Mohon tunggu...
Naila
Naila Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

saya mahasiswa di poltekkes kemenkes yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Aksi Kamisan, Suara Hati untuk Keadilan yang Tak Kunjung Tiba

3 September 2024   07:37 Diperbarui: 3 September 2024   07:50 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelanggaran HAM yang tak kunjung dituntaskan kerap kali meninggalkan luka yang mendalam di hati para korban dan keluarga mereka. Janji-janji pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut sering kali hanya menjadi kata-kata kosong yang tidak pernah diwujudkan. Kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap ketidakadilan ini kemudian memicu munculnya gerakan-gerakan yang menuntut penegakan hak asasi manusia, salah satunya adalah "Aksi Kamisan." Gerakan ini menjadi salah satu bentuk perlawanan tanpa kekerasan, di mana para penyintas, keluarga korban, dan pendukung hak asasi manusia bersatu dalam keteguhan hati untuk menuntut keadilan dan memperjuangkan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia.

Aksi Kamisan, yang dimulai sejak 18 Januari 2007, adalah sebuah gerakan yang dilakukan setiap hari Kamis di depan Istana Negara. Aksi ini diikuti oleh para korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Mereka menuntut negara untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan, seperti Tragedi Semanggi, Tragedi Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Talangsari 1989, dan lainnya.

Gerakan ini dipelopori oleh Sumarsih, ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan (Wawan), seorang mahasiswa yang menjadi korban penembakan saat Tragedi Semanggi I pada tahun 1998. Bersama dengan keluarga korban pelanggaran HAM lainnya, Sumarsih memulai Aksi Kamisan sebagai bentuk protes damai untuk menuntut keadilan atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum kunjung diselesaikan di Indonesia.

Pada 26 Maret 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menanggapi Aksi Kamisan dengan bertemu korban pelanggaran HAM yang meminta penyelesaian kasus-kasus berat. Pada 15 September 2009, DPR mengeluarkan empat rekomendasi terkait penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, yang diharapkan selaras dengan tuntutan Aksi Kamisan. Namun, selama era kepemimpinan SBY, penyelesaian pelanggaran HAM tidak menunjukkan kemajuan signifikan. Meski dibentuk tim khusus, kasus-kasus tersebut terhenti di Kejaksaan Agung karena alasan kurangnya kelengkapan berkas.

Sama halnya pada era pimpinan preseiden Joko Widodo. Pada 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo mengakui dan menyesalkan 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu, berdasarkan rekomendasi Tim PPHAM. Ia menerbitkan Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2023 dan Keputusan Presiden No. 4 Tahun 2023 untuk memulihkan hak-hak korban, seperti pemulihan nama baik dan ganti rugi. Namun, bagi keluarga korban, langkah ini belum cukup. Mereka masih menuntut pemerintah untuk meluruskan sejarah dan menggelar pengadilan HAM ad hoc secara yudisial.

Baru baru ini aksi kamisan ke-828 aktivis HAM Usman Hadid memberikan orasi yang menyebutkan tujuh dosa pemerintahan Joko Widodo, yaitu: merepresi publik melalui undang-undang seperti UU Cipta Kerja dan KUHP, mengangkangi otonomi daerah, melemahkan oposisi di parlemen, mengurangi peran media massa, mengerdilkan kredibilitas penegak hukum, memecah belah masyarakat melalui isu-isu seperti radikalisme, dan merusak integritas pemilu. Usman menekankan bahwa langkah-langkah ini merugikan demokrasi dan mengajak publik untuk melawan kebijakan yang merugikan tersebut.

Melalui aksi ini, mereka memberikan pengingat yang kuat tentang kekuatan solidaritas dan keteguhan dalam melawan ketidakadilan. Aksi Kamisan juga mengajarkan kita betapa pentingnya keberanian dalam menuntut hak dan memastikan bahwa suara korban tetap didengar. Dengan terus mengangkat kasus-kasus yang belum terpecahkan, mereka berkontribusi pada upaya kolektif untuk menyusun kembali narasi sejarah yang lebih adil dan transparan.

Semoga pemerintah segera mendengar suara rakyat dan mengambil langkah nyata untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut. Langkah-langkah konkret dari pihak berwenang sangat diperlukan agar keadilan dapat ditegakkan dan masa depan bangsa kita dapat lebih bersih dari noda-noda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun