Mohon tunggu...
Nailah Shofiyah
Nailah Shofiyah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Gangguan Satwa Taman Nasional Gunung Ciremai terhadap Lahan Pertanian Masyarakat Sekitar

24 Mei 2024   13:00 Diperbarui: 24 Mei 2024   13:14 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman, baik itu keanekaragaman hayati maupun non hayati. Salah satu keanekaragaman hayati tersebut ialah satwa liar. Satwa liar memainkan banyak peran penting dalam ekosistem alam, seperti menjaga kelestarian hutan. Belakangan ini, keberadaan satwa liar semakin terganggu beriringan dengan perkembangan zaman yang diakibatkan oleh ulah manusia dan terus meningkat setiap tahunnya. Meningkatnya populasi manusia menyebabkan peningkatan terhadap kebutuhan tempat tinggal dan lahan pertanian. Hal tersebut sangat berdampak pada perluasan lahan dengan cara pembakaran hutan. Hutan yang merupakan habitat satwa dikonversi menjadi lahan untuk kebutuhan manusia seluas 1,3 juta. Selain itu, kepunahan satwa liar juga terjadi dikarenakan banyak manusia yang ingin memanfaatkannya dengan perburuan liar. 

Akibat dari ulah manusia yang melakukan penyempitan habitat dan perburuan liar, satwa liar kesulitan untuk mencari sumber makanan untuk bertahan hidup. Hal ini dapat menyebabkan satwa menjadi lebih liar dan berakhir adanya konflik dengan manusia. Konflik antara manusia dan satwa liar muncul akibat berbagai interaksi negatif baik langsung maupun tidak langsung antara manusia dan satwa liar. Satwa liar yang sering menyebabkan masalah dengan lahan manusia antara lain monyet ekor panjang, kera, buaya, gajah, harimau, beruang, dan babi. Hal ini dapat menyebabkan kekhawatiran masyarakat sekitar terhadap munculnya satwa-satwa liar yang mencari makanan di daerah pemukiman warga. Kehadiran satwa liar tersebut tidak hanya meresahkan warga sekitar, tapi juga merusak lahan pertanian mereka.

 Jika sulit mencari makan di habitat aslinya, mereka mencari makan di sekitar hutan atau di pemukiman masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, seperti yang terjadi di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan sebagai tempat penelitian ilmiah, pelestarian budaya, pariwisata, dan rekreasi. Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremei (TNGC) merupakan kawasan hutan yang sangat ideal sebagai habitat alami satwa. Keberadaan satwa yang hidup di kawasan hutan TNGC sangatlah penting. Karena, jika satwa liar itu punah secara lokal di kawasan TNGC, maka keseimbangan ekosistem kawasan hutan TNGC akan terganggu. Kepunahan lokal tersebut dapat menjadi ancaman besar bagi kelestarian kawasan tersebut. 

Berdasarkan laporan masyarakat, gangguan satwa liar di sekitar kawasan TNGC sudah terjadi sejak tahun 2011 dan puncaknya ketika banyak masyarakat yang melaporkan terkait lahan pertanian dan perkebunan milik mereka yang diserang oleh babi hutan (Sus scrofa) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) akhirnya berujung mengakibatkan gagal panen. Karena hal itu, ekonomi masyarakat yang berada di sekitar kawasan TNGC mengalami penurunan. Berdasarkan data yang ada, Secara umum, kerugian masyarakat akibat gangguan satwa liar berkisar antara 34% hingga 50% dari produksi tanaman, dengan padi komersial dan kacang tanah mengalami kerugian terbesar. 

Balai TNGC bertanggung jawab selaku pengelola kawasan Gunung Ciremai dan menanggapi dengan serius terkait aduan masyarakat sekitar mengenai konflik satwa liar dengan masyarakat sekitar Gunung Ciremai, terutama babi hutan dan monyet ekor panjang. Untuk upaya mengatasi konflik satwa liar dengan masyarakat sekitar, balai TNGC memikirkan pilihan resolusi konflik dengan mempertimbangkan langkah-langkah yang mengurangi risiko hilangnya nyawa manusia sekaligus memastikan perlindungan satwa liar yang terlibat dalam konflik. Metode perlindungan yang sudah dilakukan dalam penanggulangan konflik satwa liar dengan masyarakat adalah sebagai berikut: 

1. Penjagaan dan Penggiringan Satwa Liar ke dalam Habitatnya 

Penjagaan dilaksanakan di area sekitar kebun masyarakat yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Pelaksanaan penjagaan ini dilakukan pada waktu-waktu aktif babi hutan, yaitu pada saat sore hingga malam hari. Penjagaan ini juga melibatkan masyarakat yang biasanya membawa anjing dengan tujuan apabila Babi Hutan masuk kekebun masyarakat akan segera digiring kembali ke kawasan hutan. 

2. Pemagaran

 Salah satu hal yang dapat dilakukan selain melakukan penjagaan yaitu dengan pemagaran. Pemagaran dilakukan dengan menggunakan jaring paranet dengan ukuran tinggi 120 cm lalu membuat tiang atau penyangga. Pemagaran ini juga dilakukan di kebun masyarakat yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan. 

3. Kastrasi 

Selain penjagaan dan pemagaran, metode yang dapat digunakan yaitu dengan kastrasi. Kastrasi merupakan salah satu upaya menekan perkembangbiakan satwa tersebut agar satwa tersebut tidak over population dengan cara mengebiri pejantan yang masih produktif. Metode kastrasi ini pernah dilakukan pada monyet ekor panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun