Mohon tunggu...
Naila Fauzia
Naila Fauzia Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

berenang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tidak Ada Keadilan dan Kebebasan bagi Rohingnya Setelah 5 Tahun Berlalu

7 November 2024   14:34 Diperbarui: 7 November 2024   14:45 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak Ada Keadilan dan Kebebasan bagi Rohingnya Setelah 5 Tahun Berlalu

Oleh: Pinky Rizqotul

Pada 25 Agustus 2017, dunia dikejutkan oleh serangan militer besar-besaran yang dilakukan oleh tentara Myanmar terhadap komunitas Rohingnya di negara bagian Rakhine, Myanmar. 

Serangan tersebut telah menyebabkan ratusan ribu orang Rohingnya terpaksa melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh, untuk menghindari pembunuhan, pemerkosaan, dan pembakaran desa. Lima tahun berlalu sejak tragedi itu, tetapi keadilan dan kebebasan yang dijanjikan kepada komunitas Rohignya tampaknya masih jauh dari kenyataan.

Hingga kini, lebih dari satu juta pengungsi Rohingnya masih tinggal di kamp-kamp pengungsian di Cox's Bazar, Bangladesh, yang merupakan salah satu kompleks pengungsian terbesar di dunia. Mereka hidup dalam kondisi yang sangat buruk ; kekurangan air bersih, sanitasi yang buruk, serta keterbatasanakses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan. 

Anak---anak Rohingnya yang terlahir di pengungsian tumbuh tanpa kejelasan masa depan. Meskipun bantuan internasional terus mengalir, tetapi bantuan ini tak mampu manggantikan kehidupan yang hilang.

Komunitas Rohingnya di Bangladesh menghadapi diskriminasi dan keterbatasan yang berat. Mereka tidak memiliki kewarganegaraan dan terpaksa hidup sebagai stateless people-tanpa hak untuk bekerja, bersekolah, atau mengakses layanan dasar dengan bebas. Di samping itu, Bangladesh pun menghadapi tekanan besar dari kehadiran pengungsi yang jumlahnya terus meningkat, sementara pemerintah internasional belum menemukan solusi permanen untuk masalah ini.

Walaupun dunia internasional mengecam keras tindakan militer Myanmar pada tahun 2017, dan bebrapa laporan dari PBB serta organisasi hak asasi manusia menyebutkan bahwa tindakan tersebut sebagai "genosida" terhadap Rohingnya, sampai sekarang tidak ada perubahan signifikan dalam situasi di Myanmar. Militer Myanmar, yang kini semakin kuat setelah kudeta Februari 2021, masih berkuasa dan tidak menunjukkan niat untuk mengakhiri diskriminasi sistemik terhadap Rohingnya.

Pemerintah Myanmar yang baru-yang sebenarnya dikuasai oleh junta militer sejak kudeta-masih meneruskan kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap minoritas Rohingnya. Komunitas Rohingnya tetap dilarang untuk kembali ke rumah mereka di negara bagian Rakhine. Desa-desa yang hancur akibat serangan militer belum dibangun kembali, dan banyak individu Rohingnya yang kehilangan hak mereka untuk memilik tanah, bekerja, atau mendapatkan identitas hukum.

Selain itu, masalah yang jauh lebih besar adalah ketiadaan akuntabilitas terhadap para pelaku kejahatan perang yang dilakukan oleh militer Myanmar. Tidak ada tindakan nyata dari komunitas internasional untuk menuntut pertanggungjawaban bagi mereka yang bertanggungjawab atas kekerasan tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun