Mohon tunggu...
Naili Rofiqoh
Naili Rofiqoh Mohon Tunggu... -

UIN Maliki Malang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Heidegger:”Dunia-Manusia”

18 Desember 2013   12:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:47 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Heidegger:”Dunia-Manusia”

Ia kurang setuju dengan fenomenologi Husserl yang selalu mendasarkan pada kesadaran, tentang “aku transcendental” yang seolah-olah hanya manusia (kesadaran) yang dapat mempengaruhi dunia, namun Husserl melupakan bahwa dunia pun dapat mempengaruhimanusia. Eksistensi manusia yang konkret, unik dan actual luput dari perhatian si Husserl.

Heidegger tidak mau mengikuti Hussserl untuk “kembali ke subjek”, Heidegger berpendapat bahwa focus pada subjek dan mengabaikan objek berarti mengulang kesulitan yang sama seperti yang dihadapi idealisme. Menurutnya sebuah realitas yang lain, realitas yang bukan murni objek dan bukan murni subjek, tapi sintesis dari subjek dan objek. Sintesis tersebut berupa “dunia-manusia” yaitu ada-dalam-dunia (in-der-welt-sein).

Pertanyaan yang menggantung di seluruh filsafat Heidegger sebenarnya adalah, apa maksud sesungguhnya dari konsep Ada? Di dalam filsafat pertanyaan ini berada di ranah ontologi, yakni penyelidikan tentang Ada yang merupakan dasar dari seluruh realitas. Maka dapat juga dikatakan, bahwa filsafat Heidegger berfokus pada ontologi. Namun ontologi Heidegger tidak sama dengan ontologi yang sudah ada sebelumnya. Searah dengan perjalanan waktu, makna dari pertanyaan tentang Ada pun sudah berubah.

Tentu saja bagi banyak orang, terutama yang tidak berkecimpung secara khusus di dalam dunia filsafat, pertanyaan yang diajukan Heidegger tampak agak bodoh. Jika ditelusuri secara mendalam, konsep Ada sebenarnya ada di dalam setiap hal, sepertiada batu, ada manusia, ada hewan, dan sebagainya. Bahkan dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang menempati ruang dan waktu tertentu di alam semesta ini memiliki ada. Segala sesuatu berada. Lalu konsep ada manakah sebenarnya yang dimaksud Heidegger? Ataukah ia mencari Ada yang mendasari seluruh realitas? Jika dilihat dari karya-karyanya, Heidegger hendak menemukan Ada yang mendasar ada-ada lainnya, yang terdapat memang terdapat di semua hal. Maka dari itu pertanyaan tentang ada haruslah diubah menjadi, apakah yang dimaksud dengan Ada yang mendasari ada-ada lainnya di dalam realitas?

Manusia modern mulai lupa dengan makna “Ada”, hal ini bisa diliha secara teoritis, para ahli dalam bidang filsafat dan ilmu pengeahuan enggan untuk mempertimbangkan masalah nilai dan makna eksistensi manusia dalam asumsi-asumsi dan teori mereka. Filsafat dan ilmu menjadi “kering tanpa jiwa”, manusia terjebak dalam rutinaitas keseharian yang menghilangkan keontentikannya. orang yang pertamakali mengajukan pertanyaan tentang Ada secara sistematik adalah Plato. Ia melakukan perdebatan tentang konsep Ada dengan para sofis, yakni para pengajar retorika. Kaum sofis sendiri tidak percaya adanya kebenaran mutlak. Bagi mereka segala sesuatu sifatnya relatif di muka bumi ini. Maka dari itu hal yang salah bisa jadi benar, dan sebaliknya, selama orang mampu memberikan argumentasi tentangnya. Bagi Plato sendiri problematika terkait dengan Ada adalah problem gigantotnacbia, yang berarti problem para raksasa pemikiran. Heidegger sendiri sadar akan hal ini. Namun pemikir yang sungguh-sungguh memberikan pengaruh besar di dalam ontologi, ilmu tentang Ada, adalah Aristoteles, murid Plato. Heidegger sendiri memang banyak berpijak pada pemikiran Aristoteles. Ia juga berpendapat bahwa seluruh sejarah pemikiran manusia adalah sejarah kelupaan akan ada (forgetfulness of being).

modus mengada (modes of being) dari manusia adalah ada-bersama-dunia, ada-di-dalam-dunia, dan sekaligus ada-disana. Namun ketiga modus mengada itu pun belum mencukupi. Modus mengada hanya berlaku untuk manusia yang menanyakan ada, dan bukan untuk ada itu sendiri. Di dalamBeing and Time, Heidegger memang banyak menganalisis tentang manusia sebagai mahluk penanya ada, dan bukan ada itu sendiri. Jika Heidegger tidak melanjutkan refleksi filsafatnya, maka sebenarnya ia tidak beranjak jauh dari pemikiran Husserl. Heidegger hanya melukiskan modus mengada manusia dalam kaitannya dengan dunia, tanpa menusuk langsung ke pertanyaan tentang ada itu sendiri, yang seharusnya menjadi inti dari proyek filosofisnya

Ia menawarkan konsep Dasein yang mempunyai arti fakta “Ada” (sein) ternyata adalah sesuatu yang mengada “disitu” (da). Penyelidikannya tidak langsung mengarah pada makna Ada sendiri, namun “makna Ada yang mengada di situ”. Fenomenologinya sering disebut “Analisis Eksitensial”.

Sejalan denga Husserl untuk “kembali pada realitasnya sendiri”, yang oleh Heidegger diartikan sebagai “kembali pada gejala pertama dan sebenarnya”. “pertama”: sejauh mendahului setiap asumsi atau prasangka pengamat dan disebut “sebenarnya”: fenomena itu tetap tinggal sebagai makna, meskipun kehadiran gejala itu kerap kali tersembunyi.

Lalu apa beda filsafat Heidegger dengan filsafat tradisional lainnya yang banyak berbicara tentang ada? filsafat Husserl nantinya akan terkurung ke dalam subyektivisme, yakni paham yang berpendapat bahwa dunia luar berada di dalam diri manusia. Memang Husserl mengatakan bahwa kesadaran selalu terarah pada obyek, dan keberadaan obyek sangatlah tergantung pada kesadaran manusia. Paham itu bisa dengan mudah digeser menjadi pernyataan, bahwa obyek, atau dunia luar itu sendiri, berada di dalam kesadaran manusia.Yang keempat bagi Heidegger, fenomenologi Husserl masih terjebak pada filsafat tradisional, yakni bahwa kesadaran adalah sesuatu yang bisa diselidiki dengan cara menciptakan refleksi yang berjarak dari manusia itu sendiri. Heidegger merumuskan cara baru dalam emnafsirkan seluruh sejarah filsafat dan klasifikasi konsep ada itu sendiri. Karena Heidegger sendiri memang terobsesi dengan proses untuk menghancurkan ontologi, Tidak ada nuansa kekerasan di dalam pemikiran Heidegger, walaupun ia memang menggunakan kata Desttuktion. Di dalam bahasa Jerman, arti kata itu agak berbeda dengan terjemahan Inggrisnya, yakni destruction. KataDesttuktion lebih berarti suatu upaya untuk membuktikan adanya kesalahan berpikir di dalam filsafat Kant, Descartes, dan Aristoteles. Kesalahan berpikir itu bukanlah sesuatu yang disengaja, namun memang tak terhindarkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun