Mohon tunggu...
Nailil Farikhah
Nailil Farikhah Mohon Tunggu... Guru - Guru SD di SD Islam Maarif Sukorejo

Saya adalah guru SD yang bersemangat untuk belajar. Saya sangat suka membaca, terutama membaca hiburan. Saya suka menyanyi dan mendengarkan musik, saat ini sangat suka dengar suara Mahalini. Saya juga suka mengikuti kelas seni membaca AlQuran dan merupakan penggerak kegiatan ini di masjid dekat rumah kami. Saya ingin melatih skill menulis saya karena mengetik saya lumayan cepat dengan teknik 10 jari.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Khairun dan Birrun

1 Mei 2024   18:35 Diperbarui: 1 Mei 2024   18:41 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah mempelajari beberapa ilmu dalam bentuk modul di Pendidikan Guru Penggerak, saya merasa memperoleh ilmu pedagogi dan andragogi yang lebih tinggi sifatnya. Bisa dikatakan ilmu yang saya pelajari di Pendidikan Guru Penggerak (PGP) ini adalah ilmu aqidah akhlak yang lebih tinggi tingkatannya. Dengan siraman ilmu ini, ruh dalam diri saya yang guru biasa menjadi terasa lebih dalam lagi kebanggaan dan perilaku diri saya ini dalam melangkah sebagai guru.

Setiap kali saya mendengar sebuah nasehat, saya terpikirkan dan menautkan sendiri apa yang saya dengar dengan ilmu yang sudah saya dapatkan di PGP. Misalnya pagi ini, saya mendengar KH. Zubairi Rahman di Radio Suara Giri FM, yang membahas tentang kata "Khairun" dan kata "Birrun" yang berarti "Kebaikan" dan "Kebajikan". Selama ini saya pribadi merasa belum mengerti benar perbedaan dua kata tersebut. Saya mengira dua kata itu memiliki arti yang sama. Ternyata kata "Khairun" yang berarti "kebaikan" adalah perilaku kita yang dianggap baik kepada orang lain yang merupakan sebuah kewajiban manusia kepada manusia atau alam. "Birrun" yang berarti "Kebajikan" adalah perilaku baik yang tanpa pamrih, tidak meminta balasan dan tidak memandang musuh atau kawan. Adalah sebuah perilaku senang berkorban, bersedia berbagi dengan apa yang disukainya. 

Diceritakan oleh KH. Zubairi Rahman sebuah cerita perbedaan antara "Khairun" dan "Birrun". Alkisah ada seorang ayah yang meminta ketiga anaknya untuk mempraktikkan sebuah kebajikan kepada orang-orang yang ditemui di sekitar. Anak-anaknya ada yang pergi ke utara, selatan, timur dan barat untuk melaksanakan kebajikan ini. Setelah ketiga anaknya ini kembali, sang ayah bertanya kepada ketiga anaknya ini tentang kebajikan yang telah mereka laksanakan. Anak yang pertama bercerita telah membantu seorang wanita yang merasa kesusahan membawa kayu bakar sendiri. Sang ayah menanggapi, "itu sudah menjadi kewajibanmu untuk membantunya, itu adalah sebuah kebaikan darimu, tetapi belum disebut kebajikan". Anak yang kedua bercerita bahwa dirinya telah membelikan makanan pada orang fakir miskin yang mengeluh kelaparan yang ditemuinya di jalan. Sang ayah menanggapi "itu sudah menjadi kewajibanmu untuk membelikannya makanan, itu adalah kebaikan darimu tetapi belum disebut kebajikan". Anak yang ketiga bercerita bahwa dirinya bertemu dengan seseorang yang tertidur di pinggir sungai yang licin, karena merasa kasihan pada orang itu dan takut orang itu akan celaka jatuh ke sungai sehingga mencederai dirinya, dia membangunkan orang yang tertidur di pinggir suangai itu dan dia merasa terkejut karena orang yang tidur di pinggir sungai itu ternyata adalah orang yang pernah merampok rumah keluarganya. Walaupun begitu dia tetap membangunkan orang itu dan mengingatkan untuk tidak tidur di pinggir sungai. Sang ayah menanggapi. "Nah... inilah yang disebut kebajikan, kebajikan adalah sebuah kebaikan yang tidak pandang bulu dan tanpa pamrih. Kebajikan adalah sebuah aksi yang mengabaikan rasa negatif yang datang dari dalam dirinya. Kebajikan adalah sebuah perbuatan melawan rasa ingin menang atau ingin puas dari dalam hatinya. Kebajikan benar-benar memfokuskan diri pada nilai positif pada semua yang ada di sekitarnya. Kebajikan adalah sebuah rasa yang dimiliki oleh Sang Pencipta (Al Khaliq) dan diharapkan ditiru oleh ciptaanNya (makhluk) sehingga kehidupan menjadi damai dan kebaikan-kebaikan tersebar di muka bumi ini. 

Aku jadi teringat pada sebuah cerita yang aku tonton di Youtube. Sebuah cerita kriminal yang berakhir dengan perdamaian yang indah karena sang korban mempraktikkan nilai-nilai kebajikan. Dalam kisah nyata itu, yang kejadiannya terjadi di Amerika Serikat, dikisahkan seorang bapak yang mengalami kehilangan seorang anak laki-lakinya dengan keadaan yang mengenaskan, yaitu terbunuh oleh sekelompok remaja yang mencoba merampoknya. Singkat cerita, sekelompok remaja itu tertangkap dan polisi berhasil menjebloskan pelaku pembunuhannya ke dalam penjara. Proses persidangan kasus pembunuhan pun dilaksanakan dan situasi ini menyebabkan sering terjadinya interaksi terjadi antara ayah korban dan pelaku. Dalam sebuah persidangan ayah korban menyatakan bahwa dia memaafkan perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku. Dengan keyakinannya bahwa si pelaku melakukan kejahatan adalah karena mengikuti bisikan setan. Ayah si korban, meminta si pelaku untuk menjadi pribadi yang lebih baik setelah kejadian tersebut, meminta si pelaku untuk berbuat baik demi keluarga yang dicintainya, ayah korban juga yakin bahwa pengampunan yang diberikannya pada si pelaku pasti akan disetujui oleh korban, yaitu anaknya sendiri, yang telah dididiknya dengan baik untuk senantiasa taat kepada Tuhannya. 

Perbuatan ayah si korban ini mungkin terlihat konyol di mata kita orang biasa. Memaafkan orang yang pernah berbuat salah dan bukan salah biasa tetapi sebuah kesalahan yang sangat besar. Dibutuhkan sebuah energi positif yang sangat besar untuk sampai kepada bersedia memaafkan. Bisakah kita membayangkan dampak yang didapatkan dari perbuatan memaafkan tersebut terhadap si pelaku? Iya, dampak baik yang besar akan terjadi pada diri si pelaku. Si pelaku yang telah dimaafkan tersebut akan mengerti bahwa dirinya masih dihargai dan diharapkan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Wow, merubah rasa benci menjadi rasa kasihan atau iba mungkin hal yang sulit dan seakan-akan tidak bisa kita lakukan, tetapi bisakah kita bayangkan bahwa hal ini bisa juga semudah membalik telapak tangan seperti yang dilakukan oleh ayah si korban. 

Nilai kebajikan ternyata memiliki nilai yang magis yang mampu menyeret energi positif berupa kerukunan dan keharmonisan kepada lingkungan sekitar kita. Nilai kebajikan mungkin tidak bisa dipraktikkan oleh sembarang orang. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan manusia dari kalangan manapun untuk mempraktikkan nilai-nilai kebajikan ini yang nilainya lebih dalam dari nilai kebaikan. Marilah kita tetap mempraktikkan nilai-nilai kebaikan dan semoga kita termasuk orang-orang pengamal nilai-nilai kebajikan. Amin. Insya Allah...

Nailil Farikhah 
Nailil Farikhah 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun