Yogyakarta yang terkenal dengan sebutan kota pelajar ini setiap hari selalu terjadi kemacetan di setiap jalan, dari jalan utama seperti Jl. Marsda Adi Sucipto sampai jalan- jalan kecil seperti Jalan Timoho, di daerah UIN Sunan Kalijaga. Walaupun bukan jalan utama seperti Jl. Marsda Adi Sucipto atau Jalan Solo, namun Jalan Timoho ini selalu diramaikan oleh kendaraan, baik sepeda motor, mobil, maupun sepeda ontel. Ditambah lagi jalan yang sempit ini digunakan untuk perlintasan kereta api, sehingga jalan ini selalu macet panjang dari perlintasan kereta api sampai dekat kampus UIN Sunan Kalijaga.
Selain itu trotoar yang digunakan unuk pejalan kaki pun dirampas oleh pedagang kaki lima seperti tukang tambal ban, penjual sate, penjual es, dan lain sebagainya. Keadaan seperti ini yang dapat menyita hak pejalan kaki , sehingga mereka harus lewat jalan raya karena di trotoar banyak orang berdagang, sedangakan jalan raya sendiri macet banyak mobil, sepeda motor, dan sepeda ontel. Akibatnya para pejalan kaki susah mencari jalan.
Seharusnya pemerintah kota Yogyakarta bisa menangani masalah- masalah tersebut dengan cara membuat pelebaran jalan dan menertibkan pedagang kaki lima. Selain itu pemerintah juga bisa memanfaatkan para pengguna jalan raya yang sebagian besar dari luar daerah Yogyakarta seperti Klaten, Solo, Magelang, dan sekitarnya. Pemerintah bisa membuat peraturan untuk yang menggunakan fasilitas Jalan Raya Yogyakarta harus membayar pajak di Yogyakarta walaupun mobil dan sepeda motornya berasal dari daerah lain. Sehingga uang pajak tersebut bisa digunakan untuk memperbaiki jalan- jalan yang rusak, untuk membuat pelebaran jalan, menertibkan pedagang kaki lima, dan lain sebagainya.
Karena bisa kita lihat saat ini banyak sekali kendaraan bermotor di Yogyakarta yang berasal dari luar daerah atau ber-plat luar daerah. Karena memang sebagian besar yang ada di Yogyakarta bukan penduduk asli setempat, melainkan para perantau seperti mahasiswa. Mereka setiap hari menggunakan Jalan Raya Yogyakarta namun membayar pajak di daerah asal mereka masing- masing.
Selain itu pemerintah Kota Yogyakarta juga bisa mengurangi atau membatasi volume kendaraan bermotor di kota ini. Sehingga kemacetan bisa berkurang. Mungkin bisa dengan cara mengurangi kendaraan pribadi khususnya mobil pribadi dan lebih mengutamakan kendaraan umum atau transportasi umum seperti Trans Jogja.
Karena bisa kita lihat seperti di Jalan Malioboro, setiap hari macet dan trotoar yang seharusnya untuk pejalan kaki malah digunakan untuk tempat parkir di setiap tempat dan juga meledaknya pedagang kaki lima di setiap depan- depan toko. Sehingga para pengunjung yang ingin menikmati kota Yogyakarta atau ingin sekedar belanja- belanja di Malioboro sangat terganggu, padahal pengunjung disana setiap hari semakin bertambah. Sehingga mereka harus berdesak- desakan. Yang macet bukan hanya sepeda motor dan mobil lagi, tapi para pejalan kaki pun juga ikut macet.
Kota yogyakarta dikenal dengan kota pelajar dan punya banyak objek wisata ini seharusnya selalu dijaga, dirawat kebersihanya, dibangun ketertibannya sehingga dapat menarik banyak pengunjung lokal maupun turis mancanegara untuk menikmati kota ini. Kalau keadaan kota yang seperti ini dibiarkan saja, besar kemungkinan turis asing dan lokal yang ingin mengunjungi kota Yogyakarta akan berkurang. Karena keadaan kota yang semrawut, tidak tertata rapi, dan juga polusi udara yang semakin bertambah akibat meledaknya volume kendaraan bermotor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H