Mohon tunggu...
Naila Khoirotunnisa_212111164
Naila Khoirotunnisa_212111164 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta

Suka kucing dan musik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sosiologi Hukum: Analisis Efektivitas Hukum yang Berkembang dalam Masyarakat

11 Desember 2022   16:23 Diperbarui: 11 Desember 2022   16:25 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sosiologi hukum adalah salah satu cabang ilmu hukum. Sosiologi hukum merupakan ilmu yang mempelajari tentang hubungan timbal-balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial dalam masyarakat. Aliran sosiologi hukum berpandangan bahwa hukum itu tidaklah diciptakan tetapi hukum itu ditemukan dan berkembang di dalam masyarakat dari jaman dahulu hingga sekarang.

Pengaturan tingkah laku manusia merupakan salah satu tujuan hukum, baik sebagai norma maupun sebagai sikap atau tingkah laku. Masalah pengaruh hukum meliputi akibat serta perkembangan penghormatan atau kesesuaian dengan hukum. Efektivitas hukum adalah bahwa orang benar-benar mengikuti aturan hukum sebagaimana mestinya, bahwa aturan itu benar-benar dipraktikkan dan dijunjung tinggi. Efektivitas memiliki arti pencapaian terhadap tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas selalu merujuk kepada hasil yang dicapai dengan hasil yang diharapkan.. Efektivitas penegakan hukum dan efektivitas hukum sangat erat kaitannya. Apabila masyarakat taat terhadap aturan atau tata tertib, tunduk serta patuh sepenuhnya kepada hukum yang dibelakukan maka dapat dikatakan bahwa hukum yang ada tersebut efektif.

Pertanyaannya adalah, apa saja syarat-syarat yang mempengaruhi hukum itu efektif? Adapun syarat-syarat atau faktor yang mempengaruhi keefektifan hukum yang berkembang dalam masyarakat yang pertama, faktor hukum itu sendiri. Dalam hal ini hukum dituntut untuk memberikan rasa keadilan serta kepastian hukum terhadap masyarakat. Kedua, faktor penegak hukum. Penegak hukum memiliki peranan yang penting, mereka tidak boleh sesuka hati dalam menjalankan tugasnya. Penegak hukum diwajibkan memiliki intergritas, patuh terhadap kode etik serta profesional. Para penegak hukum dalam memberi keputuan harus memperhatikan dan mempertimbangkan nilai moral dan nilai kemanusiaan. Ketiga, faktor sarana prasarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Jika sarana dan fasilitas terhadap penegak hukum terpenuhi dan memadai maka diharapkan akan mempermudah tujuan yang ingin dicapai. Keempat, faktor masyarakat. Masyarakat yang paham dan sadar akan pentingnya hukum dengan mematuhi aturan atau norma yang berlaku serta dampak yang akan diterima jika hukum itu dilanggar maka semakin besar untuk mencapai keefektifan hukum. Kelima, faktor kebudayaan. Faktor ini didasarkan pada budaya, adat dan tradisi beraneka ragam yang mempengaruhi pergaulan hidup masyarakat.

Contoh pendekatan sosiologi dalam studi Hukum Ekonomi Syariah yaitu hutang piutang emas. Jika seseorang berhutang emas maka pengembalian hutangnya juga harus berbentuk emas. Namun muncul permasalahan mengenai pengembalian pinjaman utang yang harus bertambah karena harga emas bisa naik kapan saja. Kegiatan hutang piutang emas boleh dilakukan apabila sesuai dengan syariat Islam, pengembalian hutang harus bernilai sama dan menyesuaikan harga dengan utang yang dipinjam. Dengan ini, si peminjam  tidak perlu menambah pengembalian utang dan tidak perlu mempermasalahkan naik turunnya harga emas di pasaran.

Gagasan progressive law atau bisa disebut dengan hukum progresif muncul karena adanya krisis, keterpurukan dan rasa ketidakpuasan terhadap penegakan hukum yang diberlakukan. Penggagas teori hukum progresif ini adalah Prof. Satjipto Rahardjo yang lahir di Banyumas Jawa Tengah tanggal 15 Desember 1930 dan wafat pada 8 Januari 2010. Sebagai pakar ilmu hukum beliau berpendapat bahwa hukum yang semestinya adalah hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Hukum progresif menitikberatkan kepada keadilan. Beliau menyampaikan bahwa hukum progresif membebaskan pemikiran atau tindakan dalam hukum sehinga hukum itu mengalir untuk menyelasaikan tugasnya untuk manusia.

Konsep hukum progresif tidak melihat hukum itu sendiri melainkan hukum untuk kepentingan diluar hukum, yaitu apa yang menjadi tujuan sosial yang dicapai dan apa pengaruh timbal balik dengan adanya hukum. Prof. Satjipto Rahardjo menolak dengan tegas 2 aliran yaitu analitical jurisprudence dan rechtsdogmatiek yang jauh dari realitas karena lebih mementingkan bangunan dan aturan hukum serta mempertahankan status quo daripada memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum progresif memiliki kedekatan/kemiripan dengan sociology jurisprudence oleh Roscue Pound.  Agar hukum progresif dapat dijalankan, hukum diharapkan dapat merambah ke arah non formal dan tidak hanya merujuk kepada hukum positif dan UU.

Hukum progresif memberikan perhatian khusus terhadap peran tingkah laku manusia dalam berhukum, untuk menumbuhkan kesadaran terhadap hukum maka perlu adanya pengembangan pendidikan hukum dalam masyarakat. Untuk meningkatkan kulaitas hukum di Indonesia perlu diperbaiki dari hukumnya itu sendiri, penegak hukum, serta pendidikan hukum. Hukum progresif memiliki tujuan jika hukum digunakan untuk kepentingan bersama yaitu masyarakat daripada kepentingan pribadi. Hukum progresif mampu mengimbagi perubahan sosial dan  kondisi masyarakat. Hukum progresif lahir untuk menghadapi kegagalan dalam menyelesaikan permasalahan dalam negara. Dengan meninggalkan status quo, hukum progresif lebih aktif membantu masyarakat untuk mencari kebenaran dan keadilan yang sebenarnya serta mengembalikan fitrah bahwa hukum itu ada untuk manusia.

Hukum sebagai sosial kontrol (social control) maka maksud hukum disini merupakan salah satu alat pengendali sosial. Ciri normatif kehidupan sosial adalah memiliki kontrol sosial. Fungsi hukum sebagai alat kontrol sosial menyiratkan bahwa ia mengontrol, mengaturdan menetapkan bagaimana seseorang berperilaku.  Apabila seseorang melakukan perbuatan yang menyimpang maka sebagai konsekuensinya, undang-undang dapat menentukan dan menjatuhkan hukuman (sanksi) atau mengambil tindakan lain terhadap pelanggar. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mencapai keadaan yang damai dan tentram, hukum memerintahkan setiap orang untuk bertindak secara moral dan sesuai dengan hukum. Hukum bersifat memaksa, siapa saja harus tunduk dibawahnya dan hukum bisa berbentuk peraturan tertulis maupun tidak tertulis.

Socio-legal merupakan salah satu persilangan antara ilmu hukum dengan ilmu lain yang mengkaji tentang kemasyarakatan. Studi ini dibutuhkan untuk menggali persoalan hukum secara mendalam dengan teori sehingga mendapatkan hasil  yang lebih jelas. Dalam prakteknya sendiri, studi ini sangat dibutuhkan untuk memahami bagaimana hukum bekerja dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Namun studi socio-legal tidak sama dengan sosiologi atau ilmu sosial. Studi hukum merupakan konsep dari studi socio-legal yang pendekatannya menggunakan metodologi ilmu sosial dan cakupannya lebih luas. Studi socio-legal merupakan suatu cara alternatif untuk menguji hukum dengan studi doktrinal. Makna "socio" dari kata socio-legal merujuk kepada hubungan antar konteks hukum itu berada. Teori sosial sering dijadikan sebagai tujuan analisis peneliti socio-legal untuk memberikan consent terhadap sosiologi atau ilmu sosial lain, tetapi pada hukum dan studi hukum. Metode studi socio-legal dapat dibagi menjadi 2 cara yaitu studi socio-legal dengan cara tekstual, pasal-pasal dalam UU, serta kebijakan yang harus dianalisis dengan kritis serta menjelaskan maksud didalamnya kemudian apa dampaknya terhadap hukum. Selanjutnya, studi sosio-legal dengan menciptakan metode baru antara metode hukum dengan ilmu sosial.

Pluralisme hukum atau legal pluralisme merupakan keberagaman hukum atau aturan yang berada di lingkungan sosial (masyarakat). Pluralisme hukum lahir sebagai bentuk protes terhadap sentralisme hukum dan positivisme hukum yang diterapkan di masyarakat. Menurut sentralisme hukum, hukum adalah "hukum negara" berlaku sama untuk setiap orang di bawah yurisdiksi negara. Akibatnya, hanya ada satu undang-undang yang mengatur khususnya hukum negara. Hanya organisasi negara dengan mandat yang ditentukan yang dapat membuat hukum. Meskipun ada undang-undang, di sisi lain, sentralisme hukum menempatkan hukum negara di atas aturan hukum lainnya, seperti hukum adat, hukum agama, dan adat istiadat. Asas-asas hukum lainnya dianggap memiliki kekuatan mengikat yang lebih lemah dan harus tunduk pada hukum negara. Dengan landasan hukum pluralisme, gerakan perubahan hukum di Indonesia telah berlangsung lama. Salah satunya adalah pengakuan konstitusi terhadap hak-hak hukum dan hak-hak lain masyarakat adat. Pluralisme ada dalam masyarakat Indonesia. Namun demikian, tidak berarti bahwa penyelesaian persoalan hukum Indonesia terletak pada keberagaman hukum. Jelas bahwa pluralisme hukum mendukung prinsip-prinsip tersebut dan telah menjadi bahaya bagi demokrasi Indonesia. Suatu aturan sudah dianggap sebagai hukum selama itu didirikan dan ditegakkan di lokasi tertentu. Tidak masalah jika aturan dibuat untuk mempertahankan dominasi proses atau untuk meminggirkan kelompok tertentu. Intinya, semua nilai, bahkan yang negatif,dapat berkembang dan maju berkat keragaman hukum. Contohnya adalah Qanun di Aceh atau Perda Injil di Manokwari dipandang sebagai implementasi pluralisme hukum. Sekali lagi ditunjukkan di sini, pluralisme dalam hukum pada dasarnya mengabaikan apakah undang-undang tersebut secara substantif adil bagi semua orang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun