Mohon tunggu...
Naili zulfah
Naili zulfah Mohon Tunggu... Guru - Ibu Rumah Tangga.

Seorang ibu Rumah Tangga yang hobi membaca segala yang menarik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Strenght and Scope ala Fukuyama

23 Juli 2023   23:03 Diperbarui: 23 Juli 2023   23:04 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : Http/:National Endowment for Democracy

(Repost Tulisan pribadi di tahun 2008. Atau sekitar 15 tahun yang lalu, di akun Blog pribadi dalam Blospot)

Hari kamis adalah hari yang menyenangkan bagi saya. Karna di hari itu terdapat jadwal materi kuliah yang paling saya sukai : Al-Istisyrq. Simpel saja mengapa saya begitu menyukai maddah ini. Tidak lain karna banyak hal menarik dan aktual yang bisa saya dapat dari muhadloroh materi ini. Dan yang terpenting, materi ini tidak perlu di hafal dari A hingga Z seperti materi-materi lain yang berbau gramatikal atau... (tahu sendiri, deh !). Untuk ukuran lingkungan kampus saya yang agak terisolir (khususnya lingkungan mahasiswi), dan pengajarannya yang masih mengikuti pengajaran metode klasik, kehadiran materi semacam ini menjadi "angin segar" buat saya. Makanya, saya memilih jurusan yang paling minim hafalannya, he.he.he. ( maklumlah otak berpentium satu seperti punya saya ini paling sulit untuk diajak kompromi dalam urusan hafal-menghafal).

Minggu lalu, dosen Itisyroq kami menerangkan : Wasil al-Istisyrq. Ada banyak media yang digunakan orientalis dalam mengembangkan pemikiran orientalismenya. Salah satunya adalah pengadaan berbagai seminar yang berkenaan dengan hal tsb. Dari point ini, mulai mengalirlah berbagai cerita hingga sampai pada cerita tentang Francis Fukuyama, penggagas teori "The End of History".

Beliau bercerita bahwa Fukuyama pernah mengisi seminar di Libya. Pada seminar itu, Fukuyama merasa kebakaran jenggot dengan pertanyaan salah satu peserta seminar di sesi tanya-jawab. Saat itu sang penanya berkata, apakah dia bisa tidur dengan nyenyak setiap harinya, padahal teori yang dia gaungkan di dunia telah mengakibatkan berjuta-juta umat manusia mati sia-sia..?. Tentu saja pertanyaan itu sangat menohok bagi pemikir sekaliber Fukuyama. Sayangnya, dosen kami tidak memberitahukan bagaimana tanggapan Fukuyama tentang pertanyaan itu. Tapi saya bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajah Fukuyama ketika mendengar pertanyaan semacam itu, pastilah wajahnya berubah seketika seperti rambu-rambu lalu lintas.

Satu hal yang menggelitik saya dari ungkapan dosen ketika menjelaskan tentang siapa itu Fukuyama. Beliau mengatakan bahwa Fukuyama adalah pemikir yang paling berpengaruh dalam penentuan bebagai kebijakan penting Gedung putih. Selesai muhadloroh, sayapun mendekati beliau, "Maaf, Ustadz ! kalau anda mengatakan bahwa Fukuyama paling berpengaruh di Gedung Putih, bagaimana dengan peran Bernard Lewis dalam Gedung Putih sendiri?", beliaupun menjawab "Bernard Lewis lebih berpengaruh daripada Fukuyama". Meski Bernard Lewis lebih berpengaruh, bukan berarti pemikiran Fukuyama layak di tepikan, karna keduanya mempunyai andil tak terbantahkan dalam berbagai kebijakan politik luar negeri AS.

Berbicara tentang Fukuyama, ada salah satu bukunya yang sangat menarik perhatian saya adalah "State Building". Saya belum pernah membacanya langsung, sih. Tapi saya sudah sedikit banyak membaca resensi atau ulasan tentang buku itu. Inti dari buku itu adalah gagasan pembangunan negara. Yang sesekali dia hubungkan dengan kebijakan luar negri AS.

AS memang dikenal sebagai negara yang terobsesi membentuk negara di luar negaranya. Yang tujuannya sangat jelas, menularkan konsep negara demokrasi liberal yang telah berhasil diterapkan di Amerika. Nah, dalam usaha membentuk negara itu, ada yang telah berhasil, ada juga yang setengah berhasil, dan total. Yang berhasil contohnya seperti Jepang. Yang gagal total contohnya adalah Somalia.

Buku "State Building" ini menjelaskan kerangka utama dalam proyek pembangunan sebuah negara. Dua istilah yang dipakai oleh Fukuyama adalah Scope (cakupan) dan Strenght (kekuatan). Menurutnya, pembangunan sebuah negara bisa berhasil apabila negara tersebut lebih mengutamakan strenght (kekuatan), daripada scope (cakupan). Artinya, negara akan berhasil apabila hanya sebagai regulator (pengatur) unsur negara yang penting , tanpa banyak terobsesi mengatur berbagai hal yang tidak perlu. Dengan kata lain suatu bentukan negara akan berhasil jika lebih mengutamakan hal-hal yang dapat memperkuat negaranya. Contoh yang paling kelihatan adalah birokrasi keamanan negara. Kalau negara memikirkan terlalu banyak scope, maka akan mengakibatkan adanya chaos dalam negara tersebut. Seperti negara-negara yang berideologi komunis, yang menerapkan teori : "milikku milikmu, milikmu milikku". Akhirnya semua hal diurusi, yang berakibat fatal pada keruntuhan negara tersebut.

Teori "Scope and Strenght" ala Fukuyama menurut saya kalau diperpanjang lagi akan mengarah pada legalitas konsep negara sekuler, kalau dalam bahasa christiannya kita jumpai ungkapan Yesus versi Kristen yang mengatakan : Berikan pada Kaisar apa yang menjadi hak miliknya. Dan tentu saja hal ini konsep ini menjadi pukulan telak bagi konsep pembentukan negara syari'at Islam.

Maaf kalau saya sampai menyeret pada pembahasan model negara yang ideal, yang jelas secara pribadi, saya kurang bisa menerima ide pembentukan "kembali" kekhalifahan. Karna nanti akan mengarah pada sosok pemimpin mana yang pas untuk memimpinnya. Kalau seumpama khalifahnya selevel Umar bin Khattab, dengan senanghati saya akan langsung mendukung ide kekhalifahan. Tapi, adakah sosok Umar bin Khotthob, atau paling tidak semisal Saladin saat ini..?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun