Mohon tunggu...
naila adinda
naila adinda Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

melukis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kasus Asusila Guru dan Murid di Gorontalo dan Darurat Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan

12 Oktober 2024   09:29 Diperbarui: 12 Oktober 2024   09:38 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan seorang guru terhadap muridnya di sekolah menengah agama di Gorontalo mencerminkan bahwa "dunia pendidikan sedang darurat kekerasan seksual". Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menyebutnya sebagai "darurat" karena tindakan kekerasan seksual anak di satuan pendidikan terus berulang dengan tren meningkat. Hal ini diperparah dengan sanksi terhadap pelaku yang rendah sehingga tidak menimbulkan efek jera. "Ini sudah darurat. Antisipasi pencegahan dan penanganannya harus secara luar biasa karena ini sudah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) bagi kami," kata Satriwan saat dihubungi BBC News Indonesia, Kamis (26/09). Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat sedikitnya 101 korban kekerasan seksual yang terjadi di satuan pendidikan pada Januari hingga Agustus 2024. Adapun sepanjang 2023, jumlahnya tercatat dua kali lipat, yakni 202 anak. Tingginya kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan (KPAI) , disebabkan oleh relasi kuasa antara guru dan murid yang tidak seimbang ditambah lemahnya pengawasan. Kementrian Agama yang menaungi  satuan pendidikan agama telah menjatuhkan  "sanksi berat"  kepada guru tersebut, tanpa merinci bentuk sanksi yang diberikan.

"Dipaksa dengan modus hubungan asmara"

Seorang guru berinisial DH di salahsatu lembaga pendidikan agama di Kabupaten Gorontalo,Provinsi Gorontalo , didiga melakukan tindak asusila kepada seorang murid perempuan yang duduk di bangku kelas 12. Kejadian itu terungkap usai beredarnya video yang merekam dugaan asusila oknum guru berusia 57 tahun tersebut terhadap korban. Dia menuduh oknum guru itu menggunakan relasi kuasa untuk memanipulasi sehingga keponakannya merasa tertekan dan tidak bisa berbuat apa-apa hingga akhirnya terjadi dugaan kekerasan seksual. Berdasarkan pengakuan korban kepadanya, Karim menerangkan bahwa awalnya pelaku mulai menyentuh salah satu bagian tubuh sensitif korban di ruangannya. Korban mengaku merasa kaget hingga menangis kala itu. "Peristiwa itu sempat diceritakan kepada temannya, dan ponakan saya menangis karena dilakukan seperti itu," kata Karim kepada kepada Sarjan Lahay, wartawan di Gorontalo yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (26/09). Akibat peristiwa itu, kata Karim, keponakannya sempat trauma dan beberapa hari tidak mau masuk ruangan guru di sekolah itu. Meski tidak ada ancaman dari pelaku ke korban, klaim Karim, modus asmara terus dimanfaatkan pelaku untuk memanipulasi korban. Adapun hingga Jumat (27/09) yang bersangkutan disebut belum didampingi kuasa hukum. Karim kemudian menambahkan bahwa dirinya kecewa dengan pihak sekolah yang tidak melakukan pengawasan dengan baik terhadap guru dan siswanya. Dia juga memprotes dengan keras pandangan sekolah yang tidak memiliki perspektif korban---akibat peristiwa ini, keponakannya dikeluarkan dari sekolah. Menurutnya, sekolah tidak melihat secara mendalam kasus ini dan hanya memandang bahwa ponakannya adalah pihak yang juga turut bersalah. "Sekolah hanya mengacu kepada aturan tata tertib yang mereka buat bahwa siswa yang mencemarkan nama baik sekolah harus dikeluarkan. Padahal ini adalah kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. Hak ponakan saya harus dilindungi," jelas Karim. Karim menduga sikap sekolah yang mengeluarkan keponakannya sebagai upaya untuk melepas tanggung jawab. "Peristiwa ini terjadi sudah dua tahun lama. Berdasarkan informasi yang saya dapat, hubungan ini sudah diketahui oleh sekolah, tapi sekolah hanya diam saja, tidak melakukan apa-apa," jelasnya. Merujuk pada kasus yang terjadi di Gorontalo, pelaku harusnya dijerat dengan pasal berlapis, mulai dari UU KUHP, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, UU Perlindungan Anak, UU ASN, hingga UU Guru dan Dosen, menurut Satriwan. "Ini hendaknya menjadi semacam alarm bahwa tindak kekerasan seksual ke anak, sanksinya berat, misalnya apakah dikebiri atau kemudian dipenjara seumur hidup." 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun