Mentawai Simalainge (Mentawai nan Indah)
Senin, 31 Januari 2011, tiga orang staff KOMINDO (Yayasan Komunitas Indonesia) berangkat dari Medan menuju Padang. Tujuan akhir kami adalah Pagai Selatan, Mentawai. Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya pada 26 Oktober 2010 sejumlah daerah di Kabupaten Mentawai dilanda gelombang Tsunami. Ratusan orang meninggal dunia dan ribuan orang mengungsi. Tim kecil ini turut dengan ratusan sukarelawan lain dari berbagai lembaga swadaya masyarakat dalam menolong warga di Kabupaten Mentawai pulih dari bencana yang telah menerpa mereka. Misi khusus kami adalah mengajar anak-anak yang selamat dari musibah tsunami dalam sekolah-sekolah darurat di tempat pengungsian mereka, sembari memberikan penghiburan bagi warga lainnya. Esok harinya, tim berangkat menuju Sikakap - salah satu kota kecamatan di bagian selatan kepulauan Mentawai – dengan menggunakan sebuah ferry yang dinamakan “Ambu-ambu”. Perjalanan dari pelabuhan Bungus Padang dimulai Selasa, 1 Februari 2011 sekitar pukul 17.55. Ferry merapat di dermaga Sikakap sekitar pukul 06.45 esok paginya, jadi perjalanan Padang – Sikakap tersebut membutuhkan waktu lebih kurang 13 jam dengan cuaca laut yang cukup tenang saat itu. Transportasi ‘Ambu-ambu’ dari Padang – Sikakap dan sebaliknya itu hanya tersedia sekali dalam seminggu.
Dua hari kemudian, Jumat 2 Februari 2011, kami berangkat dengan menggunakan sebuah perahu berkecepatan 25pk menuju Dusun Maonai, salah satu daerah paling parah terkena terjangan gelombang Tsunami. Sekitar 38 orang meninggal akibat Tsunami di tempat tersebut. Perjalanan mengarungi samudera Hindia itu memakan waktu sekitar 3 jam. Sesampai di pantai Maonai, terlihat sisa-sisa kampung lama Maonai. Jelas sekali terlihat lusinan fondasi bekas perumahan warga. Tidak ada satu bangunanpun yang masih berdiri. Beberapa puluh meter dari pantai, berserakan batu-batu besar yang menurut warga tidak ada di situ sebelum tsunami menerpa. Di sebelah kanan kampung, terlihat gundukan pasir putih memanjang yang dibatasi bebatuan bekas fondasi rumah. Gundukan itu ditumbuhi dengan berbagai jenis bunga. Tempat tersebut merupakan kuburan massal bagi sekitar 38 orang warga Maonai yang meninggal akibat tsunami. Kami harus berjalan kaki menuju tempat pengungsian warga, mengikuti jalan setapak yang menanjak selama lebih kurang 30 menit. Sekitar 10 menit sebelum sampai di tempat pengungsian warga, kami berpapasan dengan anak-anak Maonai yang selamat dari bencana tsunami. Setelah diberitahu bahwa guru yang dijanjikan sudah datang, mereka bersorak-sorak kegirangan menyambut dan menyalami kami. “Pak guru datang! Pak guru datang!”
Dusun tersebut terdiri dari 40-an kepala keluarga. Kami mulai mengajar anak-anak sekolah keesokan harinya. Sekolah darurat yang juga berfungsi ganda sebagai gereja sementara tersebut merupakan sebuah bangunan sederhana tanpa dinding dengan tiang-tiangnya yang terbuat dari kayu bulat. Atapnya adalah terpal 2 lapis berwarna biru. Bangunan itu menjadi tempat belajar puluhan anak-anak Mentawai yang ceria bersemangat sekolah di tengah kondisi sulit yang sedang mereka alami. Saat hujan lebat atau angin kencang yang hampir setiap hari menerpa daerah tersebut datang, seringkali anak-anak harus menghentikan kegiatan belajar mereka. Ada tiga orang guru lokal yang juga melayankan diri di dusun tersebut. Saat pertama kali kami datang, anak-anak belajar seadanya, tanpa pakaian seragam, tanpa buku-buku memadai, tanpa bangku dan meja belajar yang nyaman. Seluruh harta benda yang dimiliki keluarga mereka telah habis tersapu tsunami. Kelas 1, 3, dan 4 belajar dalam sekolah darurat yang hanya memiliki satu ruangan tersebut. Posisi duduk dan papan tulis mereka diatur sedemikian rupa. Sementara itu, kelas 2 SD yang hanya terdiri dari empat orang belajar di beranda tenda yang dihuni oleh Tim Komindo saat itu.
