Sebagai generasi muda, hal yang paling sering saya takutkan adalah masa depan. Baru di tahun pertama kuliah saja isu yang sedang gencar hampir semuanya membuat pesimis mengenai masa depan. Kenaikan UKT, pengadaan Tapera, isu kenaikan iuran BPJS, RUU Penyiaran, pembabatan hutan habis-habisan di Papua, isu bagi-bagi izin tambang oleh ormas, dan pemerintah yang sibuk menyelesaikan masalah tanpa mencabut akar masalah cukup menjadi alasan mengapa saya tidak bisa memandang masa depan, terutama di Indonesia, tanpa menghela napas suram. Belakangan, sadar atau tidak sadar, harga-harga barang naik dalam jangkauan yang cukup mengganggu. Kue pukis langganan saya, yang semula dijual dengan harga Rp. 2000 kini naik menjadi Rp. 2.500. Terlihat sepele memang, tetapi akan terasa mengganggu bila hal yang sama turut terjadi pada barang-barang lainnya. Kenaikan harga yang terlihat sedikit akan menguras dompet jika semua barang dari semua sektor juga mengalami kenaikan harga. Padahal, seharusnya kenaikan harga barang diimbangi dengan kenaikan pendapatan. Namun, lagi-lagi yang terjadi tidak seperti itu. Sementara harga barang dan kebutuhan naik, pendapatan masyarakat kita tetap sama, jumlah pengangguran masih terus meningkat, dan jumlah warga yang terjerat pinjaman online (pinjol) dan judi online (judol) masih terus-terusan berada di angka fantastis. Tingkat kriminalitas bertambah seiring dengan banyaknya krisis sosial yang bermunculan tanpa adanya solusi yang konkrit dari pemerintah. Pemerintah misalnya, lebih gemar mengutuk istri yang membunuh suaminya akibat frustrasi dengan keadaan suaminya yang kecanduan judol daripada mencari cara untuk memberantas judol itu sendiri. Komentar-komentar seksis malah dilemparkan oleh pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kejadian tersebut.Â
Tidak ada alasan bagi saya untuk menatap masa depan dengan cerah apabila segala sesuatu di sekitar saya mengatakan sebaliknya. Indonesia, yang dengan ironisnya mendambakan Indonesia Emas 2045, entah bagaimana menemukan cara baginya untuk menghancurkan dirinya sendiri. Tidak hanya pemerintahnya yang malah mendorong Indonesia menuju Indonesia Gelap 2045, masyarakatnya sendiri pun masih rendah kesadarannya. Kesadaran akan pentingnya pendidikan, kesadaran akan pentingnya bersatu dalam mengadvokasi hak-hak yang terabaikan, kesadaran akan pentingnya politik dan lain sebagainya. Pemilihan presiden 2024 lalu misalnya. Banyak dari masyarakat yang memutuskan bahwa siapapun pemimpinnya, apapun kepentingan politik yang dibawanya, tidak akan mempengaruhi hidup mereka. Padahal, apatisme di saat dimana puncak pesta demokrasi digelar seharusnya bukanlah suatu pilihan. Di sisi lain, banyak juga masyarakat yang peduli terhadap situasi politik di Indonesia tetapi diadu domba oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Dengan kondisi iklim ekonomi, sosial dan politik saat ini sukar untuk tidak berpikir mengenai masa depan yang terlihat semakin suram. Jumlah pengangguran yang semakin bertambah tentu semakin mengkhawatirkan, terutama bagi mahasiswa yang memilih jurusan non-STEM seperti saya. Sebagai mahasiswa yang berkuliah di jurusan Hubungan Internasional, dimana jurusan ini bukanlah jurusan yang banyak menyediakan lapangan pekerjaan di masa mendatang, keterampilan lain selain bidang ilmu yang sedang saya pelajari saat ini tentunya sangat penting demi menyelamatkan diri dari gelombang pengangguran di kemudian hari. Kondisi ini tentunya tidak akan terjadi jika pemerintah mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup dan layak sehingga mahasiswa-mahasiswa Indonesia bisa berfokus pada studi yang dipilihnya tanpa perlu memikirkan apakah studinya akan menguntungkan secara finansial atau tidak di kemudian hari.Â
Baik masa depan kondisi sosial maupun masa depan kondisi politik di Indonesia, keduanya saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Kondisi sosial di Indonesia akan semakin memburuk jika pemerintah terus-terusan memberlakukan kebijakan yang merugikan masyarakat. Jumlah masyarakat miskin akan terus bertambah di kala masyarakat kelas menengah belum berhasil naik kelas menjadi masyarakat atas, pendidikan yang tidak terjangkau bagi masyarakat umum, pengangguran, maraknya judi dan pinjaman online, semua ini telah terjadi pada saat ini sebagai akibat dari iklim dan kebijakan politik yang buruk. Oleh karena itu, demi membenahi kondisi sosial Indonesia di masa depan, maka para pemangku kebijakan sudah seharusnya berbenah sejak saat in
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H