan ruhaniyah, santri juga berjuang mengeyam pendidikan formal se-usianya di bangku Madrasah baik tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, ataupun Aliyah, para santri saling berkompetisi dalam berbagai cabang keilmuan. Ini semua ditempuh demi mempersiapkan diri menjawab berbagai tantangan zaman kedepannya yang semakin kompetitif. Tentu bukanlah perjalanan yang mudah, karenanya dibutuhkan mentalitas dan kedisiplinan diri yang kuat. Syukurnya, keberadaan Pasantren berperan mewadahi santri dalam membangun mentalitas serta kedisiplinan hidup sehingga bersikap disiplin seyogyanya telah menyerap ke dalam DNA seorang santri. Menyandang identitas santri pun menjadikan seseorang harus lekat dengan aktivitas mempelajari dan mendalami ilmu agama. Mulai dari Nahwu, Sharaf, Balaghah, Bayan, Badi', Fiqh, Ushul Fiqh, Ulumul Hadith, Tafsir, Tauhid, Tasawuf, dan sebagainya. Disini, santri dibekali dengan berbagai cabang keilmuan agama agar ketersambungan dakwah dan tarbiyah diniyyah ini terus berlanjut dan menyebar secara masif. Kendati kelak mereka tidak terjun secara lansung dalam dakwah praktis, namun dakwah amaliyah mereka akan terus berlanjut dalam aktivitas kehidupan mereka.
Santri hidup dalam aturan yang ketat. Waktu mereka diatur dengan cermat mulai dari jadwal belajar, makan, hingga istirahat. Smarthphone serta hiburan duniawi digantikan dengan kegiatan spiritual dan keilmuan. Mereka dilatih untuk mampu mandiri, sabar, dan tangguh dalam menghadapi rutinitas yang pastinya melelahkan. Namun di balik itu semua, ada tarbiyah yang luar biasa yang hendak diajarkan. Setiap pelajaran baik agama maupun umum senantiasa dikaitkan dengan nilai nilai moral. Santri diajarkan untuk menghormati guru, menyayangi sesama, dan menjaga kejujuran. Mereka belajar arti kesederhanaan, bagaimana mensyukuri nikmat yang sedikit, dan mengutamakan sikap berbudi di atas sikap penuh emosional. Inilah yang menjadikan kehidupan seorang santri begitu teratur dan tertata.
Namun ironisnya, keteraturan yang dibangun dan dilatih oleh lantangnya jerit suara pengasuh, ketertataan yang wujud setelah ratusan kali pendisiplinan, rasa spiritualitas mendalam yang selama telah ini ditanamkan, bisa tergerus dalam hitungan hari saat santri kembali ke rumah. Fase liburan menjadi ujian besar bagi kesantrian mereka. Ketika santri bercengkrama dengan keluarga, rasa rindu dan kasih sayang kerap menjadi alasan yang justru melemahkan kedisiplinan yang telah ditanamkan. Misalnya, dalam hal berpakaian, pesantren mengajarkan santri untuk menjaga aurat sesuai prinsip syariat. Namun, saat kembali ke rumah, ada keluarga yang tidak menaruh perhatian serius pada hal ini. Atau dalam ubudiyyah yang tak lagi disiplin. Padahal pasantren sebelumnya telah berupaya menanamkan sakralisme dalam kehidupan spiritualitas santri.Â
Tutur kata dan etika sering kali menjadi tidak terjaga akibat pengaruh lingkungan yang tak acuh. Padahal, pesantren telah memberikan perhatian besar terhadap pembentukan tata bahasa yang santun serta pergaulan yang kondusif dalam bingkai nilai-nilai agama. Kelonggaran-kelonggaran semacam ini sering kali membuat santri kesulitan untuk istiqamah dalam menjaga identitas kesantriannya. Lebih parah lagi, ketika santri mengeluhkan beratnya kehidupan di pesantren, sebagian orang tua justru memberikan toleransi pada pelanggaran disiplin dengan alasan "kasihan" atau "sayang". Padahal, rasa sayang yang tidak tepat sasaran seperti ini dapat meruntuhkan tempaan jiwa dan mentalitas yang telah dibangun di pesantren.
Oleh karena itu, penting bagi keluarga untuk menjadi pendukung dalam menjaga nilai-nilai kesantrian, bukan sebaliknya. Jika tidak, apa yang telah ditanamkan di pesantren akan lenyap perlahan, dan santri kehilangan identitasnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI