Bagaimana faktor hereditas (genetik) dan lingkungan berperan dalam perkembangan manusia? khususnya dalam pendidikan. Kedua faktor ini sangat penting bagi tenaga pendidik dan orang tua, karena keduanya mempengaruhi perkembangan fisik, kognitif, emosional, dan sosial individu secara kompleks dan dinamis. Hereditas merujuk pada faktor-faktor genetik yang diwariskan dari orang tua ke anak, yang memengaruhi berbagai aspek seperti tinggi badan, warna kulit, hingga potensi intelektual dan bakat. Di sisi lain, lingkungan mencakup berbagai aspek eksternal, seperti keluarga, budaya, pendidikan, dan interaksi sosial yang dialami individu sejak kecil hingga dewasa. Lingkungan yang kaya akan stimulasi positif dapat membantu anak mencapai potensi maksimalnya, sementara lingkungan yang kurang mendukung bisa menjadi penghambat perkembangan.
Tiga teori utama yang mencoba menjelaskan kontribusi dan interaksi antara hereditas dan lingkungan dalam perkembangan manusia.
1.Teori EmpirismeÂ
Dipelopori oleh John Locke. Teori ini memandang bahwa manusia lahir ibarat "kertas kosong" (tabula rasa) yang akan dibentuk oleh pengalaman yang diperoleh dari lingkungannya. Teori ini menekankan bahwa pengalaman dan interaksi sosial menjadi penentu utama perkembangan, sementara faktor genetik memiliki peran yang sangat kecil atau bahkan tidak signifikan. Pandangan ini berimplikasi pada pendidikan, di mana Locke percaya bahwa pendidikan dan pengalaman dapat sepenuhnya membentuk karakter dan kemampuan individu. Oleh karena itu, peran pendidik sangat penting dalam memberikan pengalaman belajar yang positif agar dapat membentuk perilaku dan kemampuan anak sesuai dengan tujuan pendidikan.
2.Teori NativismeÂ
Teori ini menyatakan bahwa perkembangan manusia sepenuhnya ditentukan oleh faktor bawaan atau hereditas yang sudah ada sejak lahir. Penganut teori ini, seperti Arthur Schopenhauer, percaya bahwa bakat, kemampuan, dan karakter seseorang sudah ditentukan oleh genetiknya, sehingga pengaruh lingkungan, termasuk pendidikan, memiliki peran yang sangat terbatas. Teori ini bahkan sering disebut sebagai pandangan yang pesimistis dalam pendidikan, karena menganggap bahwa seseorang yang lahir dengan sifat bawaan yang kurang baik tidak bisa diubah sepenuhnya melalui pendidikan.
Misalnya, seorang anak yang memiliki bakat bawaan dalam bidang musik kemungkinan besar akan berkembang menjadi seorang musisi, terlepas dari lingkungan atau pelatihan yang ia dapatkan. Sebaliknya, jika seseorang tidak memiliki bakat bawaan di bidang tertentu, pendidikan atau pelatihan yang diterimanya tidak akan banyak berpengaruh dalam mengubah atau meningkatkan kemampuannya di bidang tersebut.
3.Teori ketiga adalah Teori Konvergensi
Menggabungkan pandangan dari kedua teori sebelumnya. Louis William Stern, sebagai pencetus teori ini, berpendapat bahwa hereditas dan lingkungan saling berinteraksi dalam proses perkembangan individu. Menurut teori ini, seseorang memang dilahirkan dengan potensi bawaan, tetapi potensi tersebut membutuhkan lingkungan yang mendukung untuk dapat berkembang secara optimal.Â
Sebagai contoh, seorang anak yang memiliki kecerdasan tinggi sejak lahir tetap memerlukan lingkungan yang mendorongnya untuk belajar dan mendapatkan pendidikan yang baik agar potensi intelektualnya bisa tercapai. Di sisi lain, lingkungan yang positif dapat memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan seseorang, bahkan pada individu yang mungkin tidak memiliki bakat bawaan tertentu. Dengan kata lain, faktor genetik menyediakan dasar, tetapi faktor lingkungan yang menentukan apakah dasar tersebut bisa berkembang secara maksimal.
Penerapan teori-teori tersebut dalam pendidikan