Mohon tunggu...
Naila Rifa Imani
Naila Rifa Imani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Memiliki hobi membaca Novel dan bercita-cita jadi novelis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menjaga Lisan dalam Cerpen Rumah yang Terang

21 Desember 2023   18:52 Diperbarui: 21 Desember 2023   19:11 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ahmad Tohari adalah salah satu sastrawan berkebangsaan Indonesia. Ia adalah penulis karya sastra novel,cerpen,maupun puisi. Ia lahir pada tanggal 13 Juni 1948. Karya Ahmad Tohari memiliki ciri khas dengan dengan membawa tema mengenai kehidupan masyarakat di pedesaan, mengisahkan permasalahan sederhana tetapi penuh dengan ironi. Dalam gaya penulisan karyanya memiliki ciri khas yaitu selalu meninggalkan kesan bagi para pembacanya. Salah satu karya monumentalnya adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk yang sudah diterbitkan pada tahun 1982. Novel tersebut telah diterbitkan dalam berbagai bahasa dan diangkat dalam film layar lebar berjudul Sang Penari.

 

Cerpen merupakan singkatan dari cerita pendek, cerpen adalah jenis karya sastra fiksi prosa yang di dalamnya hanya berfokus pada satu konflik permasalahan yang dialami oleh tokoh dan penggambaran permasalahannya tidak mendetail hanya garis besarnya saja. Pada penulisan cerpen bisa saja terinpirasi dari pengalaman penulisnya atau orang lain pada kegiatan sehari-hari maka dari itu, dalam cerpen biasanya meninggalkan pesan atau kesan tertentu untuk pembacanya. Menurut KBBI cerpen merupakan cerita pendek yang berisi tidak lebih dari 10 ribu kata. Cerpen Rumah Yang Terang merupakan salah satu hasil karya fiksi yang ditulis oleh Ahmad Tohari dalam buku kumpulan cerpen Senyum Karyamin. Buku ini diterbitkan pada tahun 2013 oleh PT Gramedia Pustaka utama dengan jumlah halaman sebanyak 71 halaman. Cerpen ini memperlihatkan peristiwa masuknya listrik ke suatu kampung di desa yang berdampak kepada masyarakat desa baik positif maupun negatif.

 

Pada cerpen ini diceritakan peristiwa masuknya aliran listrik di salah satu kampung, masyarakat kampung seperti mendapat bantuan tenaga baru untuk kehidupan mereka. Listrik ini memberi kampung mereka cahaya lampu, lalu suara musik radio, kulkas, hingga kompor dan kipas angin. Namun adanya listrik ini membuat bulan tidak menarik hati anak-anak disana. Tetapi masyarakat kampung tidak merasa kehilangan bulan. Sebuah tiang lampu dan tiang listrik tertancap di depan rumah karakter aku  dan ayahnya yang bernama Haji Bakir tersebut malah menjadi celotehan para tetangga di belakang rumah mereka. Alasan tetangga mereka berceloteh dikarenakan para tetangga mereka ingin menggunakan listrik namun keinginan mereka tidak dapat terlaksanakan karena rumah mereka terlalu jauh dari tiang listrik. Sehingga mereka memerlukan dudukan kabel (dakstang) yang hanya bisa terpasang di atap rumah(bubungan) karakter aku dan hal yang membuat jengkel para tetangga akan sang ayah karakter aku ini atau Haji Bakir yaitu tidak mau memasang listrik.

Orang-orang di kampung tersebut gemar sekali bergosip salah satunya terdapat perkataan negatif yang di lontarkan oleh orang-orang di kampung tersebut kepada Haji Bakir dengan mengubah nama Haji Bakir menjadi Haji Bakhil yang berarti bahwa Haji Bakir ini sangat pelit dan kikir. Hingga terdapat perkataan negatif yang tidak enak di dengar dengan mengatakan bahwa Haji Bakir memelihara tuyul sehingga orang berasumsi bahwa Haji Bakir tidak mau menggunakan listrik dikarenakan tuyul tidak menyukai cahaya yang terang.

Banyak celotehan sedemikian tajam yang di lontarkan tidak membuat Haji Bakir menjadi berubah pikiran untuk menggunakan listrik. Walaupun sang anak bisa saja membeli barang seperti televisi,radio,dan barang elektronik lainnya namun seperti percuma dikarenakan ia akan kerepotan untuk membeli baterai dan nyetrum aki. Dibalik kerepotannya itu sang karakter aku ini tetap rela untuk membeli baterai dan nyetrum aki. pada cerpen ini sang karakter aku pernah membujuk sang ayah atau Haji Bakir ini untuk mencoba memasang listrik dan soal biaya akan ditanggung oleh dirinya.  Hal  itu malah membuat sang Haji Bakir tersinggung dengan mengatakan bahwa sang karakter aku ini sama saja seperti orang di kampung ini. Namun setelah itu Haji Bakir pun memberi tahu mengenai alasan sebenarnya.

Setelah mendengar alasan sebenarnya Haji Bakir enggan memasang listrik pun itulah yang membuat sang karakter aku menyesal dan rela untuk selalu membeli baterai dan nyetrum aki. Pada cerpen ini diceritakan bahwa sang Haji Bakir mengidap penyakit serius yang mengharuskan dirinya diopname. Hal itu membuat sang karakter aku khawatir akan kondisi sang ayah dengan berceletuk bahwa jika sang ayah khawatir akan nantinya rumah sakit menggunakan lampu listrik maka sang karakter aku ini akan mengusahakan menggunakan lilin. Melihat reaksi yang diberikan Haji Bakir kepada sang anak membuat sang anak sangat menyesal telah berkata seperti itu dikarenakan percakapan tersebut merupakan detik-detik terakhir Haji Bakir sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.

Tepat seratus hari pun berlalu setelah kematian Haji Bakir. Orang-orang di kampung ini bertahlil termasuk tetangga belakang rumah mereka yang berkata kepada sang karakter aku bahwa menggunakan listrik jauh lebih enak. Namun hal itu membuat kesabaran sang karakter aku habis sehingga mengatakan kepada tetangganya alasan sebenarnya bahwa sang ayah tidak mau memasang listrik itu akan mengundang keborosan cahaya dan dengan pemborosan cahaya semasa hidupnya tersebut sang ayah khawatir akan tidak adanya cahaya nanti ketika di alam kubur. Mendengar hal itu membuat semua orang yang bertahlil terdiam menunduk seraya memanjatkan doa.

Pada cerpen ini terdapat pesan dan dampak mengenai adanya listrik tidak hanya mengarah kepada kemudahan orang-orang dalam beraktivitas namun membuat beberapa orang menjadi tidak memiliki perasaan dengan menyudutkan satu orang yang tidak ingin menggunakan listrik dengan omongan negatif seperti salah satu kutipan dialog pada cerpen tersebut yang mengatakan "Haji Bakir itu seharusnya berganti nama menjadi Haji Bakhil. Dia kaya tetapi tak mau pasang listrik. Tentu saja ia khawatir akan keluar banyak duit" pada kutipan dialog tersebut seolah menggambarkan bahwa sang Haji Bakir memiliki sifat pelit dan kikir walaupun pada kenyataannya belum tentu membuktikan bahwa  Haji Bakir ini memiliki sifat tersebut . Amanat yang terdapat pada cerpen ini bahwa kita tidak boleh berprasangka yang tidak baik tanpa mengetahui alasan dibaliknya dan kita tidak boleh berkata buruk kepada orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun