Sekitar seminggu yang lalu, saat mengisi muthola'ah untuk persiapan Evaluasi Monitoring hari ini nanti, saya sempat menanyakan salah satu tarkib teks kitab Taqrib yang berbunyi : لَمسُ الرجل المرأةَ (lamsur Rojulu Almar'ata). Lantas saya bertanya, mengapa lafadz المرأةَ dibaca I'rob Nashob ? Merekapun menjawab sesuai dgn Qoidah yang mereka pelajari. Bahwa Isim yang berupa Mashdar, ataupun Isim Fail dan Maf'ul, bisa beramal seperti Fi'il. Kemudian merekapun membacakan Qoidah Nahwiyahnya.
Bab ini mengingatkan saya pada sebuah peristiwa yang sangat mirip, hanya saja terjadinya ratusan tahun yang lalu. Di Masa Dinasti Abbasiyah. Tepatnya pada masa Khalifah ke-9, yaitu Al-Watsiq Billah. Tercatat dalam sejarah, Bahwa keilmuan Islam pertama kali mencuat di Era Harun Ar-Rasyid. Kemudian berkembang pada puncaknya di masa putranya, yaitu Al-Makmun, dan tetap berkembang di masa 2 Khalifah selanjutnya. Namun di sisi lain, Sejarah juga mencatat, banyak darah Ulama yang tercecer pada ke-3 masa selanjutnya pasca Era Harun Ar-Rasyid.
Nah, pada masa AlWatsiq ini, diceritakan datanglah seorang perempuan, yang menyanyikan sebuah syair yang berbunyi :
#
أظلوم إنّ مصابكم رجلا # أهدى السّلام تحيّة ظلم
(a Dzolumun Inna Mushobakum Rojulan #
Mendengar hal tsb, Salah seorang penyair Istana mengkritik, bahwa kata yang disebutkan itu keliru. Seharusnya kata رجلا bukan dibaca Nashab (Fathah), Tapi Rofa (Dlommah)', karena menjadi Khobar Inna sebelumnya. Perempuan tadipun mengelak dan keukeuh pada syair yang ia baca bahwa kata tsb dibaca Nashab. Karena dinashabkan oleh kalimat sblmnya, yang bisa beramal seperti Fi'il sehingga menashabkan kata setelahnya. Dan apa yg telah ia jelaskan tsb sesuai dengan penjelasan pakar Nahwu bermadzhab Bashrah yang bernam Abu Utsman Al-Mazini.
Raja yang mendengar perdebatan antara si perempuan dan Ahli Nahwu itupun menjadi tertarik. Dan menyuruh para pengawalnya mencari sosok Ahli Nahwu yg dimaksud. Maka datanglah Al-Mazini dan membenarkan perkataan perempuan tsb. Dengan Alasan sama yang mirip dengan jawaban santriwati Waha saat saya bertanya pada mereka ttg kedudukan tarkib sebuah kata pada kisah pembuka di awal tadi. Di akhir cerita, sang Khalifah pun memberi hadiah pada Ulama tsb, sebagai reward atas keilmuan Nahwu yang dimiliki. Dan gubahan syair yang dilantunkan sang pakar Nahwu untuk Khalifah Al-Watsiq.
Dari kisah Perempuan dan AlMazini yang memiliki nama lengkap Bakr bin Muhammad al-Mazini di atas, apakah yang bisa diambil hikmahnya...? :
1. Perempuan cerdas yang berani speak Up di hadapan Raja ttg Nilai ajaran normatif. Bahwa kedzoliman tidak bisa dibenarkan, padahal perempuan tsb adalah seorang Budak. Tapi ia berani speak Up ttg sebuah kebenaran. Karena nilai kebenaran tidak bergantung pada strata Sosial.
2. Perempuan tsb juga berani menyanggah kritikan berdasar ilmu pengetahuan yg ia ketahui, dan bersanad. Ada gurunya, Tidak sekedar katanya. Atau sekedar mengcopas info tanpa menelusuri kebenaran info yang ia terima.
3. Kejadian tsb memberikan pengetahuan baru untuk Sang Raja dan Penyair sekaligus pakar Nahwu Istana.
4. Sebuah penghormatan Raja atas ilmu yang dimiliki oleh pakar Nahwu dengan memberikan reward berupa nilai materialis sebagai wujud penghargaan ilmu baru yang didapat oleh Raja.
Dari ke-4 point' di atas. 2 point' pertama itu sangat relevan untuk saat ini. Dimana perempuan jarang sekali yang berani speak up, padahal kalaupun mereka speak-up sebenarnya pasti akan memberi Faidah. Dengan syarat bersanad tentunya.
Seperti yang marak saat ini, betapa dunia telah bertransformasi begitu cepat, banyak kalangan-kalangan Pesantren saat ini yang berani speak up di Media sosial sebagai Media Dakwah. Untuk mengimbangi kemajuan teknologi di Era Virtual yang melesat. Karena jika tidak, maka pasti akan segera tergerus oleh Zaman.Maka, itulah mengapa pentingnya memberi Wawasan kepada santriwati di Pesantren tentang pentingnya aktiv di Media Sosial dengan platform dakwah. Memberi nilai positif di lingkungan sekitar Diniati Syiar Agama. Tidak perlu malu dengan identitas santri yang dimiliki. Tidak perlu insecure dgn status perempuan yang biasanya dicap hanya tau dapur dan Kasur.
Pemikiran yang menyatakan bahwa wanita hanya tau dapur dan kasur, sama sekali tidak tepat, karena Fakta Sejarah menyebutkan bahwa Islam sama sekali tidak menghalangi peran maksimal wanita dalam segala bidang. Sebut saja, Sayyidah Nafisah, seorang Ulama perempuan yang menjadi Guru Imam Asy-syafi'i. Adalagi Zubaidah binti Ja'far AlManshur, tokoh wanita di balik kemajuan peradaban Islam di masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid. Dan masih banyak lagi contoh Tokoh perempuan lain.
Jadi jelas Islam sama sekali tidak bias Gender terhadap wanita. Jadi kata siapa Islam membatasi atau bahkan menghalangi peran wanita..?! Big No !
Tulisan ini akan saya tutup dengan postingan status neng Ririn, yang saya gubah dgn memberi sedikit tambahan kalimatnya :
Identitas santri, -apalagi seorang perempuan-, bukanlah menjadi penghalang untuk menjadi santri berprestasi. Setiap santri berpeluang menjadi orang besar dalam segala bidang, apapun itu, yang tetap dalam ranah positif, tanpa menanggalkan Jiwa kesantriannya. Bravo Santri !