Betapa senangnya kita hidup di Indonesia di masa kini, masa dimana tidak ada lagi penjajahan yang terang-terangan menjajah. Kalaupun masih ada sebuah penjajahan di negeri yang kita cintai ini, penjajahan itu berskala rendah, terjadi pada satu komunitas ataupun dalam satu keluarga, yang tentu saja kita sayangkan keberadaan yang demikian. Dapatkah kita membayangkan kalau kita hidup di masa sebelum 1945? Masa negara kita masih bernama Hindia Belanda, lalu ada masa penjajahan Jepang dan negara kita juga mengalami perlawanan untuk menolak kembalinya penjajah ke negeri kita ini. Tentu masa itu adalah masa yang penuh dengan chaos yang mungkin saja menyebabkan beberapa anak negeri terkendala dalam menggapai cita-citanya.Â
Aku pribadi tidak pernah membayangkan dan pada akhirnya menyaksikan sebuah negeri yang sampai detik ini masih belum bisa memproklamirkan kemerdekaannya. Betapa pedihnya sebuah negeri yang ditindas oleh pendudukan bangsa asing. Sebuah negeri yang seharusnya menjadi miliknya sendiri, dinikmati oleh dirinya sendiri, tiba-tiba direnggut oleh bangsa asing dengan cara yang keji melalui senjata pemusnah mangsa zaman kini. Mengingat bentuk kecanggihan senjatanya saja, rasanya aku sudah tidak enak makan. Apalagi menonton korban-korban yang berjatuhan adalah kebanyakan anak-anak.Â
Pemandangan perang adalah pemandangan kebalikan dari kedamaian dunia. Di dalam perang semua amburadul, luluh lantak, tak berdaya tapi tetap harus menggenggam keyakinan bahwa akan datang hari lain yang lebih indah. Bagi jiwa yang penuh semangat hidup dan tidak mudah putus asa, pasti akan memiliki keyakinan apa yang hilang pasti akan diganti dengan yang lebih baik. Keyakinan ini tentu adalah sebuah keyakinan yang perlu diperjuangkan kehadirannya di hati jiwa-jiwa malang korban perang yang masih hidup. Aku yakin keyakinan ini tidak mudah ditancapkan di hati yang terluka dengan masa depan negeri yang tak menentu. Keyakinan "Merdeka atau Mati" yang dulu dimiliki oleh pejuang negeri kita, Indonesia adalah keyakinan yang mengakar di hati anak bangsa yang cinta kepada tanah airnya. Keyakinan ini dibentuk tidak tiba-tiba, keyakinan seperti ini memerlukan rasa empati dan patriotisme yang dibentuk melalui pendekatan religius, melalui pendidikan anak sedari kecil hingga dewasa.Â
Semua bentuk peperangan selalu dimulai dari iming-iming untuk membela yang kecil. Ada pula melalui dukungan pada si A yang sedang memusuhi si B. Segala bentuk strategi, metode dan pendekatan busuk dilakukan oleh mereka, negara-negara penjajah yang selalu merasa dirinya adalah raja dunia. Mereka mungkin terlihat tulus awalnya tapi dipastikan akan menancapkan taringnya dan memusnahkan mangsanya. Mungkin ada beberapa pemimpinnya yang tidak suka perang dan di masa kepemimpinannya terjadi kedamaian tapi itu cuma untuk beberapa waktu saja. Harap dicatat dengan baik untuk bangsa-bangsa lugu dan naif seperti negara kita tercinta, kebanyakan dari pemimpin bangsa penjajah ini targetnya adalah menjajah (invasi tapi dholim).
Sudah banyak daftarnya negara lugu dan naif yang menjadi korban negara penjajah dan dari zaman ke zaman strategi, metode dan pendekatannya hampir sama. Sebagai manusia yang berbangsa lugu dan naif aku cuma bisa gigit jari ketika melihat bangsa yang mirip dengan bangsaku saat ini sedang dihajar habis-habisan oleh bangsa penjajah. Aku cuma bisa geleng-geleng kepala, menangis, dan mendoakan dari jauh. Aku sendiri ngeri kalau sampai negeriku mengalami hal yang demikian. Aku membayangkan apakah strategi Korea Selatan yang mewajibkan anak-anak muda wajib militer di negaranya akan bisa diterapkan di negara-negara yang lugu dan naif. Aku bertanya-tanya apakah negara Palestina yang saat ini sedang tak berdaya bisa melawan balik menyerang pasukan tentara musuhnya melalui perang gerilya yang selalu menjadi kebanggaan negeri kita ini.Â
Tulisan ini aku persembahkan untuk hatiku yang terluka, hatiku yang penuh damai, cinta kasih pada sesama yang ternyata hanya sering menerima kekecewaan. Hatiku yang penuh cinta kasih ini sudah terlalu sering membiarkan, acuh tak acuh dan bahkan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka yang berbuat kejam dengan dalih karena mereka tidak pernah mengerti tentang kebenaran hari pembalasan. Ditunggu-tunggu pembalasannya di akhirat kelak pun rasanya masih kurang kejam kalau untuk membalas kekejaman mereka. Kekejaman manusia yang kejam bahkan melebihi iblis dan rasanya aku tidak sanggup menjadi saksi kekejaman ini. huuft... aku hanyalah manusia biasa yang saat ini tidak ingin mengikuti pertandingan-pertandingan sport yang kusukai di tv, tidak ingin beli benda-benda yang mendukung bangsa penjajah, bahkan aku tidak sanggup melanjutkan membaca novel-novel fiksi terjemahan kesukaanku. Aku lemah, lesu, tak berdaya dan semoga setelah aku menulis diaryku ini aku kembali bisa merasa bersemangat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H