Aku mengingat hari-hari pertama mengajar di sana. Saat itu aku mengajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, dengan topik “Harga Diri”. Dengan penuh semangat, aku menerangkan pelajaran tersebut panjang lebar. Aku mengajar mereka bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Mereka harus bangga dengan apa yang mereka miliki. Keenam orang siswa kelas 3 tersebut mendengarkan dengan tertib dan penuh perhatian. Aku merasa senang dengan antusiasme mereka, sampai salah seorang dari mereka memberanikan diri bertanya dengan irama suara yang terasa kurang fasih, “Pak, apa artinya ‘bangga’?” Kemudian hari kami menyadari, kebanyakan anak-anak dan warga di daerah tersebut tidak bisa memahami dan berbicara bahasa Indonesia dengan baik. Keterisoliran dari dunia luar membuat mereka jarang sekali mendengar penggunaan komunikasi dalam bahasa Indonesia.
Seminggu kemudian, satu orang lagi sukarelawan KOMINDO tiba di Maonai. Tim kemudian dibagi dua. Risa dan Rina ditempatkan di Dusun Maonai, sementara Yayang Martua dan Japetson menetap di Mapinang, dusun tetangga Maonai yang berjarak kira-kira 45 menit berjalan kaki melalui hutan di antara kedua dusun tersebut. Berbeda dari Maonai, dusun Mapinang yang terdiri dari 44 KK ini tidak terkena dampak langsung dari tsunami. Tidak ada korban jiwa di dusun tersebut. Namun, aturan pemerintah dan alasan keamanan mengharuskan mereka ikut mengungsi, naik ke daerah yang lebih tinggi, beberapa ratus meter jauhnya dari lokasi kampung lama mereka yang semula di tepi pantai. Di dusun ini, ada sekitar 43 orang murid sekolah yang terbagi ke dalam lima kelas. Hanya ada dua orang guru honorer yang bertugas mengajar lima kelas di sekolah itu. Kedua orang guru lokal yang telah berumah tangga tersebut hanya dihargai sebesar Rp. 200.000,- perbulan dengan pembayaran setiap tiga bulan sekali (yang juga sering telat dibayarkan). Kelima kelas tersebut belajar dalam satu ruangan yang sama di dalam ‘gereja sementara’ mereka yang terbuat dari bangunan papan dan atap seng. Tanpa meja belajar dan buku-buku memadai dan jumlah guru yang minim, dapat dibayangkan kualitas seperti apa yang dinikmati oleh siswa-siswi yang baik itu. Beberapa siswa terlihat memiliki usia yang jauh lebih tua dibanding tingkatan kelas mereka. Salah seorang siswa kelas 5 berumur 17 tahun, seorang siswi lain berumur 14 tahun, sementara seorang teman mereka yang lain yang masih duduk di kelas 4 SD sudah berumur 14 tahun juga. Kondisi ini dikarenakan situasi daerah mereka yang terpencil, sehingga menyulitkan mereka mendapatkan akses pendidikan yang layak dan memadai. Sekolah dasar di dusun tersebut baru didirikan 5 tahun sebelumnya. Sementara untuk melanjutkan ke jenjang SMP mereka harus pergi jauh ke ibukota kecamatan di Malakopak, dan untuk melanjutkan jenjang SMA mereka harus menempuh pendidikan setidaknya di Sikakap. Padahal, kebanyakan keluarga Mentawai adalah orang-orang yang bermatapencaharian sebagai peladang. Hasil panen mereka sulit dipasarkan karena tidak tersedianya jalan darat yang bisa dilalui kendaraan bermotor. Belum lagi kelangkaan BBM yang sering terjadi mengakibatkan kesulitan bagi beroperasinya boat (perahu) yang menjadi alat transportasi utama. Hal ini juga diperparah dengan ketiadaan akses listrik dan jaringan (sinyal telepon) untuk komunikasi.
