Hingga kini 79 tahun Indonesia merdeka, nampaknya kita masih belum bisa mencapai kondisi benar-benar aman, damai, dan bebas dalam menjalankan kepercayaan yang kita yakini. Di tengah enam agama yang hidup berdampingan, masih seringkali ditemukan konflik atau kerusuhan antar umat beragama. Salah satu faktor yang melatarbelakangi hal tersebut adalah fanatisme.
Di Indonesia, fanatisme memiliki konotasi negatif. Fanatisme terdiri dari dua kata yaitu "fanatik" dan "isme". Fanatik atau dalam bahasa latin disebut "fanaticus" yang berarti gila-gilaan, mabuk, atau kalut. Sementara "isme" memiliki arti suatu bentuk keyakinan atau kepercayaan. Jika dilihat secara leksikal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fanatisme merupakan keyakinan yang terlalu kuat terhadap ajaran (agama, politik, dan sebagainya).
Jika kita melihat realita yang terjadi saat ini, dalam satu dekade terakhir telah terjadi empat kali aksi bom bunuh diri yang semuanya terjadi di depan lokasi gereja dari tahun 2010 di Gawok, 2011 di Sleman, 2016 di Samarinda, dan yang paling parah pada 2018 di tiga lokasi yang berbeda di Jawa Timur. Aksi-aksi tersebut menelan sejumlah korban dan mengganggu praktik keagamaan yang sedang berlangsung.
Tidak hanya itu, sepanjang beberapa tahun terakhir ini juga masih sering ditemukan aksi penolakan pendirian rumah ibadah seperti yang terjadi di Cilegon dan Sulawesi Utara karena alasan tidak memiliki izin. Nyatanya penolakan pendirian rumah ibadah merupakan bentuk diskriminatif yang dilakukan masyarakat dan pejabat daerah. Menurut data dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia terdapat sekitar 500-600 aduan terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan, termasuk dalam pendirian rumah ibadah dalam 10 tahun terakhir. Penolakan ini berujung pada kasus intimidasi yang paling banyak terjadi di Gereja dengan 199 kasus dan Masjid dengan 133 kasus. Â
Setiap agama tidak ada yang mengajarkan kepada hal yang buruk, namun individu di dalamnya seringkali mencoreng nama agama melalui perbuatannya sehingga kata fanatisme mendapat konotasi yang negatif. Merujuk pada jurnal penelitian yang dibuat oleh (Zulkarnain, 2020), fanatisme agama sebenarnya diartikan sebagai sebuah konsekuensi suatu individu yang percaya pada suatu agama, dan mereka meyakini apa yang dianutnya adalah benar sehingga mereka dapat membela apa yang mereka yakini serta melindungi saudara-saudaranya.
Dalam Islam terdapat sikap fanatik yang tidak dilarang yaitu seperti yang dicontohkan oleh para penduduk Mekah dalam mencintai kota Mekah sehingga dikenal sebagai tempat yang suci dan sangat diagungkan karena didalamnya didapati Ka'bah, larangan menumpahkan darah, dan tempat kelahiran Rasulullah SAW. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa selama tidak merendahkan pihak lain, maka fanatisme bisa termasuk hal positif selagi tujuannya baik.Â
Berkaca pada sikap kecintaan penduduk Mekah terhadap tempat kelahirannya, kita sebagai penduduk Indonesia juga dapat menerapkan sikap cinta tanah air sebagai perwujudan bela negara. Di dalam Islam terdapat istilah "Ukhuwah" yang berasal dari akar kata kerja "akh" yang berarti persaudaraan. Terdapat 3 macam perilaku ukhuwah yakni ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama umat muslim), ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama umat tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan), serta ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa dan setanah air).Â
Untuk mewujudkan ukhuwah wathaniyah ini diperlukan sikap toleransi dan tenggang rasa dalam keseharian kita. Hal ini diperkuat dengan QS Al-Hujurat ayat 13:
Artinya: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
Â
Ukhuwah wathaniyah seharusnya tidak hanya sekadar teori, namun juga perlu diimplementasikan menjadi kepribadian bangsa. Kita dapat mewujudkan bela negara dalam perspektif Islam dimulai dari skala kecil berupa kerukunan antar sesama anggota keluarga, antar sesama masyarakat, dan pemeluk agama. Akan begitu indah jika kita dapat hidup berdampingan tanpa adanya sentimen yang menyenggol masing-masing agama. Akan begitu damai jika kaum mayoritas dan minoritas memiliki pandangan saling menghargai, merangkul, dan berorientasi pada masyarakat multikultural. Saat ini data dari Kementerian Agama menyebutkan bahwa Indeks Kerukunan Umat Beragama 2024 sebesar 76,47 dan memiliki kenaikan 0,45 point jika dibandingkan dengan 2023. Hal tersebut menunjukkan sikap toleransi antar umat beragama di Indonesia cenderung membaik. Meski begitu, tetap harus diiringi dengan penguatan moderasi beragama di berbagai lingkup serta pengelolaan rumah ibadah yang berperspektif moderasi beragama dan memanfaatkan momentum perayaan keagamaan sebagai budaya untuk memperkuat toleransi.Â
Oleh karena itu, untuk mewujudkan Indonesia yang damai dan penuh toleransi antar tiap warganya, maka dapat dilakukan dengan sikap saling menghargai dan merangkul. Selain itu, kita juga perlu menerapkan sikap tawasuth atau moderat dimana kita tidak berat sebelah terhadap salah satu sisi. Kita juga dapat mulai merubah arah fanatisme yang selama ini mendapat stigma negatif menjadi suatu hal yang mencerminkan nilai positif selagi tidak merugikan pihak lain, dan fanatisme yang dilakukan dapat berupa mempertahankan keyakinan yang selama ini diyakini seperti yang dilakukan oleh para penduduk Mekah. Mari mewujudkan sikap beragama yang baik karena Islam sebagai way of life memiliki peranan untuk menuntun umatnya dalam bertindak dan berperilaku yang diwujudkan dengan etika yang baik sesuai tuntutan Islam sehingga terciptalah ukhuwah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H