Akad dalam perbankan syariah merupakan pondasi bagi setiap transaksi keuangan yang sesuai dengan ajaran Islam. Secara umum, akad dibagi menjadi dua kategori utama: akad sosial (tabarru) dan akad komersial (tijarah).
Akad tabarru merupakan perjanjian yang bertujuan untuk melakukan kebaikan dengan mengharapkan balasan semata dari Allah SWT, tanpa niatan untuk meraih keuntungan komersial. Dengan demikian, jika akad tabarru diubah dengan tujuan mencari keuntungan, maka ia tidak lagi dapat disebut sebagai akad tabarru, tetapi beralih menjadi akad tijarah. Apabila seseorang ingin mempertahankan akad tersebut sebagai tabarru, maka ia tidak diperkenankan mengambil manfaat atau keuntungan komersial dari perjanjian itu. Namun, ia tidak terbebani untuk menanggung biaya yang muncul dari pelaksanaan akad tabarru; sebagai contoh, ia dapat meminta penggantian biaya yang dikeluarkan selama proses tersebut.
Sebuah ungkapan, "memerah susu kambing sekadar untuk biaya memelihara kambingnya," yang diambil dari hadis, menjelaskan maksud dari akad rahn, salah satu jenis akad tabarru. Transaksi semacam ini pada dasarnya bukan untuk mencari keuntungan finansial, tetapi lebih menekankan pada semangat saling membantu dalam kebaikan, atau yang dikenal dengan istilah ta'awanu alal birri wattaqwa. Dalam konteks ini, pihak yang berbuat kebaikan (dalam hal ini, bank) tidak mensyaratkan keuntungan dalam akad ini. Meskipun demikian, bank diperkenankan untuk meminta biaya administrasi guna menutupi pengeluaran kepada nasabah, tanpa mengambil laba dari akad tersebut. Alhasil, akad tabarru tersebut merupakan akad yang diarahkan untuk mengumpulkan pahala di akhirat, dan oleh karena itu, tidak dapat digunakan untuk tujuan-tujuan komersial.
Bank syariah, sebagai lembaga keuangan yang berfungsi untuk meraih laba, tidak dapat mengandalkan akad tabarru dalam strategi profitabilitasnya. Jika tujuan utama kita adalah memperoleh laba, sebaiknya kita memilih akad-akad yang bersifat komersial, yaitu akad tijarah. Meski demikian, bukan berarti akad tabarru sepenuhnya terpisah dari kegiatan komersial. Dalam praktiknya, penggunaan akad tabarru sering kali sangat penting dalam transaksi komersial, karena dapat digunakan untuk memfasilitasi atau memperlancar akad tijarah.
Berikut adalah beberapa jenis akad yang termasuk dalam kategori sosial (tabarru), yang bertujuan untuk saling menolong dan diharapkan mendapat ridho Allah SWT:
1. Meminjamkan Uang
2. Meminjamkan Jasa
3. Memberikan Suatu Barang
Di antara akad yang masuk ke dalam kategori sosial adalah:
- Pinjaman (Qardh): Al-Qardh merupakan pemberian harta kepada orang lain yang kemudian dapat diminta kembali, atau dengan kata lain, meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan.
Mengacu pada Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) nomor 19/DSN-MUI/IV/2001 mengenai Al-Qardh, dinyatakan bahwa "Nasabah al-Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) secara sukarela kepada LKS (Lembaga Keuangan Syariah) selama tidak diperjanjikan dalam akad. " Al-Qardh sebagai produk pembiayaan ini ditujukan untuk usaha super mikro yang tidak memiliki modal, meskipun pemilik usaha tersebut memiliki potensi dan kemampuan finansial yang baik. Meskipun demikian, al-Qardh tidak menjamin keuntungan bagi LKS. Praktik al-Qardh di LKS umumnya digunakan untuk kebutuhan mendesak dengan sifat ta'awun (sosial), baik itu untuk keperluan konsumtif maupun produktif.
B. Titipan (Wadiah)
Wadiah adalah akad yang berkaitan dengan penitipan barang atau uang antara pihak yang memiliki barang dan pihak yang dipercaya untuk menyimpannya. Tujuan dari akad ini adalah untuk menjaga keselamatan, keamanan, dan keutuhan barang atau uang yang dititipkan. Dalam bank syariah, tabungan berdasarkan akad wadiah ditujukan khusus untuk menyimpan dana. Wadiah terbagi menjadi dua jenis:
1. Wadiah Yad Dhamanah - di mana penerima titipan dapat memanfaatkan barang titipan dengan izin pemiliknya dan bertanggung jawab untuk mengembalikannya dalam kondisi utuh kapan pun pemilik menginginkannya.
2. Wadiah Yad Amanah - di mana penerima titipan tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang titipan, kecuali jika disebabkan oleh kelalaian atau kecerobohan dalam pemeliharaan barang tersebut.
C. Wakaf