Pengabaian yang mereka alami sungguh membuat hati miris. Saat kami bertugas di Mapinang, salah seorang anak terserang penyakit batuk dan demam selama berhari-hari. Tidak ada puskesmas atau tenaga kesehatan yang tersedia di sana. Saat staf dari sebuah lembaga swadaya masyarakat lain yang membawa perlengkapan obat-obatan tiba, waktunya sudah terlambat. Nelta Oktoria Sabelau, anak berusia 5 tahun tersebut meninggal dunia pada dini hari menjelang pagi hari Selasa 22 Maret 2011. Sarana transportasi yang sulit mengakibatkan butuh waktu satu minggu untuk memberitahukan kabar tersebut pada ayahnya yang sedang bekerja di Sikakap dan pulang ke kampung tanpa pernah lagi melihat putri terkasihnya. Sayangnya, kesulitan akses pendidikan dan kesehatan yang memadai seperti ini hanyalah salah satu dari sekian banyak kesusahan yang harus mereka alami.
Kabupaten Mentawai merupakan daerah kepulauan yang sangat indah, yang telah berdiri sendiri selama sekitar 10 tahun, termasuk ke dalam wilayah administratif provinsi Sumatera Barat. Kabupaten tersebut terdiri dari empat pulau besar di sebelah barat Sumatra, yakni: Pulau Sipora, pulau Siberut, pulau Pagai Utara, dan pulau Pagai Selatan. Suku Mentawai telah mendiami daerah Kabupaten Mentawai ini selama ratusan tahun. Banyak tetua kampung yang percaya bahwa asal-muasal orang Mentawai bermula dari Pulau Siberut, pulau terbesar di Kepulauan Mentawai, sebelum menyebar ke daerah-daerah lain.
Orang-orang Mentawai mengenal agama Kristen dari para zending bangsa Eropa juga guru-guru jemaat dan pendeta-pendeta Batak yang bermisi ke sana. Kerja keras mereka membuahkan hasil berdirinya Gereja Kristen Protestan Mentawai (GKPM) yang bercorak Lutheran. Situasi historis ini, ditambah sejumlah kemiripan budaya, membuat orang-orang Mentawai mudah berhubungan dekat dengan para pendatang, terutama yang berasal dari suku Batak. Beberapa warga bahkan bisa berbicara dalam bahasa Batak Toba dengan cukup baik. Saat berada di sana, kami juga turut aktif dalam kegiatan-kegiatan gereja, khususnya dalam pengajaran sekolah minggu. Bahkan, Japetson salah seorang Tim Komindo saat itu, menjadi pionir utama dibentuknya organisasi pemuda gereja di GKPM Dusun Mapinang, yang kabarnya merupakan satu-satunya organisasi pemuda gereja yang ada di seluruh daerah Pagai Selatan.
Kami hidup bersama masyarakat di sana selama sekitar 5 bulan. Setiap dua atau tiga minggu sekali, kami pergi ke Sikakap untuk membeli bekal kebutuhan hidup dan berkomunikasi dengan keluarga. Maklum, Desa Bulasat yang mencakup Dusun Maonai dan Mapinang di Pagai Selatan tersebut belum terjangkau jaringan sinyal telepon, juga tidak ada pasar terdekat kecuali di daerah Sikakap. “Tutui Ekkeu ka laggai nu, Pak?” (Pak guru pulang ke kampung bapak, ya? Jangan pulang, Pak! Kalau bapak pulang, kami tidak sekolah lagi.” kata beberapa anak dengan logat bernada mereka yang khas dan sedikit berbisik. Berulang-ulang mereka mengatakannya selama hari-hari terakhir menjelang kepergian kami di ujung Juni 2011, seolah berusaha menahan kami sekuat tenaga mereka mampu. Aku bisa merasakan kesedihan mereka. Beberapa dari anak-anak tangguh itu berani bercita-cita kuliah di Padang agar kelak menjadi bidan. Tetapi orang yang sama itu juga tidak berani bercita-cita melanjutkan sekolah mereka ke jenjang SMP, karena realitas kemiskinan dan situasi hidup sulit yang mereka alami begitu nyata. Beberapa yang lain bersemangat menjadi guru, pendeta, dan tentara.“Kalian bisa mencapai cita-cita kalian! Percayalah! Jangan menyerah pada apapun juga!” Kemudian mereka membalas dengan polosnya, “Pak, apa artinya ‘juga’?”
(Mantan Tim Komindo di Mentawai – Japetson Silangit, Risa Sianturi, Yayang Martua Naibaho, dan Rina Silitonga)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H