Premanisme sering kali diasosiasikan dengan tindakan kekerasan atau pemaksaan di ranah sosial dan politik. Dalam konteks intelektual, fenomena serupa nyatanya juga dapat ditemukan. Istilah premanisme intelektual dapat merujuk pada kecenderungan individu atau kelompok yang memaksakan kehendak subjektifnya dengan cara menekan, membungkam, atau merendahkan pandangan lain di ruang diskursus.Â
Tentu, fenomena ini bercanggah dengan esensi intelektualisme sejati, yang menjunjung tinggi kebebasan berpikir, penghormatan terhadap argumen yang berbeda, dan komitmen terhadap pencarian kebenaran. Lewat ketikan jari, saya berniat mengajak pembaca untuk melihat bagaimana premanisme intelektual mencemari dunia pemikiran, betapa berbedanya ia dengan intelektualisme sejati. Â Tulisan ini terbit sebagai upaya memberikan kritik terhadap pola pikir dan tindakan yang merusak esensi intelektualitas itu sendiri.
Patut dicatat bahwa, premanisme intelektual tidak selalu terlihat secara eksplisit. Perilaku ini sering kali disamarkan dalam balutan retorika akademik, opini publik, atau dominasi dalam institusi intelektual. Kemajemukan wujudnya, akan menambah panjang tulisan ini. Sebut saja "Pemaksaan Ideologi" sebagai tipologi awal. Ini sering terjadi ketika seseorang merasa bahwa ideologi atau pandangannya adalah yang paling wajib di imani dan di amini oleh semua orang. Menggunakan pengaruh, kekuasaan, atau platform untuk menekan pandangan oposisi. Alih-alih berdialog, paksaan dan intimidasi verbal maupun pengucilan sosial justru mengisi penuh ruang intelektualnya. Kefakirannya untuk berargumen secara sehat, mengharuskan berbelok pada penghinaan, ejekan, atau pengkerdilan lawan. Bukan mencari kebenaran, namun hanya untuk menonjolkan superioritas semata.Â
Beralih ke tipologi kedua, premanisme intelektual juga terlihat pada usaha untuk monopoli wacana melalui mendominasi ruang diskusi dengan membungkam suara-suara alternatif. Ini sering kita jumpai dl berbagai ruang media, akademik, maupun ruang kerja publik lainnya. Namun tetap saja, tidak ada yang lebih menggelitik dibandingkan tipologi ketiga, dimana tersangkanya sering mengklaim bahwa ia adalah pembela kebebasan berpikir. Namun dalam praktiknya, ia justru hanya mengizinkan kebebasan tersebut sesuai dengan kehendak subjektif mereka.
Disisi yang berkebalikan, intelektualisme sejati memiliki gaya yang sangat berbeda. Mereka adalah orang-orang yang menghormati kebebasan berpikir, keterbukaan terhadap argumen lain, dan memiliki komitmen terhadap pencarian kebenaran. Intelektualisme sejati tidak memaksakan kehendak, tetapi membuka ruang untuk perbedaan pandangan. Diskusi sehat adalah sarana utama untuk mendekati kebenaran, bukan tekanan atau pemaksaan.Â
Intelektual sejati senantiasa menghargai argumen lawan, bahkan jika mereka tidak setuju. Mereka lebih berfokus pada substansi daripada personalisasi perdebatan. Sebab tujuan utama intelektualisme sejati adalah mencari dan memahami kebenaran, bukan memenangkan perdebatan demi ego atau politik personal. Ini hanya bisa diraih jika ada keterbukaan jiwa terhadap Kritisisme dan Autokritik. Sebab seorang intelektual sejati tidak hanya mengkritik pandangan lain, tetapi juga bersedia mengkritisi pemikirannya sendiri. Mereka menyadari bahwa kebenaran adalah hasil dari proses pencarian yang terus-menerus.
Kalau mau ditarik lebih jauh, premanisme intelektual sebenarnya adalah bentuk pengkhianatan terhadap hakikat intelektualisme. Sebab dengan memaksakan kehendak subjektif, seseorang menghalangi proses pencarian kebenaran yang seharusnya terbuka, dinamis, dan inklusif. Tentu ini akan merusak beberapa sisi kehidupan. Diantaranya adalah Stagnasi Pemikiran, dimana ketika ruang diskusi didominasi oleh pandangan tertentu maka potensi inovasi dan kreativitas pemikiran menjadi terhambat. Publik kehilangan kesempatan untuk mengeksplorasi ide-ide baru yang mungkin lebih relevan dan ideal.Â
Lebih lanjut, Premanisme Intelektual hanya akan memicu Polarisasi Sosial, sebab kelompok lain merasa teralienasi dan cenderung merespons dengan sikap yang sama. Hasilnya adalah fragmentasi sosial yang semakin dalam. Ujung-ujungnya hanya akan mengerosi kepercayaan publik terhadap komunitas Intelektual, sebab Intelektualis tidak lagi dipandang sebagai penjaga kebenaran, tetapi sebagai pihak yang mengejar agenda pribadi atau kelompok. Padahal, Intelektualitas adalah pilar peradaban. Ketika intelektualisme sejati tergantikan oleh premanisme, peradaban akan kehilangan arah dan mengebiri potensi untuk berkembang lebih jauh.
Sebagai konklusi akhir, premanisme intelektual adalah ancaman serius bagi esensi intelektualisme sejati. Pemaksaan kehendak subjektif dalam ruang diskursus bukan hanya mencemari kebebasan berpikir, tetapi juga menghambat perkembangan masyarakat dan peradaban. Sebaliknya, intelektual sejati adalah mereka yang menjunjung tinggi kebebasan, keterbukaan, dan penghormatan terhadap perbedaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H