Mohon tunggu...
Naila Nur Fauziah
Naila Nur Fauziah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

UNAIR DENTAL '23

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemanfaatan Pajak Rokok dan Bea Cukai untuk Penambahan Pembiayaan Kesehatan Indonesia

25 Agustus 2023   22:59 Diperbarui: 25 Agustus 2023   23:01 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pemanfaatan Pajak Rokok dan Bea Cukai untuk Penambahan Pembiayaan Kesehatan Indonesia

Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 225.700 orang meninggal akibat merokok atau penyakit terkait tembakau lainnya di Indonesia setiap tahun. Rokok juga memicu inflasi yang paling tinggi di ranah perkotaan dan perdesaan. Menurut data BPS, dampak inflasi konsumsi rokok di perdesaan dan perkotaan mencapai 10,7% per bulan. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa rokok juga merupakan salah satu komoditas penyumbang garis kemiskinan terbesar kedua setelah beras.

WHO menempatkan Indonesia sebagai pasar rokok tertinggi ketiga dunia setelah China dan India. Tingginya angka merokok di Indonesia di samping karena dipengaruhi faktor budaya berupa tradisi masyarakat untuk merokok dan juga karena tiga alasan utama yang lain. Ketiga alasan utama mengapa perokok makin banyak adalah iklan rokok yang banyak, mudah akses untuk membeli rokok dan harga rokok yang murah.

Tercatat bahwa rokok telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan negara dari bea cukai rokok. Perolehan APBN dari bea cukai rokok ditargetkan pada tahun 2018 sebesar 155,4 triliun lebih tinggi dan semakin naik dibandingkan pada tahun 2017 sebesar 147,9 triliun. Terkait anggaran kesehatan untuk menanggulangi dampak negatif merokok, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan menyebutkan bahwa pemerintah dan masyarakat mengeluarkan biaya kesehatan per tahun rata rata sebesar 596, 61 triliun rupiah atau setara dengan US$ 45,9 Miliyar. Angka ini tentu tidak sesuai dengan pendapatan yang diperoleh negara dari bea cukai hasil tembakau sebesar 149,7 triliun rupiah per tahun.

Penelitian lain menyimpulkan bahwa bea cukai yang dikeluarkan oleh pemerintah hanya memiliki sedikit pengaruh terhadap jumlah konsumsi rokok masyarakat Indonesia, sedangkan kebijakan area bebas asap rokok yang diterapkan oleh pemerintah tidak dapat memberikan pengaruh terhadap kuantitas orang merokok, namun hanya mengurangi frekuensi merokok sehingga di tempat kawasan boleh merokok mereka kembali untuk mengkonsumsi rokok dengan kuantitas yang lebih banyak. Selanjutnya kebijakan pemerintah pada pesan bergambar dan iklan bergambar pada rokok sebagai bentuk tanggungjawab sosial pabrik rokok juga tidak memberikan pengaruh terhadap konsumsi rokok di Indonesia.

Dalam praktiknya untuk menerapkan aturan-aturan pemerintah pusat secara jelas juga mengalami dilema, antara memilih kesehatan atau ekonomi sehingga peraturan tersebut terkesan setengah hati dalam pelaksanaannya. Dari kenyataan yang dilihat sehari-hari, tujuan pajak justru menunjukkan hal yang berkebalikan, diantaranya bea cukai mengalami kendala terhadap banyaknya rokok ilegal yang beredar sehingga masyarakat akan lebih mengkonsumsi produk rokok ilegal yang lebih murah; bea cukai yang dikeluarkan oleh pemerintah hanya memiliki sedikit pengaruh terhadap jumlah konsumsi rokok masyarakat Indonesia; kebijakan area bebas asap rokok yang diterapkan oleh pemerintah tidak dapat memberikan pengaruh terhadap kuantitas orang merokok; kebijakan pemerintah pada pesan bergambar dan iklan bergambar pada rokok tidak memberikan pengaruh terhadap konsumsi rokok di Indonesia serta sudah lama beredar isu bahwa harga rokok akan naik tiga kali lipat dari harga biasanya, namun sampai sekarang hal itu masih belum menjadi kebijakan.

Ada baiknya regulasi dan program dibuat lebih baik lagi untuk memberantas kemiskinan dengan meminimalisir perokok di Indonesia. Pajak rokok tidak akan menguntungkan Indonesia dalam bidang budgeter karena akan terus memicu orang untuk merokok dengan banyaknya iklan rokok yang ada di televisi sehingga kemiskinan tidak terberantas. Pajak rokok pun tidak menguntungkan di fungsi reguler karena optimalisasi pelayanan pemerintah daerah dalam menjaga kesehatan masyarakat tidak akan memberikan pengaruh jika perokok di Indonesia masih belum bisa berkurang jumlahnya. Oleh karena itu, siklus ini akan terus berputar dimana perokok akan menyumbang tingkat mortalitas dan kemiskinan terbesar sementara pelayanan kesehatan tidak akan maju karena harus mengalokasikan dananya untuk pelayanan kesehatan terutama untuk perokok yang jumlahnya akan terus bertambah. Penerapan Pajak Rokok tidak akan melindungi masyarakat terhadap bahaya rokok yang ada kecuali regulasi tersebut dibuat beberapa tingkat lebih tinggi dan ditegakkan.

Referensi :

Almizi, M., & Hermawati, I. (2018). Upaya Pengentasan Kemiskinan dengan Mengurangi Konsumsi Rokok di Indonesia. Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial, 17(3), 239--256.

Susiani, Dina. (2018). Fungsi Reguler Pajak Rokok Di Bidang Kesehatan Masyarakat dan Penegakan Hukum. Jurnal Fishum, 1 (2). pp. 23-34

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun